Chapter 14

159 17 3
                                    

Want to Join (2)
———————

Bagi semua orang—mungkin—agama bukanlah permainan. Ia bagian dari perjalanan hidup yang akan menghantarkan manusia kepada puncaknya, surga. Bagaimana gambaran surga itu, bagaimana cara menempuhnya, dan bagaimana bisa bertahan di sana selamanya, semua itu ditunjukkan sesuai dengan keyakinan yang manusia anut.

Habiba tentu senang mendengar salah satu orang yang ia kenal akan bergabung bersama keyakinan yang dianut, tapi di lain sisi perempuan itu juga ragu karena takut Nagine tak sungguh-sungguh. Masalahnya ini terlalu cepat, bahkan tak sampai 10 menit ia menjawab, Nagine langsung memutuskan pilihan tanpa memikirkannya matang-matang.

“Apa yang membuat kamu yakin? Agama bukan permainan,” kata Habiba berterus terang. Perempuan itu menyeruput lebih dulu vanilla latte yang baru saja datang bersama french fried potatoes.

“Pertanyaan dari saya yang mampu Kakak jawab dengan tegas dan masuk baik secara hati dan logika berhasil membuat saya untuk memantapkan pilihan tanpa berpikir panjang.” Nagine berkata penuh keyakinan, gadis itu juga menambahkan, “Lagi pula rasanya sangat mustahil apabila azan berkumandang selama 24 jam jika itu bukanlah benar-benar kuasa Tuhan.”

Habiba tersenyum lega. Setidaknya gadis itu masuk Islam memang benar-benar karena Allah. Bukan karena makhluk-Nya. Ia melirik arlojinya, sudah memasuki waktu maghrib. Habiba kembali menatap Nagine. Baru saja hendak berkata, gadis itu menyela lebih dulu.

“Mau solat, ‘kan? Mba solat gih. Di musola depan, ‘kan?” Habiba mengangguk sambil tersenyum. “Nagine ikut, ya? Nggak masuk di Masjid, kok. Lihat di depan aja.”

“Boleh, yuk!”

Kedua perempuan yang berselisih dua tahun itu berjalan beriringan menuju Masjid. Tatapan mereka memandang aneh kepada dua insan yang tengah menuju ke arah Masjid. Satunya terlihat muslimah-able, dan satunya seperti ... ah sudahlah.

Seperti menunggu Arthar saat itu, Nagine duduk di kursi panjang yang dekat dengan tempat wudu laki-laki walaupun masih disekat oleh tembok yang menutupi kran wudu. Saat semua orang berdiri dan iqamah dikumandangkan, di saat itu juga Nagine ikut berdiri dan belajar meniru gerakan mereka.

Saat imam mengucapkan surah al-Fatihah yang terdengar begitu merdu dan membuat bulu-bulu di kulitnya berdiri, gadis itu menirukannya dengan pelan. Ia memasang telinganya betul-betul agar bacaan salat itu mudah untuk dia dengar dan dia ucapkan. Saat ruku’ Nagine hanya diam karena tak mendengar apa pun dari imam, begitupun saat melakukan i’tidal, sujud—tapi Nagine tak sampai sujud—kemudian duduk di antara dua sujud, dan rakaat terakhir dalam salat.

Ia kira, selepas salam orang-orang akan berhambur untuk keluar Masjid, rupanya hanya beberapa. Beberapanya lagi masih di dalam Masjid mengikuti imam yang tengah membaca bacaan yang ia sendiri tidak tahu apa itu. Nagina tentu saja masih antusias mengikuti bacaan imam. Saat imam menuntun membaca kalimat laa ilaha illallah Nagine juga mengikutinya meskipun ada bacaan yang masih keliru. Ia juga ikut menggeleng-gelengkan kepalanya seperti sikap tengah memakan makanan yang enak versi perempuan kebanyakan.

Senyum itu belum juga pudar sampai akhirnya para jamaah buyar dari shaf masing-masing. Dari ujung pintu shaf perempuan, ia melihat Habiba yang tengah bersalaman dengan wanita setempat. Menurut Nagine ini pandangan yang menyejukkan. Terlebih wajah Habiba yang dipandang begitu sejuk.

Gadis itu terus melirik Habiba yang masih sibuk bersalaman. Perempuan itu berdiri di samping pintu shaf perempuan sambil menyalami satu-satu jamaah perempuan yang keluar Masjid. Kemudian, netra itu tidak lagi fokus pada lamunannya saat tak sengaja menangkap seorang laki-laki yang sepertinya menatap Nagine sedari tadi.

