28 : Mission

230 132 81
                                    

Aksa bersandar pada pintu meeting room yang terletak di lantai dasar sekolah. Salah satu tangannya memegang jas almamater sekolahnya demgan telapak tangan yang disembunyikan. Saat hendak menuju koridor utama ia melihat Alin berjalan sendirian. Setelah memastikan keadaannya cukup mendukung, ia membawa Alin ke ruangan rapat.

Gadis itu terus menunduk. Cowok yang berdiri dihadapannya kini menatapnya dengan mengintimidasi, sebisa mungkin ia bersikap biasa saja. Ia menghembuskan napasnya lalu menatap cowok itu.

"Ada apa?"

"Lo pasti udah tau maksud gue."

Gadis itu kembali tertunduk. Benar, ia tahu maksud cowok itu. Seperti pepatah, sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, baunya tetap tercium juga. Dan kini pepatah itu berlaku baginya.

"Lo diem berarti lo tau." Cowok itu tampak tersenyum kecil . "Lo...pelaku dibalik semua ini."

Ucapan cowok itu membuatnya tercekat. Bagaimana bisa cowok itu mengetahuinya secepat ini? Ia semakin gelisah. Sejauh apapun ia berlari dan mengatakan tidak, tapi cepat atau lambat kebenaran pasti akan terungkap juga. Tapi, bagaimana nasib nya jika ia ketahuan ialah pelakunya? Bagaimana jika ancaman manusia berhati iblis itu benar-benar terealisasikan?

"Jadi, bisa jujur sekarang?"

"Kalau benar aku pelakunya kamu mau apa?"

"Apapun."

Gadis itu menelan salivanya. Ia ingin mengatakan sebenarnya tapi nasib keluarganya harus dipertaruhkan. Jika mereka mengetahui semuanya apakah mereka  akan peduli? Dan apakah ia akan mendapatkan kata maaf?

"Anggap saja aku pelakunya, aku sengaja mencari informasi tentang Rain sedetail-detailnya bikin dia hancur."

"Tanpa lo tau, Rain udah hancur sejak lama dan atas dasar apa?"

Gadis itu terdiam, "Aku cuma iseng."

"Siapa?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Kalau Rain benar-benar ketakutan, aku minta maaf. Aku...cuma main-main."

Aksa terkekeh, matanya menatap Alin seperti meremehkan. "Main-main?"

Gadis itu terus berusaha mengalihkan tatapannya. Ia Bingung harus bagaimana, tapi sebaiknya ia pergi sebelum Aksa kembali membuka mulut untuk melontarkan pertanyaan lagi. Ia berjalan mendekati pintu dan berusaha membukanya.

Aksa mencekal tangan Alin yang berusaha untuk membuka pintu. "Siapa?"

Beberapa saat keduanya saling beradu tatap. Hingga Alin memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Tidak mungkin ia menangis begitu saja di hadapan Aksa. Ia tahu apa yang dilakukan itu salah, tapi apa salahnya jika ia ingin bebas tanpa takut akan terus ditindas?

"Maaf, aku sama sekali nggak pernah ada niatan buat nyakitin siapapun," ujar gadis itu dengan suara yang bergetar.

Aksa mengalihkan tatapannya, sorot mata Alin kini tampak ketakutan . Ia mengerti sekarang, ada sosok lain dibalik semua ini. Ia tahu orang itu sengaja memperalat gadis ini untuk menghancurkan Rain.

"Lo emang lagi main-main?"

🎭🎭🎭

Kini mereka tengah berkumpul di rumah Dodit untuk membicarakan masalah yang kemarin. Tentunya minus Daniel dan Rain karena hubungan mereka belum membaik. Mereka duduk melingkar di ruang tamu rumah Dodit.

Ini kali pertama bagi Nanda dan Diba bertamu ke rumah Dodit. Mereka sempat kagum dengan rumah Dodit yang begitu mewah. Rumah dengan konsep modern klasik yang dominan dengan warna mocca itu tampak begitu nyaman. Padahal dilihat dari penampilan Dodit yang selalu kusut seperti gembel sama sekali tidak mencerminkan anak sultan.

Pesawat Kertas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang