#24 Space

291 193 196
                                    

Lupakan saja, perihal perasaanku yang teramat dalam untukmu. Sebab kini kecewaku terlalu sakit.
_Daniel.
.
.
.
.
.
.
.
.

Daniel melepas kacamatanya, lalu kembali memijat pelipisnya. Dua belas jam ini telah ia habiskan untuk belajar dan mengerjakan soal. Ia lebih mengedepankan logika dibanding perasaannya yang berantakan. Besok adalah hari dimana ia akan mengikuti lomba  OSN untuk mewakili sekolahnya. Ia sudah menguasai semua materi, namun ia takut jika nanti fokusnya terbagi. Sebenarnya ia sudah lelah, tapi mungkin hanya itu salah satu cara untuk membunuh bayangan Rain dari kepalanya.

Namun semakin ia berusaha melenyapkan permasalahan itu, justru perasaanya yang semakin berantakan. Ia ingin menemui gadis itu tapi semuanya sudah jelas, tidak ada lagi penjelasan yang perlu didengar. Dan ia tak mau lagi melihat gadis itu menangis, yang entah itu air mata karena menyesal atau hanya sekedar usaha pembelaan atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Ia membuka laci meja belajarnya, sebuah potongan surat kabar yang telah usang kembali ia baca.

'Kurang Perhatian, Seorang Kakak Tega Membunuh Adik Kembarnya.'

Daniel membuang napasnya dengan berat, ia tak ingin percaya tapi bukti itu sudah didepan mata. Rasanya tak mungkin, seorang kakak membunuh adik kembarnya sendiri. Ia tak tahu apa motif dibalik semua itu. Ia keliru, gadis yang ia kejar selama ini bukanlah gadis yang ia nantikan. Lebih menyakitkannya lagi, ia telah jatuh hati sedalam-dalamnya pada gadis itu. Padahal ia pun sering dikecewakan, gadis itu sangat pandai menyembunyikan semuanya. Dibalik sifatnya yang tenang, gadis itu menyimpan banyak misteri. Entah apa lagi yang disembunyikan oleh gadis itu.

Daniel meletakkan kembali potongan koran tersebut setelah mendengar dering diponselnya. Sebuah panggilan masuk dari Rain. Tanpa berpikir panjang, ia menolak panggilan itu lalu memblokir nomor Rain. Rupanya Rain tidak hanya menelponnya namun juga mengirimkan beberapa pesan yang isinya permohonan maaf. Ia menatap lama layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan yang dulu ia kirimkan kepada gadis sombong itu. Ia terkekeh, betapa menyedihkannya dirinya dulu yang mengharap perasaannya dibalas oleh Rain. Ia menyesal telah melakukan hal sebodoh itu. Ketulusannya hanya dimanfaatkan oleh Rain.

Harusnya ia berterimakasih pada Gebi yang beberapa waktu yang lalu mengatakan padanya bahwa Rain berpacaran dengan Kenzo. Saat itu ia tak percaya dan malah meminta Gebi untuk pergi jauh-jauh. Tapi ternyata ia salah, Gebi benar dan ia melihatnya sendiri.

Rain selalu bersikap manis kepada Kenzo. Ia tak pernah sekalipun melihat gadis itu menolak Kenzo. Berbanding dengan dirinya yang selalu dicampakkan oleh gadis itu. Harusnya ia sadar, perasaanya melemahkan logikanya.


***

Gadis dengan penampilannya yang berantakan itu masih saja terisak. Dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya, ia berendam. Matanya yang sembab nyaris tak bisa dibuka. Ia memeluk erat dirinya, meratap tanpa suara. Menggigit bibirnya hingga darah segar itu keluar.

Ia kembali menatap pisau yang sedari tadi belum ia sentuh. Sejenak, ia memejamkan matanya. Merasakan air yang mengguyur tubuhnya sejak tiga jam yang lalu. Seluruh tubuhnya basah, tapi ia tak merasa kediginan. Justru ini kenikmatan sendiri baginya, ia tenang tak perlu ada yang mendengar isak tangisnya.