Saat Nagine melihatnya, dia buru-buru menunduk sambil mengelus dada dan fokus mengikat tali sepatunya, semantara Nagine hanya pura-pura tidak tahu. Ia memilih untuk tak acuh.

Habiba menghampiri Nagine setelah selesai dengan kegiatannya. “Maaf nunggu lama.”

“Nggak papa. Saya seneng lihatnya. Adem.”

“Ma syaa Allah. Semoga disegerakan ya, Gin,” ucap Habiba sambil mengelus pundak gadis itu. Nagine hanya mengamini dalam hati. Ia juga belum izin kepada sang mama untuk masuk Islam.

“Kita pulang masing-masing?” tanya Habiba kemudian. Nagine mengangguki.

“Terima kasih waktunya, Kak. Semoga skripsinya lancar. Diterima dosen tanpa revisi. Habis itu sidang, wisuda, dan lulus!” ucap gadis itu bersemangat. Sebelum benar-benar pergi, Habiba juga sempat mengucapkan terima kasih lalu keduanya sama-sama pamit.

———————

Rumah terasa sangat sepi. Sebab satu dari dua penghuninya belum juga pulang dari toko. Mama Nagine memang memiliki toko agen bahan-bahan dapur yang berada di pertigaan depan. Tokonya cukup besar karena bagian dari warisan buyut sang Mama.

Secara umum, orang-orang nonis kalangan biasa memang banyak yang mendirikan toko agen bahan-bahan dapur, bahkan juga sejenis bahan-bahan membuat kue. Terlebih buyut Sevina merupakan orang tionghoa yang garis keturunannya sudah putus karena nenek wanita itu menikahi orang lokal. Sehingga orang tuanya sendiri sudah tak lagi memiliki darah tionghoa.

Nagine menduga toko saat ini sedang ramai. Ia tak berniat ke sana karena karyawan sang mama sudah cukup banyak. Ia malah akan terkesan mengganggu jika ikut campur. Namun, kekhawatiran yang berusaha ia tepis sedari tadi malah bertambah sejak jam menunjukkan pukul 20.13 WIB.

Biasanya wanita itu akan pulang sebelum pukul enam sore, tapi kali ini sangat molor, bahkan sudah dua jam lebih. Tidak peduli tentang penilaian orang, akhirnya gadis itu keluar dengan baju tidur dan rambut ikal sebahu yang ia ikat kedua sisi di samping telinga ke tengah-tengah kepala membiarkan rambut bagian bawahnya tergerai.

Dia cepat-cepat mengambil kunci motor, tapi baru sampai di depan rumah hendak mengeluarkan motornya, Nagine dikejutkan sang mama yang tengah muntah-muntah di depan rumah. Dengan panik ia melebarkan langkah mendekati sang mama.

“Astaga. Mama kenapa? Ada apa?” tanyanya panik sambil memijat tengkuk sang mama.

“Mama ... mau masuk Islam.” Aroma alkohol tercium di indra penciuman Nagine begitu Sevina berkata dengan nada bicara seperti orang ngelantur. Mamanya mabuk.

“Kita masuk ke dalam,” ajak Nagine di tengah-tengah ketidaksadaran sang mama.

Nagine mulai menuntun Sevina untuk masuk ke dalam rumah, tapi baru beberapa langkah gadis itu merasa ada yang membasahi celana piyamanya bersamaan dengan sang mama yang menunduk mengeluarkan sesuatu dari mulut.

Keduanya sama-sama bug beberapa detik. Nagine kemudian disadarkan saat mamanya lagi-lagi melirih ingin masuk Islam. Ia tidak tahu apa yang membuat wanita itu berkata demikian, bahkan permintaan itu sama sekali tak terdengar meragukan meskipun diucapkan dalam keadaan tidak sadar.

“Mama mau masuk Islam, tolong bantu Mama,” ulang wanita itu setengah sadar. Jalannya mulai kelimpungan. Nagine harus ekstra menopang tubuh Sevina agar keduanya tak jatuh.

Gadis itu tak menjawab permintaan sang mama. Ia masih membantu menuntunnya berjalan masuk ke dalam, tapi ia malah melepas cekalan lembutnya memberontak seperti tidak suka.

“MAMA MAU MASUK ISLAM!!!!”

Nagine menerjapkan mata terkejut mendengar nada tinggi Sevina. Perlahan ia menganggukkan kepala. “Iya, Ma. Kita besok masuk Islam, ya?”

Pernyataan yang baru saja terlontar menjadi kalimat terakhir pada malam hari bersama bulan yang membulat sempurna. Sevina di saat itu juga menarik kedua sudut bibirnya.

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 22 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now