Chapter 42

135 16 0
                                    

Hobbies
———————

Rapat dewan guru dan staf sekolah dalam rangka pengembangan acara pada saat camping baru dilaksanakan H-7. Setelah satu minggu Nagine mengajar di sekolah ini, rapat yang ia tunggu-tunggu baru dilaksanakan. Jika dipilih sebagai guru pendamping, sungguh tanpa menimang-nimang lagi pun ia pasti akan menerimanya.

Kegiatan rapat sampai pada susunan acara. Kepala sekolah mulai merincikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan saat camping selama tiga hari di salah satu bumi perkemahan Cibubur. Kepala sekolah memprediksi kami semua yang ikut akan sampai di sana sekitar pukul sembilan pagi.

Di sana anak-anak akan melakukan registrasi disusul oleh pendirian tenda terlebih dahulu. Kemudian menata untuk persiapan dan melakukan opening ceremony. Setelahnya para guru akan mengarahkan siswa-siswi kepada kegiatan utama yang akan dilaksanakan setelah ishoma sekalian salat Zuhur. Serentet acara telah disuarakan panitia dan kepala sekolah dengan antusias menyetujui semua konsep.

“Guru-guru yang akan mendampingi siswa-siswi sesuai dengan data yang sudah dipersiapkan kemarin, ya?” kata Pak Yunus—si kepala sekolah— memandangi laptopnya akan membacakan guru yang akan ikut serta. “Sesuai dengan kesepakatan ada 8 orang guru yang akan mendampingi siswa-siswi melakukan camping. Kita melanjutkan giliran tahun kemarin; untuk guru laki-laki ada Pak Salman, Pak Adi, Pak Bagus, dan Pak Husein, dan untuk guru perempuan ada Bu Oka, Bu Astuti, Bu Alima, dan terakhir guru baru Bu Gina.”

Mendengar namanya disebut, Nagine menarik seulas senyum. Bahagia sekali rasanya. Gadis itu juga merindukan suasana camping.

“Persiapan dilakukan mulai besok, ya. Jadwal yang tadi saya sebutkan, tolong ditulis dalam bentuk PDF dan dishare ke murid-murid baik secara online maupun offline. Terima kasih. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyampaian kata, rapat selesai. Saya undur diri. Wassalamualaikum.”

Keluar dari ruang rapat, Nagine langsung berinisiatif untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ia melangkahkan tungkainya menuju kantin seorang diri. Dia sepertinya juga harus melakukan pendekatan kepada guru-guru lain agar tidak merasa tengah menjadi orang introvert seperti ini.

Saat di jalan ia berpapasan dengan guru muda dengan kondisi perut yang membuncit. Terlihat jalannya sudah mulai kesusahan. Sebentar lagi guru yang bernama Hana itu pasti akan mengambil cuti untuk melahirkan.

Tanpa keraguan Nagine berjalan mendekati Hana yang berjalan berlawanan arah dengannya. Dia menunduk kemudian tersenyum menyapa. “Saya mau ke kantin, titip sesuatu Bu?” tanya Nagine basa-basi.

“Oh mau ke kantin? Saya bareng aja deh. Mau beli bakso, nggak ada temennya. Sama kamu aja kalo gitu,” katanya. Nagine bernapas lega. Ia bersyukur akhirnya usaha untuk mendekatkan diri dengan orang yang bernama Hana ini tidak susah.

“Mari, Bu,” ajak Nagine berjalan menyamai kecepatan bumil itu.

“Kalau lagi berdua gini jangan panggil Bu, panggil Hana aja. Kayaknya umur kita nggak beda jauh deh,” kata Hana.

“Memang umur Bu Hana berapa?”

“Saya 26, kamu?”

“22 Bu, November nanti 23.”

“Walah beda tiga tahun aja. Panggil nama aja nggak papa, nggak enak juga dipanggil Ibu di usia yang muda. Apalagi kamu yang baru lulus kuliah tiba-tiba dipanggil Ibu,” kata Hana sambil terkekeh. Nagine menyetujui pernyataan itu diam-diam. Sebetulnya telinga Nagine masih belum terbiasa untuk sekadar dipanggil ibu oleh rekan kerjanya. Apalagi muridnya. Usia mereka juga tidak terpaut terlalu jauh hingga rasanya terdengar kurang pas.

