Chapter 67

282 16 0
                                    

Not G00D.
Semakin seseorang menyukai sesuatu, itu artinya semakin dekat mereka dengan kehilangan. Excess of anything is not good.
———————

“Mas Dhuha.”

Well, Nagine memutuskan untuk mengubah nama suaminya, of course untuk dirinya sendiri. Katanya panggilan kesayangan.

Dalem, sayang?” responnya seperti biasa. Dalem jika diubah ke bahasa Indonesia sama dengan ‘iya’ atau ‘apa’. Tidak tahu saja bahwa yang seperti ini yang lebih banyak membuat salah tingkah.

File outline cerita Only Nine Years kemarin kamu taruh di laptopku bagian mana?” tanya Nagine. Ya, panggilan saya-kamu kini sudah berubah menjadi aku-kamu walau kadang-kadang Husain masih saja menggunakan kata ganti ‘saya’. Mereka mulai mengubah hal-hal kecil dari formalitas supaya bisa membedakan mana saat keduanya menjadi partner kerja dan mana saat keduanya menjadi partner seumur sesurga.

“Ada di dokumen yang kamu kasih judul best part of my life. Kayaknya di bawah sendiri itu.” Husain melirik Nagine sekilas yang sedang terdiam, seperti baru saja menyadari sesuatu. “Biar nggak ketahuan, ya?” tanyanya diiringi kekehan kecil.

Perempuan itu sudah menatap Husain dengan bibir bawah yang digigit. Terlihat seseorang yang tengah merasa bersalah. Husain yang semula menginput nilai rapor pergantian semester anak didiknya, kini meninggalkan laptopnya sendirian di meja menghampiri sang istri yang sedang duduk bersila depan laptop di atas tempat tidur.

“Jangan khawatir. Nggak akan saya ledek, Ning. Kamu dari awal udah cerita kalau love language kamu beda dari orang lain, bahkan nggak masuk list human love language. Soalnya paling brutal. Nggak perlu kamu ceritakan, aku udah tau alasan kamu kenapa milih judul Only Nine Years. Karena ini lebih ke menceritakan kehidupan kamu. Proses kamu bertemu aku. Bukan proses kita. It’s okay.

“Saya menyukai semua kalimat-kalimat tiap chapter yang kamu pisah-pisah itu. Semua untaian dari diri kamu yang katanya nggak bisa diucapkan secara lisan. Aku tahu kamu itu hebat. Makanya bisa kayak gini.”

“Nggak perlu merasa bersalah. Tulisan kamu ini nggak buat saya mikir yang aneh-aneh. Proses manusia itu beda. Kita nggak tahu mereka akan takluk dan berhasil menemukan pilihan di halaman berapa dan di bagian apa. Karena tanpa proses itu kita jelas tahu kalau kita nggak akan bisa bertemu kalau nggak kamu yang gitu dulu. Lagian di situ ada bagian kamu ketemu saya, ‘kan?”

“Saya menerima kamu, itu artinya aku menerima semua yang ada di diri kamu. Sembilan tahun yang kamu tulis itu sangat berarti, Ning. Banyak yang mendapatkan pelajaran di cerita itu, bahkan suamimu sendiri. Kamu mau tau nggak bagian mana di cerita itu yang saya suka?”

Nagine menggeleng. Ia tidak tahu, tapi mau menebak. “I think ... Mas suka bagian yang kali pertama kita ketemu? Atau ... one set gamis dan cadar yang aku tolak?” tebaknya sambil terkekeh.

Officially aku menyukai semua yang kamu tulis, tapi ada dua bagian yang aku suka. Pertama, effort kamu yang mau tau tentang Islam. Kedua, cara hebat kamu mengikhlaskan laki-laki itu untuk menikah dengan perempuan lain walaupun bisa ditebak kalau itu udah pasti ngebuat kamu sakit hati.”

Husain meraih laptop Nagine, membuka bagian yang ia sukai nomor dua. Halaman 35.

“Aku suka banget pas kamu coba menahan diri untuk nggak menangis sesuai apa yang disemangatkan Aya ke kamu. Waktu itu kamu bilang, ‘Aku tahu Allah mendengarkan doaku, tapi aku juga tahu bahwa Allah tidak berkehendak untuk mengabulkannya.’ Di situ saya punya feeling reflek ma syaa Allah. Kamu keren banget! Saya bangga.”

