#25 Luka itu sakit

309 186 163
                                    

Beri aku ruang untuk mencintaimu dan jangan beri aku jarak untuk merindukanmu.
_Rain.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Niel lo nggak ada niatan buat jengukin dia?"

Menghabiskan sisa minumannya, Daniel terdiam. Ia sendiri bingung, ia merasa terlalu jahat. Tapi bukankah gadis itu yang jahat? Gadis itu yang bersandiwara, membohongi semua orang lalu menyesal dan melukai dirinya sendiri. Dan sekarang ia mendapat kabar bahwa Rain dirawat di rumah sakit. Ia bingung dengan perasaannya. Ia ingin tahu bagaimana kondisi gadis itu namun disisi lain, ia kecewa.

"Kenzo bilang, Rain melakukan percobaaan bunuh diri semalam."

Daniel membuka aplikasi game pada ponselnya namun ia menajamkan pendengarannya, ia hanya ingin tahu. Bukannya masih peduli pada Rain, ia hanya sedikit khawatir saja. Atau lebih tepatnya ia hanya sedikit iba bukan khawatir berlebihan pada gadis itu.

"Sayatan ditangannya cukup dalam untung aja Kenzo langsung bawa Rain ke rumah sakit. Mungkin kalo telat dikit aja, udah tinggal nama tuh cewek."

"Niel," Dodit menepuk pundak sahabatnya itu. "Kalo lo mau jengukin dia, dia ada dikamar Anggrek nomor empat ratus empat lantai lima rumah sakit Harapan Bunda."

Daniel bergeming. "Apa untungnya gue kesana?"

"Ya terserah sih, paling juga disana ada Kenzo yang jagain Rain."

Daniel membuang napasnya dengan kasar. "Nggak perlu lagi kan, lagian gue bukan siapa-siapa."

Daniel menatap kosong ruang chattnya dengan Rain. Beberapa pesan dari gadis itu hanya ia baca tanpa berniat untuk membalasnya. Ya meskipun kemarin ia sudah membaca pesan tersebut, tapi ia kembali membaca pesan itu. Tak terhitung sudah berapa kali ia membaca obrolan chattnya dengan Rain. Sekarang ia paham, ia memperjuangkan seseorang yang salah. Ia berjuang sendirian, ia sadar sekarang. Ia yang lebih banyak bercerita sedangkan Rain hanya membalas sewajarnya. Seharusnya dari sana ia sudah mengerti, bahwa gadis itu tidak ingin diperjuangkan cintanya.
Yang ia tahu, ia kecewa. Ia merasakan semacam sudah tidak peduli lagi dengan gadis itu tapi, mengapa ia tak bisa berhenti memikirkannya?

Seresah apapun, Daniel tetap teguh pada hatinya. Semuanya sudah jelas, ia hanya mainan bagi gadis itu. Ia hanya menjadi tempat pelampiasan gadis itu. Sekeras apapun usahanya untuk meluluhkan hati Rain, tetap kalah dengan sosok Kenzo yang memang sudah lama membuat gadis itu jatuh hati. Ia hanya diberi harapan, yang kemudian dijatuhkan oleh kenyataan.

"Dih nih cewek gengsi banget deh!" Ujar Dodit sambil menggebrak meja.

"Apaan Dit?" Tanya Vino dengan penasaran.

"Nih ya dari kemarin nih cewek cari gara-gara terus sama gue. Udah gitu tiba-tiba ngambek nggak jelas padahal dia yang cari ribut duluan."

"Cewek kalo kangen ya gitu bro," ujar Bimo lalu menyimpan ponselnya.

"Kangen tapi gengsi, ya nggak Niel?" Tanya Virgo sambil menaik turunkan alisnya.

Sedari tadi Virgo melihat Daniel yang membaca chattnya dengan Rain. Ia sengaja memberi kode pada teman-temannya untuk menyindir Daniel. Tapi tetap saja, Daniel tetaplah seseorang dengan ego yang tinggi.

Daniel berdecak kesal lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya. "Ngantuk, gue duluan."

"Dih jam delapan aja belum genap, udah pulang aja."

"Ngantuk, udah gue duluan."

Tak menghiraukan teman-temannya yang menatapnya heran, Daniel langsung keluar dari cafe. Suasana hatinya sedang tidak baik, ia tak mau jadi bual-bualan teman-temannya.