Sia-sia. Sedari tadi, ia berusaha menghubungi Daniel hanya untuk mendapat kata maaf. Baik teman-temannya maupun Daniel tak ada yang mengangkat panggilannya. Namun ia sadar, menjadi pendengar jauh lebih baik, daripada menjadi pembicara tapi tak ada yang mau mendengarkannya. Ia tak perlu bersusah payah menjelaskan semuanya pada teman-temannya. Belum tentu mereka mau mendengarnya, dan belum tentu juga mereka percaya. Ia tak mau membuang tenaga lebih hanya untuk didengar. Sakit hati yang ia rasakan, tidak perlu dibagi pada orang lain. Karena semua itu percuma, tak sedikit dari mereka hanya akan berpura-pura simpati lalu membandingkan dengan nasib mereka. Padahal setiap perjalanan, memiliki kisah masing-masing. Kadang memang ada yang perlu dibagikan, tapi ada yang harus ditutup rapat-rapat.

Kembali membuka matanya yang terasa berat itu. Ia mengangkat pisaunya, ini untuk yang terakhir kalinya ia merasakan sakit. Dan setelah ini ia akan tenang, tak perlu lagi menghadapi dunia yang jahat. Ia tak perlu lagi menutupi semuanya, tak perlu lagi menahan air mata, tak perlu lagi merasakan sesak yang menghantamnya bertubi-tubi. Ya, semua rasa sakitnya akan terbayarkan. Perlahan, ia menggorekan pisau tersebut ketangannya. Darah segar mengalir dari sana, ia tersenyum. Ini yang dirasakan Emil yang terakhir kali. Sedikit sakit tapi melegakan.

"Rain! Buka!!!"

Rain tersentak kaget. Elang, mengapa juga laki-laki itu memperdulikannya? Padahal Elang juga telah ia bohongi, juga telah ia manfaatkan agar Daniel menjauh darinya. Selama ini, ia tak pernah ada hati untuk kembali pada Elang. Perasaannya yang lernah singgah,  sudah ia buang jauh-jauh. Tak mau lagi melukai orang-orang disekitarnya.  Ia sengaja melakukan semua ini, agar tak ada yang tahu sekelam apa masa lalunya. Tapi ia keliru, ia salah melangkah hingga semuanya serba salah. Mengapa Elang tidak paham dengan situasi saat ini? Ia hanya butuh ruang dan waktu untuk sendiri.

"Rain! Apa yang lo lakukan di dalam?"

***

Brak!

Elang dengan lantang mendobrak pintu kamar Rain. Sepuluh menit yang lalu, Bu Jum menghubunginya. Memintanya untuk datang dan membujuk Rain. Bu Jum mengatakan bahwa Rain tidak keluar kamar sepulang sekolah. Berkali-kali juga, ia menghubungi gadis itu namun tidak satupun mendapat jawaban.

Ia menatap miris keadaan kamar gadis itu. Sangat berantakan dengan pecahan kaca dimana-mana juga ponsel gadis itu yang telah remuk. Sama halnya dengan Elang, Bu Jum juga terkejut melihat kondisi kamar Rain.

"Ya Allah den, non teh kunaon atuh? Naha siga kitu?"

"Saya nggak bisa jelasin sekarang bu."

Elang langsung membuka pintu kamar mandi, lagi-lagi ia terkejut melihat keadaan Rain. Gadis itu terkulai lemas didalam bath tub yang penuh dengan air.Ia menatap wajah pucat itu, tampak tenang namun tersimpan banyak luka disana. Mengusap kantung mata Rain yang gelap, hatinya berbisik. Ia telah gagal menjaga Rain.

"Rain, bangun." Ujarnya sembari menepuk pelan pipi Rain.

"Rain!"

Bibir yang semula terkatup rapat dengan sisa darah yang masih menempel, mulai mengeluarkan suara. "Gue capek."

"Rain!" Ia kembali menepuk pipi Rain, namun gadis itu tak menyahut.

"Rain!" Ia kembali memanggil gadis itu,  tak ada sahutan melainkan detak nadi gadis itu yang melemah.

"Bu Jum, kita ke rumah sakit sekarang."

***

Hola!
Singkat gk lebih dari seribu kata guys hehehe. Maaf kalo feelnya kurang dapet.

Vote & comment🔫

See u on top!👋

Pesawat Kertas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang