Chapter 64

145 15 0
                                    

Berdua.
———————

Setelah sesi sharing tipis subuh tadi, kedua pengantin tersebut memutuskan untuk melakukannya lagi selama satu minggu untuk proses pendekatan diri. Mencoba beradaptasi lewat story telling ditambah dengan kegiatan mengaji bersama. Tadi Nagine yang merequest kegitan itu karena ia masih belum fasih dengan kitabnya.

Bahasa baru pertama yang langsung ia pelajari tanpa pertimbangan adalah bahasa Arab yang ada pada Al-Qur’an. Nagine pikir akan mudah, tapi ternyata hidayah Allah begitu mahal sehingga tidak semua orang bisa. Pantas saja ketika ia mendengar kalamullah itu hatinya terasa tentram karena mempelajarinya saja butuh perjuangan.

“Ini taruh di mana, Dek?” Nagine menunjukkan dua kotak berisi sayur berbeda jenis yang baru saja dicuci di wastafel kepada Bilqis, satu-satunya adik Husain.

“Ditaruh di kulkas, Ning,” jawabnya sibuk membungkus sisa makanan ringan kemarin dengan paper wrap.

“Adik kakak ini semangat banget lagi di dapur,” kata seseorang di ambang pintu. Bukan Husain, dia Aya lengkap dengan gamis brukat coklat serta warna hijab yang senada.

“Mau ke mana?” tanya Nagine memperhatikan sahabatnya dari bawah ke atas. Saat mata mereka beradu, Nagine menaikkan alisnya.

“Mau balik ke Semarang.”

Mata Nagine membulat sempurna. Gadis itu mencuci tangan dan mengelapnya terlebih dahulu sebelum akan memprotes Aya yang mendadak balik ke Semarang tanpa memberitahunya kemarin-kemarin.

“Kok cepet banget? Nggak betah? Kenapa buru-buru? Ada masalah? Janganlah pulang dulu,” katanya menggeret Aya untuk duduk di tepi lantai musola yang sengaja dibangun agak tinggi.

“Bukan nggak betah. Lo ‘kan tau kalo gue kerja di kantor ikut orang. Masa mau ngeliburin diri lama-lama. Nggak sopanlah, Ay. Gue harus balik hari ini.”

“Kenapa harus sekarang banget? Aku belum siapin apa-apa buat kamu.”

Aya mengerutkan dahi bingung. “Aku? Kamu?” tanyanya seperti menahan tawa.

Nagine memutar bola mata malas. “Lagi di ndalem. Di lingkungan yang baik, rasanya nggak pantes kalo bilang pakai gue-lo.”

Aya mengembangkan senyumnya. “Widih, mantunya pak kyai emang beda. Top-top, lanjutinkan,” katanya mengacungkan jempol. “Nggak usah kasih gue apa-apa. Ini gue ke sini tujuannya hadir ke pernikahan sahabat gue. Bukan traveling. Udah, nggak usah kasih apa-apa.”

“Ay, kamu yang bener aja. Bentar-bentar, Bilqis, tolong bantu tahan Kak Aya di sini, ya.” Nagine buru-buru masuk ke kamar Husain untuk mengambil sesuatu. Ia kembali dengan satu kotak yang tidak terlihat isinya dan satu paper bag di sebelah tangannya.

“Buat kamu,” kata Nagine memberikan yang ia bawa tadi. Aya senang hati menerimanya.

“Aya mau ke mana?” tanya Sevina yang datang dari pintu samping ndalem yang berbatasan dengan asrama putri.

“Mau balik ke Semarang, Tante,” kata gadis itu.

“Lho? Kenapa buru-buru banget? Kenapa nggak nanti malam aja? Sekalian bareng Tante dan ayahnya Nagine ke Jakarta.”

“Wah, saya nggak tau Tan. Saya kira Tante pulang besok. Saya terlanjur pesan tiket. Setengah belas nanti udah harus take off.

“Lho, ini masih jam setengah sembilan. Perjalanan ke Juanda nggak sampai satu jam. Kenapa buru-buru, Kak?” tanya Bilqis yang disetujui oleh Nagine dan ibunya.

“Iya, Kakak mau healing tipis-tipis. Mau belanja beberapa barang pesanan dari nenek.”

Setelah melakukan banyak pertimbangan karena gengsi, Nagine langsung memeluk sahabatnya. Ingatannya dibawa pada saat di mana perpisahan pertama mereka di Lombok saat itu. Kini, Nagine seperti dibuat melepas Aya dua kali.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now