“Saya dulu kuliah masuk di PGMI juga lulus langsung ngajar di MI setahun, habis itu mutasi ke sekolah SMA. Agak syok juga baru 24 tahun udah ngajar anak-anak yang sudah mau memasuki usia pre-adult.

“Saya apalagi, Kak Han. Saat itu belum ada persiapan, tiba-tiba pas malam setelah kelulusan saya dapat email dari pihak sekolah. Katanya saya diusulkan oleh dosen saya sendiri. Ma syaa Allah banget,” ujarnya ikut membagikan cerita. Sebuah rezeki yang sepatutnya harus ia syukuri.

“Ditambah katanya kalau daftar jadi guru tanpa ada surat pindahan dari sekolah lama ke baru itu nggak mudah. Harus ada tes, tapi ternyata bisa juga ke sini tanpa berniat mau masuk pun,” imbuh Nagine. Dia agak sedikit merasa bangga dengan dirinya sendiri. Allah baik sekali mau mengatur rezekinya sedemikian indah.

“Dulu kalau nggak mau jadi guru, mau ngelamar kerja ke mana? Kan dulu ada magang. Pasti jadi guru toh?” tanya Hana.

“Iya dulu magang jadi guru, Kak. Cuma saya agak kurang berminat karena niatnya mau kerja di perusahaan saja biar bisa seprofesi sama sahabat saya. Saya salah pilih tempat magang kayaknya, hehe, tapi rupanya Allah memilih saya untuk jadi guru di sini. Ya nggak papa, disyukuri aja.”

Tidak terasa mereka sudah sampai di kantin. Keduanya kemudian duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Beberapa murid yang berlalu lalang menyapa mereka dengan sopan. Sementara itu Nagine menyuruh Hana untuk duduk dan membiarkan dirinya memesankan menu wanita itu.

Setelah siap dengan dua mangkuk bakso di tangannya, Nagine berjalan menuju bangku yang diduduki Hana. Dia memberikan satu mangkuk bakso kepadanya sambil berkata bahwa es teh yang mereka pesan akan diantar ke sini. Nagine yang meminta tolong kepada penjualnya.

“Gimana tadi? Kamu mau kerja di perusahaan awalnya?” tanya Hana setelah ia menyelesaikan kunyahan di mulut. Nagine mengangguk. “Perusahaan yang kayak gimana?”

“Apa aja sih Kak. Mau jadi staf administrasi soalnya, hehe. Kebetulan waktu SMA saya sempat belajar yang kayak gitu di sekolah, tapi kalau nggak bisa saya mau join di perusahaan penerbitan. Saya suka nulis cerpen ataupun novel, jadi berminat sekali untuk masuk ke sana,” jelas Nagine.

“Lho? Iya ya? Kamu pas kuliah ambil Sastra Indonesia, ya?” tanya Hana, Nagine mengangguk. “Pantes aja suka nulis. Kalau mau nerbitin buku mending ke Pak Husein aja, Gin.”

Nagine mengerutkan dahi, “Pak Husein?” tanyanya tidak mengerti.

“Iya, Pak Husein. Beliau guru Bahasa Arab sekaligus guru agama di sini. Punya perusahaan penerbitan. Jumlah followersnya juga udah banyak, kamu kalo mau nerbitin karya yang bentuknya buku bisa ke beliau aja. Membantu teman sendiri nggak salah, ‘kan?” ujar Hana diakhiri kekehan.

Jujur Nagine masih agak syok. Jadi, Pak Husein-Pak Husein itu punya perusaahan penerbitan buku? Sangat plot twist.

Setelah mengotak-atik ponselnya, Hana menyodorkan benda persegi panjang itu ke arah Nagine. “Tuh jumlah followersnya udah banyak. Ada 39,7k. Lumayan untuk ukuran penerbit famous. Pasti amanah, ‘kan?”

Nagine memerhatikan akun dengan username @penerbithad itu. Jumlah followersnya yang terbilang banyak ini cukup membuat Nagine tertegun. Dulu ia sempat bercita-cita menjadi penulis best seller dan memiliki perusahaan terbit sendiri, sekarang justru rekan kerjanya yang punya. Tidak ikut mendirikan pun, Nagine ikut bangga. Dalam hati Nagine mengagumi Husain. Sudahlah dia seorang laki-laki yang tampan rupawan, guru agama sekaligus Bahasa Arab, eh punya perusahaan penerbitan pula. Paket komplit untuk ukuran kegemarannya.

———————
To be continued.

Bangga punya teman kayak Husain💢

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 18 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now