***

Rain meletakkan kembali handphonenya. Ia menatap sudut-sudut ruang inapnya, sepi. Ia sendirian sekarang, Bu Jum asisten rumah tangganya telah pulang ke rumahnya. Dan Elang belum juga datang sejak mengiriminya pesan satu jam yang lalu. Entah, mungkin Elang sedang ada keperluan lain. Orangtuanya sudah mengetahui kondisinya saat ini, namun mereka baru bisa pulang beberapa hari kedepan.

Rain menatap meja nakas yang terletak disamping tempat tidurnya. Ia haus, namun gelasnya kosong. Hanya ada sebotol kopi sisa Elang semalam. Ia pun menyibakkan selimutnya lalu meraih kotak infusnya. Beberapa meter dari kamar inapnya, tersedia air mineral untuk para pasien. Ia harus mengambil air dari sana untuk menghilangkan dahaganya.

Dengan susah payah gadis itu berjalan. Tangan kanannya yang terbebas dari selang infus, ia gunakan untuk memegangi kotak infus. Sedangkan terdapat gelas berukuran sedang ditangan kirinya. Ia harus menggunakan kakinya untuk membuka pintu kamarnya.

Rain mendongakkan kepalanya saat mendapati kaki seseorang yang berdiri di hadapannya. Ia kaget sekaligus merasa tak percaya jika dihadapannya kini adalah seorang...

"Daniel?"

Daniel maupun Rain sama-sama tak bergeming. Mereka hanyut dalam tatapan dalam beberapa detik. Karena setelah itu Daniel memutuskan kontak mata dari Rain.

"Lo ngapain disini?" Tanya Rain nyaris seperti sebuah bisikan.

Daniel meneguk ludahnya lalu kembali memutuskan kontak matanya dengan Rain. "Gebi dirawat disini, lo tahu ruangannya?"

Bahu Rain melemas seketika, ia pikir...ah sudahlah. Rain melenyapkan pikiran-pikiran itu. "Ah itu...ehm itu ruangannya."

Rain menatap Daniel, rasanya ia rindu. Hanya dalam waktu yang sesingkat itu, hubungannya dengan Daniel berubah. Ia ingin kembali seperti dulu, masa dimana Daniel menjadi sosok yang paling menyebalkan sekaligus menjadi seseorang yang sangat peduli padanya. Namun ia sadar, ini bermula karena dirinnya. Tak seharusnya juga ia merasa tersakiti, nyatanya ia yang merubah sikap Daniel.

Daniel menoleh ke belakang mengikuti arah tatapan mata Rain. Ia mengangguk lalu tersenyum kecil. Ia tidak mengerti mengapa ia malah menanyakan ruangan Gebi.

"Rain!"

Baik Rain maupun Daniel sama-sama menoleh. Elang dengan hoodie putihnya berlari-lari kecil menghampiri mereka. Namun raut wajahnya berubah saat melihat Daniel berdiri disamping Rain.

"Kok lo diluar?"

"Gue haus."

"Oh...maaf ya, lo mendingan masuk aja biar gue yang ambilin airnya."

"Hah?"

"Ayo!" Tukas Elang lalu menuntun Rain untuk masuk ke dalam ruangannya.

Daniel menundukkan kepalanya, menyesal ia mengikuti kata hatinya. Ia hanya menyaksikan keakraban Rain dengan Elang lalu kembali sakit hati. Tapi setidaknya ia sudah melihat langsung keadaan Rain saat ini. Lebih buruk dari yang ia kira. Kantung mata gadis itu menghitam, tubuhnya tampak lebih kurus dari biasanya juga wajahnya masih sangat pucat. Tapi untuk apa ia mengkhawatirnya seseorang yang sama sekali tidak memperdulikannya? Semuanya sudah jelas, ia tidak perlu khawatir. Ada Elang yang selalu ada untuk Rain. Ia tidak perlu menyesali ucapannya beberapa hari yang lalu. Ia akan berhenti mencintai Rain, meskipun ia masih ragu. Apakah ia mampu untuk menghapus sosok Rain dihatinya?

***
Holla...! Apa kabar kalian lama ya aku gk update hehehe...

Jangan ikutin Daniel ya yang lebih mementingkan ego daripada perasaannya sendiri. Kalo sayang harusnya bisa menyampingkan egonya bukan malah menyiksa batinnya dengan cara pura-pura tidak peduli.

Aku nulisnya pas lagi hujan hehehe maaf kalo kurang dapat feelnya😊

Vote & comment🔫

Pesawat Kertas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang