Chapter 59

149 17 0
                                    

The fact.
Jika kebenarannya seperti ini. Lebih baik 'aku' tidak perlu tahu.
———————

Dari jendela kamar Husain, Nagine melihat pemilik kamarnya baru memasuki kawasan pesantren setelah salat Jum'at di luar. Laki-laki yang baru saja menjadi suaminya berjalan di atas blue karpet yang dipayungi dengan tenda resepsinya malam ini.

Saat Husain berjalan, dia baru menyadari bahwa semua santriwan yang semula semburat menjadi berbaris rapi seperti menyambut kedatangan Husain sambil menyalami tangan laki-laki itu. Ada satu hal yang membuat hati Nagine menghangat saat ia melihat suaminya menerima uluran tangan santrinya dengan tersenyum. Membiarkan mereka mencium punggung tangannya.

Lalu tangan bekas ciuman itu balik ia cium kemudian meletakkan tangan yang sama ke dada. Begitu berulang kali sampai para santri yang berbaris rapi itu habis. Husain langsung melangkahkan kakinya ke ndalem. Laki-laki itu sesekali menangkupkan kedua tangannya saat seorang santriwati yang tak sengaja berpapasan memulainya lebih dulu.

"Ma syaa Allah."

Sedari tadi Nagine tidak ada habis-habisnya menyeru nama Allah. Memuji Tuhan yang Mahabaik itu.

Gerakan mengamati suaminya buyar saat pintu kamar diketuk seseorang. Ia tebak itu adalah perias yang akan membantunya bersiap untuk resepsi.

"Mari masuk, Mbak," ajak Nagine. Lastri tersenyum, lalu melangkahkan kakinya ke dalam kamar dan kembali menutup pintu itu.

"Sudah mandi?" tanya Lastri yang Nagine angguki. "Jadi make gaun yang nggak terlalu berat itu, 'kan?" tanya Lastri lagi.

"Iya, Mbak. Bukan karena saya nggak mau dikasih gaun yang berat-berat, tapi saya takut susah waktu solat nanti."

"Ma syaa Allah, Ning. Saya nggak nyangka muallaf seperti sampean bisa sedrastis ini dalam beradaptasi meyakini Islam. Perkembangan sampean pesat sekali. Saya barusan dapat cerita dari mamanya Ning kalau dari awal masuk Islam pakaian kalian sudah sesuai syariat."

"Tak kira yang begini cuma bisa ditemuin di aplikasi baca Freenov aja. Ternyata saya bisa ketemu sama tokoh fiksi di sana versi real life. Ma syaa Allah. Saya kagum tenan sama sampean, Ning."

"Hus, ndaklah. Jangan terlalu berlebihan memuji manusia, apalagi meletakkan kekaguman yang lebih pantas disuarakan untuk Allah karena telah berhasil menutupi aib-aib saya di hadapan sampean dan orang-orang, tapi semoga apa yang barusan sampean ucapkan bisa terwujud di diri saya."

Keduanya lantas mengamini bersama.

"Silakan pakai dalaman gaun ini, Ning," kata Lastri sambil mengeluarkan koper kecil yang berisi peralatan make up lengkap. Nagine menerima kain tersebut lalu menuju kamar mandi dan keluar setelah membalut tubuhnya.

"Suami saya bakal masuk?" tanya Nagine was-was. Masalahnya gadis itu sedang tidak mengenakan hijab sekarang.

"Kurang tau, kayaknya mboten. Soalnya habis solat Jum'at tadi Gus Husein langsung disuruh masuk ke kamar Bu Nyai untuk dibantu siap-siap juga."

Nagine bernapas lega sekarang.

"Tapi belum tau juga sih. Ini kamar beliau. Jadi, nggak menutup kemungkinan juga beliau bakal ke sini buat ambil sesuatu mungkin. Ndak tau saya, Ning."

Seketika gagal lega.

"Ih Mbak Lastri. Ini gimana? Saya nggak pakai kerudung. Pintunya dikunci aja. Biar yang masuk nanti ketuk pintu dulu," kata Nagine lalu berjalan menuju pintu dan menguncinya dua kali.

"Saya make up tipis-tipis aja, Mbak. Bagian bibir dikasih lip balm aja. Kan seharian bakal pakai cadar," kata Nagine setelah duduk di kursi yang memantulkan tubuhnya pada cermin.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now