Chapter 65

149 17 0
                                    

Hujan Malam.
———————

Saat ini Nagine dan Husain berada di dalam pesawat. Pesawat menuju Jakarta akan lepas landas dalam waktu lima menit lagi. Nagine izin kepada suaminya untuk merekam keberangkatan mereka untuk dijadikan konten yang akan ia publikasi di reels Instagram.

Ya, selama menjadi guru, gadis itu sering membuat konten yang memiliki sifat ringan seperti; konten memasak, membersihkan rumah, healing, bahkan perpisahan pertamanya dengan Aya pun ada. Walaupun mode kontennya no face no case, ternyata itu yang memiliki kesan estetika sehingga membuat orang-orang tertarik untuk memfollow. Sekarang followers Nagine hampir dua ribu. Jika dibandingkan dengan Husain memang sangat jauh.

Salah satu keenakan saat duduk di sebelah kaca pesawat. Hanya ini. Penumpang bebas menikmati keadaan luar, walaupun saat malam tiba Nagine justru takut. Apalagi saat cuaca tidak kondusif.

Nagine baru memasukkan ponselnya saat pesawat mulai naik ke tas. Dirasa sudah tidak ada yang divideo lagi, gadis itu memasukkannya dan ingin menikmati waktu bersama sang suami.

“Ini perjalanan jauh pertama kita,” kata Husain membuka suara. “Saya harap kita bisa melakukan perjalanan lebih jauh lagi, haji atau umroh bareng misalnya.” Mendengar itu kontan Nagine mengamininya dengan serius.

Tiba-tiba jari jemari Husain mengait pada jari jemari milik Nagine. Keduanya lantas bergandeng tangan saling pandang.

“Ini seni mendapat pahala,” celetuk Husain yang membuat Nagine menyemburkan semburat merah di pipinya. Sayang, Husain tidak bisa melihat itu sebab istrinya menutup wajahnya dengan masker.

“Kamu tau nggak, kenapa waktu kita menikah saya merekomendasikan kamu memakai cadar atau niqab?” tanya Husain. Nagine menggeleng. Dia memang tidak tahu karena saat itu Husain menyuruhnya tanpa alasan. Ia mengangguk patuh saja karena saat itu dirinya juga ingin mencoba.

“Karena kecantikan kamu itu sudah resmi punya saya, dan saya adalah laki-laki egois yang tidak mau wajah kamu menjadi konsumsi umum. Kecantikan kamu milik saya,” ucapnya sambil mengembangkan senyum.

Nagine tersenyum lebar. “Itu artinya, apa saya harus pakai cadar terus?” tanyanya.

“Kamu mau?” Husain balik bertanya. “Untuk ini, saya nggak maksa kamu sama sekali, Ning. Kalau sampean memang mau, saya alhamdulillah. Kalau ndak mau, ya ndak papa. Toh wajah bukan aurat. Asal kaos kaki dan pergelangan tangannya masih dianggap aurat saja, itu sudah cukup.”

Seketika Nagine beruntung memiliki suami pengertian seperti Husain. Namun, tanpa disadari di belakang mereka ada sepasang telinga dan sepasang mata yang menyimak obrolan kecil itu sambil berusaha untuk tidak menangis. Kenyataannya, melupakan tidak semudah itu. Ia gagal pada cinta pertamanya. Sudah terbiasa hidup tanpanya, tapi ia masih belum berhasil dalam hal lupa.

Dia tahu dia adalah laki-laki jahat. Sudah beristri, tapi masih bodoh melupakan perempuan lain yang rupanya juga sudah bersuami.

Diam-diam batinnya bersuara, “Ngelihat interaksi sama suami lo, rasanya jadi kayak salah gue banget, ya Na? Padahal lo nggak tau di balik semua ini, gue lakuin itu hanya demi lo dan demi masa depan kita. Gue sedih dan hancur juga, tapi kayaknya lo memang nggak perlu tau. Selamat berbahagia, Gina. Selamat menempuh hidup baru. Selamat menjadi salah satu faktor penyebab perubahan sosial budaya karena telah membuat KK baru. Dari Arthar dan segala lukanya.”

———————

Tidak banyak yang mereka lakukan setelah sampai di rumah Husain selain membersihkan diri dan makan malam. Setelah menikah Nagine memang sudah sepakat bahwa sampai di Jakarta ia akan tinggal bersama Husain, suaminya. Jarak rumah Husain dengan rumahnya tak terlalu jauh. Hanya setengah jam. Memang lebih dekat dengan tempat keduanya mengajar.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now