Chapter 45

130 16 0
                                    

Salah Adegan
Manusia tidak akan kehilangan apa pun selama di hatinya ada Allah.
———————

Acara sharing tadi berhenti saat azan Isya berkumandang. Mereka bergegas untuk salat. Menggelar terpal dan berjamaah dengan Husain yang menjadi imam. Suara merdu yang keluar dari mulut indah membuat hati Nagine berdesir. Tidak, gadis itu hanya kagum. Tidak lebih.

Setelah salat mereka melakukan renungan bersama. Bermuhasabah diri dengan diam di shaf salat. Selepasnya baru mereka melakukan acara bebas. Ada yang bermain gitar dan menyanyi, ada juga yang memilih tidur di tenda lebih dulu.

Tidak dengan Nagine, gadis itu menjauhi kerumunan. Dia menyendiri, menyandarkan punggungnya pada pohon kekar itu. Menatap banyak makhluk hidup yang menjadi rekan kerjanya hari ini. Rasanya senang sekali. Sudah lama tidak melakukan kegiatan seperti ini. Hanya saja, hatinya tiba-tiba gelisah. Dia merindukan sahabatnya. Biasanya tidak ada hari tanpa Aya, tapi setahun ke depan dia akan sendirian. Berjalan menyusuri ibu kota seorang diri.

Bertemu orang baru memang menyenangkan, selain mendapat pengalaman baru, ia juga mendapati suasana baru. Sayangnya, Nagine terlalu malas untuk mengulangi hal yang sama. Berkenalan, beradaptasi, baru akrab. Prosesnya membuat Nagine jengah atau justru ia yang terlanjur nyaman dengan orang lama?

Nampak dirinya tengah menghela napas berat berkali-kali. “Kapan kita bisa ketemu Ay? Astaga gue kangen banget. Mana di sini nggak ada jaringan,” keluhnya. Setelah menelepon sang mama tadi, tiba-tiba akses internet pada kartu SIM-nya hilang. Menyebalkan bukan? Padahal ada satu orang lagi yang harus ia hubungi. Sekarang mau meminta tolong kepada siapa?

Nagine menatap ponselnya. Benda mati itu seperti tidak berguna. Di saat genting saja akses emosi mencari kesempatan. Dasar—astaga! Mau memarahinya pun ponsel menyebalkan itu tidak akan memberikan reaksi.

Dia kemudian menekuk lututnya. Menyangga tubuh dengan dua tangan yang merengkuh lutut. Kepalanya mendongak menatap bulan yang dipenuhi taburan gemerlap bintang-bintang.

Tuhkan datang lagi!

Ini yang paling tidak Nagine sukai. Memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Ingat Gin, ini udah dua tahun. Mau sampai kapan seperti ini terus?

Nagine menepuk kepalanya berusaha untuk menghilangkan wajah seseorang yang baru saja melintas membawa kenangan manis yang sekarang terasa pahit dan menyendat lama di tenggorokan. Sudah bersusah payah ditelan, tapi perut seperti bergejolak menolaknya.

“Kepala itu salah satu bagian yang sensitif. Memukul kepala bisa membuat tulang tengkorak patah dan merobek jaringan lapisan pelindung yang ada sekeliling otak. Bakteri bakal mudah masuk ke otak dan menyebabkan infeksi, hati-hati.”

Perkataan yang cenderung nasihat yang baru dilayangkan seseorang tadi membuat Nagine mendongakkan kepalanya. Laki-laki itu lagi. Mengapa harus datang di saat yang seperti ini?

Nagine yang semula duduk, kini berdiri. Memposisikan dirinya percis seperti laki-laki yang berdiri tidak jauh di depannya.

“Kenapa nggak gabung aja ke sana?” tanyanya. Nagine menggeleng, tapi tiba-tiba gadis itu menjerit saat lampu PJU yang terpasang di bumi perkemahan mati dan menyisakan sinar rembulan yang tak begitu menerangi keadaan sekitar.

“YA ALLAH KENAPA MATI LAMPU?!?!?!”

Dia menjerit ketakutan. Salah satu hal yang Nagine tidak suka adalah kegelapan. Karena di saat-saat gelap seperti ini ia kehilangan dua orang yang berkesan dalam hidupnya. Kakek dan ayahnya.

