Alice tersenyum. "Nanti aku sampaikan ke nenek. Hati-hati pulangnya. Hati-hati juga besok, ya. Kabarin kalo udah sampai di Jakarta."

Diego berdeham pelan dan masih setia menatap gadis itu.

"Selama aku nggak ada di Bandung, jangan berbuat yang aneh-aneh. Kalau ada apa-apa bilang aja. Satu lagi, kalau Gary ngajak call-an, nggak usah diangkat, ngerti?!" tanya Diego yang lebih terkesan seperti sebuah perintah.

Alice tertawa kecil mendengarnya.

"Malah ketawa, aku serius," ujar Diego.

"Iyaaa, Go. Tapi, kan, Gary baik. Lagian cuma saling call-an, aku rasa nggak ada salahnya," ujar Alice.

"Nggak usah. Jangan bandel," ketus Diego.

Alice menyipitkan kedua matanya.

"Go, kamu tuh Aneh."

"Emangnya cemburu sama orang yang aku sayang itu aneh, hmm?" tanya Diego.

Mata Alice membulat. "Maksudnya?"

"Udah sore, aku balik dulu. Sampai ketemu lagi, Al," ujar Diego sembari mengedipkan sebelah matanya sebelum suara deruman motor meninggalkan pekarangan rumah yang kembali sepi itu.

Alice masih terdiam mematung mencoba mencerna ucapan Diego yang tak disangka-sangka.

"Sayang??? Dia pasti bercanda," ujarnya pada diri sendiri.

Gadis itu lalu mengacak rambutnya kasar tak mau ambil pusing dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Dari balkon seberang rumah Alice, Yudha tampak menghela napas pelan. Ia menatap punggung gadis yang perlahan menghilang dari pandangannya.

"Makin deket aja mereka berdua sekarang."

.

🧁* * *🧁

.

Alice duduk di atas tempat tidurnya. Ia memandang foto kedua orang tuanya yang telah tiada. Gadis itu mengusap pelan bingkai berwarna cokelat tua itu.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

"Ibu, Ayah. Hari ini aku sudah mendapat pekerjaan baru di kafe pamannya Diego. Aku senang sekali. Tadi, aku dibantu sama Diego dan Gary. Mereka baik sekali. Aku bersyukur bisa bertemu dan berteman dengan mereka." Alice bermonolog dengan senyuman yang terukir dibibirnya.

Ia lalu memeluk bingkai foto keluarganya itu.

"Aku rindu Ibu dan Ayah. Sangat." Alice memejamkan matanya dan berusaha tetap tersenyum.

Tok Tok Tok ...

Gadis itu menoleh ke arah pintu kamarnya.

Ia lalu meletakkan bingkai foto tersebut di meja nakas dekat buku-buku tebal miliknya.

Walaupun ia tidak kuliah, tetapi Alice senang membaca buku pengetahuan, kesehatan, dan psikologi.

Gadis itu membuka pintu kamarnya.

"ASTAGAYAM!!!

Gadis itu hampir tersandung ke belakang.

"Kenapa telponnya nggak diangkat, sih? Perasaan tangannya masih lengkap."

Alice menutup pintu kamarnya dan melipat kedua tangannya.

"Ngapain kamu ke sini, Yud?"

"Kangen sama kamulah," jawab Yudha.

Alice mengernyitkan dahinya.

"Bercanda kali. Ayo, ah ke ruang depan! Ada tamu kok diem di kamar," ketus Yudha sembari melangkah meninggalkan Alice yang terdiam mematung.

"Eh, Yud. Serius nanya, ada urusan apa sebenarnya?" tanya Alice dan mencoba menyamakan langkahnya dengan Yudha.

Pria itu berhenti dan menghela napas pelan.

"Kamu tuh terkesan menghindar dariku belakangan ini. Kenapa? Aku ada salah apa, hah?"

Alice meneguk salivanya susah payah.

"S-Siapa yang ngehindar. Aku sibuk kerja, Yud."

Kamu juga nggak tau, kan, kalau aku diberhentikan dari kafe, batinnya.

"Sesibuk itukah sampai pesanku nggak dibalas, ditelpon nggak diangkat. Kalau aku ada salah ya bilang." Yudha berkata sembari menatap Alice lurus.

Dasar Yudha. Nggak peka sama sekali! Aku kesal karena kamu suka dengan orang lain, Yud, batin Alice.

Tapi ya sudahlah, batinnya lagi.

Gadis itu menggeleng."Nggak ada. Nenek sedang buat kue bolu cokelat. Ayo kita habiskan. Maaf, ya kalau aku bikin kamu kesal."

Alice lalu melangkahkan kakinya, tetapi lengannya ditarik pelan oleh Yudha dan memeluknya cepat.

Mata gadis itu membulat.

"Kita udah sahabatan sejak kecil, Al. Aku tau ada yang kamu sembunyiin. Untuk itu, aku minta maaf atas apapun yang membuatmu marah," ujar Yudha.

Alice terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa.

Yudha melepaskan pelukannya. Ia mengulurkan jari kelingking kanannya.

"Baikan, ya?"

Nih anak buat dilema aja. Sama kayak Diego, kadang cuek, kadang perhatian, batin Alice.

Gadis itu menatap Yudha sejenak lalu menautkan jari kelingking miliknya. Hal yang selalu mereka lakukan sejak kecil jika berantem lalu baikan.

"Iya, deh."

Alice lalu tersenyum jahil. "Yang sampai terakhir di ruang depan pantatnya bisulan."

Gadis itu telah memulai start duluan dan berlari meninggalkan Yudha yang mulai ikut berlari.

Mereka berdua berlari seperti anak kecil yang baru pulang dari sekolah dan mengejar jajanan arum manis.

.
.
.

🧁* * *🧁

See You Next Part, Guys!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

See You Next Part, Guys!

.
.
.
.
.

Thursday, Nov 24
© Alita Jung, 2022

Gimme Love [END - Revisi]Where stories live. Discover now