Husain mengacak rambut istrinya gemas. “Sesuai yang kamu tau bahwa Allah itu yang pertama. Kamu pun tau bahwa kehidupan yang kita jalani memang nggak pernah lepas dari takdir Allah. Hal-hal kecil kayak gini yang nggak semua orang tahu, Ning. Gimana saya nggak bangga?”

Mendengar kalimat yang dilontarkan suaminya tanpa jeda itu membuat Nagine seketika kembali bersyukur telah dipertemukan laki-laki yang bisa mengerti dirinya. Laki-laki yang akan mempertemukannya dengan surga Allah. Ia serasa ingin cepat-cepat menulis bagian terakhir dari kisahnya yang terbilang cukup lama itu.

Only Nine Years; sembilan tahun menyukai seseorang tanpa berkomunikasi, pura-pura tidak peduli padahal diam-diam mengetahui semua tentangnya, itu ... its another level of pain.

“Siniin laptopnya. Aku mau ngetik bagian terakhir kisah ini,” kata Nagine. Husain lantas menggeser laptop itu ke pemiliknya.

“Apa yang mau kamu ketik? Ending seperti apa yang akan kamu wujudkan untuk segalanya tentang ‘hanya’ yang ada di buku itu?” tanya Husain.

Nagine hanya tersenyum tipis. Menatap suaminya sebentar, lalu kembali menatap laptop. “Just wait and see, Mas.”

Jari jemari yang Husain saksikan menari-nari di papan ketik itu membuatnya terhipnotis untuk terus diam menatap siapa yang sedang memainkan laptop grey di atas meja lipat yang diletakkan di kasur. Ia merasa kecantikan wanitanya bertambah tak terhingga seperti bintang-bintang di angkasa sana. Dalam hati Husain berkali-kali memuji keseriusan dan wajah cantik milik sang istri. Ma syaa Allah, kalau gini caranya mana bisa saya tidur dengan tenang malam ini, Nana.

Oh ya, selain Nagine yang merubah nama panggilannya untuk Husain, Husain juga mengubah nama panggilannya untuk Nagine. Nana; a simple name, but has many meanings.

Saat mengetik bagian terakhir itu, Nagine juga tergugah akan banyak hal. Salah satunya bahwa semakin seseorang menyukai sesuatu, itu artinya semakin dekat mereka dengan kehilangan. Excess of anything is not good.

Dulu, patah hati pertamanya ada pada sang ayah, lalu patah hati itu menjalar saat Arthar sudah tega merusak kepercayaannya. Dari sana, entah terlalu setia, Nagine berpikir bahwa cara mencintai paling dewasa adalah dengan menjadi temannya. Just friend, nothing more.

Hari ditulisnya bagian terakhir ini sudah sangat lama dari sembuhnya patah hati itu. Sekarang, ia sudah benar-benar mengikhlaskan Arthar. Tidak lagi berharap apa pun sejak Allah mempertemukannya dengan Husain. Mari membaca beberapa paragraf terakhir yang akan menutup buku itu.

Walaupun sudah tidak pernah lagi bertukar kabar untuk basa-basi seorang teman, tapi kamu adalah laki-laki yang sudah pernah baik sama aku. Luka yang sempat ditoreh itu sudah sembuh. Sudah tidak kenapa-napa lagi sekarang.

I just wanna said, “Sorry and thank you for everything you gave to me.”

Tidak ada lagi yang bisa aku katakan selain dua hal itu. Izin menutup buku ini, ya. Terima kasih sudah sudi menjadi pemeran utamanya. Aku sudah bahagia, dan aku (yakin) kamu pun juga sudah bahagia sekarang. Nagine & Arthar telah selesai. Kisahnya sudah diabadikan. Kini, mari melanjutkan kisah baru, Na. Of course bersama suamimu, Husain Ali Ad-Dhuha; the real best part of my life.

———————
End.

Jiakh. Selesai frens. Alhamdulillah.

Tenang, still waiting karena masih ada epilog. Di epilog ini kalian akan bertemu Arthar kembali.

Sampai ketemu di epilog yang naskahnya belum diketik sama sekali. Semoga secepatnya akan dipublikasi, ya. Arigathanks pemirsa-!!

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 12 Oktober 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now