“Le–pasin tolong.”

Nagine kira tidak ada yang lebih menakutkan selain gelap, tapi setelah mendengar rintihan seseorang rupanya ada yang lebih menakutkan lagi. Buru-buru gadis itu melepas rengkuhannya pada tubuh atletis yang jelas ia ketahui itu milik siapa setelah bersusah payah meyakinkan dirinya sendiri tidak apa-apa gelap, asal tidak bermaksiat. Allah bersamamu Nagine. Berhenti memeluknya. Kamu tidak akan kehilangan apa pun selama kamu tunduk pada Allah. Kamu akan baik-baik saja. Percaya itu.

Bersamaan dengan pelukan terlepas, lampu PJU kembali menyala. Gadis itu hendak mengumpat diam-diam, tapi rupanya apa yang ia terjunkan dalam pikiran tadi begitu cepat Allah kabulkan. The real Allah is the best planner.

Nagine menyeru istighfar sejenak. Berkali-kali meredam ketakutannya dengan kalimat permohonan ampun itu.

“Pak Husein sa–saya minta maaf,” katanya menundukkan pandangan. Tidak berani menatap Husain. Terlalu takut mendapati raut wajah orang yang terlihat salih ini marah.

“Tubuh saya udah nggak perjaka. Ayo nikah.”

Sudah ke berapa kali Nagine dikejutkan dengan suasana kali ini? Tidak, ia yakin sedang bermimpi sekarang. Nagine memundurkan langkahnya. Sepertinya ia harus menjaga jarak dengan bapak guru satu itu. Pasti pikiran laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja sekarang.

“Ayo menikah Nagine Zabrine.”

Dia tau nama gue dari mana?

Sungguh, jika Nagine memang benar-benar bermimpi tolong sadarkan ia sekarang. Bisa-bisanya ia memimpikan hal yang tidak bisa dicerna dengan sehat oleh akal.

“Saya nggak mau,” kata Nagine setelah bersusah payah menyadarkan dirinya bahwa sedang bermimpi, tapi rupanya ia tetap berdiri. Berarti ia sedang tidak bermimpi bukan?

“Saya nggak mau timbul fitnah. Kamu peluk-peluk saya sembarangan tadi,” elak Husain.

“Itu namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan, Pak. Lagian siapa yang mau memfitnah kita berdua. Keadaan lagi gelap gulita, mana mungkin mereka bisa lihat. Bapak nggak denger suara anak-anak pas mati lampu tadi?” Nagine berusaha menolak dan tetap tidak menatap laki-laki yang sudah ia peluk tadi. “Lagi pun saya nggak sengaja meluknya. Refleks Pak, refleks.”

“Mereka mungkin tidak lihat, tapi Allah melihat. Saya nggak mau berdosa di hadapan Allah.”

“Nggak sengaja, Pak. Mana mungkin berdosa? Lagian saya emang murni takut tadi. Refleks. Allah pasti tau dan maklumi. Jangan dibikin ribet.”

“Iya, Allah tau dan saya nggak tau. Bisa aja kamu yang cari-cari kesempatan supaya bisa meluk saya.”

“ALLAHU PAK, MANA MUNGKIN SAYA BEGITU!!” suara yang agak tinggi tadi berhasil membuat atensi seluruh warga sekolah yang baru saja menyeru hamdalah berpindah ke arah dua guru muda berbeda spesies ini.

“Kecilin kalo ngomong. Saya nggak mau tau, secepatnya saya akan datang ke rumah kamu,” kata Husain sebelum akhirnya memilih meninggalkan Nagine dengan tersenyum kikuk ke arah bapak ibu guru yang tadi melihat mereka. Rusak sudah citranya.

“Dateng aja kalo tau alamatnya,” kata Nagine pelan yang masih dapat didengar oleh Husain, bahkan laki-laki itu tersenyum jail sekarang. Siapa takut?!

———————
To be continued.

Terima aja, Gin. Lumayan dapet spesies soleh begitu. Wkwk.

Ngomong-ngomong udah sampai chapter 45 aja. Nggak kerasa. Panjang banget ternyata :)

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 21 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang