Chapter 05

250 17 9
                                    

Tentang Perasaan
Memiliki perasaan terhadap lawan jenis memang hal yang normal, tapi manusia tidak bisa menormalisasikan setiap perasaan.
———————

“Jadilah apa adanya. Tidak menyerah ketika ditolak, dan terus maju melawan perbedaan.”

Padahal saat ini cuaca tengah mendung. Tidak terasa ada terik Matahari di sini, tapi mengapa gadis di depan Nagine tengah memasang muka merah seakan-akan kepanasan? Bahkan tangannya kini mengepal, tidak lupa kedua bibir itu mengatup seperti sedang menahan amarah agar tak sampai meletup.

Begitulah, semua scene kehidupan memang terkadang berjalan di luar keinginan diri sendiri. Seperti saat ini. Kalimat yang baru saja dilontarkan Nagine benar-benar di luar dugaan. Aya sampai tak lagi bisa berkata-kata karena ia belum menyiapkan hal se-plot twist ini.

Terlihat gadis itu memijit pelipisnya pening. Lama-lama ia akan stress jika terlalu memikirkan hati petualang Nagine. Biarkan dia melakukan semua yang ia mau. Tugasnya hanya melihat sejauh apa perempuan itu bertahan dalam perbedaan.

“Udah Ay, jangan stress. Kamu kuat,” lirih gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Memiliki teman seperti Nagine memang menyenangkan, tapi rupanya kerugian yang didapatkan lebih banyak. “Your life is a joke.

“Gimana, Ay? Keren nggak kata-kata gue tadi?” tanya Nagine setelah meneguk seperempat air mineral. Gadis itu menatap Aya yang kini tengah bersedekap melihatnya tanpa berkata.

Lama Nagine menunggu, akhirnya ia mendengar helaan napas milik Aya. “Gin, gue nggak tau ini udah ke berapa kali gue menyadarkan lo, tapi kalimat yang gue ucapkan setelah ini, mungkin akan jadi yang terakhir kali?”

Nagine mengerutkan dahinya. Ia tidak bertanya apa pun sampai Aya benar-benar menyelesaikan apa yang hendak dikatakan.

“Ya ... gue harap mulut gue nggak gatel sih buat nasihatin lo, tapi gue usahakan ini yang terakhir dan lo harus merenungi semuanya. Oke?” Nagine mengangguk saja sambil menunjukkan jempolnya.

“Punya perasaan yang lebih sama lawan jenis memang hal yang normal, tapi bukan berarti kita bisa menormalisasikan setiap perasaan, Gina.”

Nagine mengerutkan dahi, kali ini ekspresinya nampak tidak setuju.

“Tapi perasaan ini ada karena Tuhan, Ay. Kok bisa lo bilang nggak bisa menormalkan setiap perasaan?”

Salah paham lagi. Aya menggaruk tengkuknya yang tertutup oleh hijab. Setelah berusaha menetralkan emosi, ia berkata. “Ya. Gue tau itu, tapi setiap perasaan nggak bisa dinormalisasikan gitu aja. Kadang ada perbedaan yang harus kita sadari, dan nggak semua perasaan harus beriringan kayak yang lo mau. Di dunia ini kita nggak bisa memaksakan semuanya, termasuk perbedaan itu.”

“Bahkan selain perbedaan iman, perasaan lain yang nggak bisa dinormalisasikan itu bisa aja kayak stuck in toxic relationship. Kayak lo nggak perlu mempertahankan perasaan lo, di saat hubungan yang lo jalani jauh dari kata sehat. I mean, lo nggak perlu minum racun cuma karna kehausan, ‘kan?”

Kali ini Nagine diam. Sesuai apa yang ia tunjukkan pada Aya tadi, dia merenungi semuanya sekarang. Meski terlalu sulit untuk diasah oleh otaknya, Nagine akan berusaha memperjelas lagi seorang diri.

———————

Setelah pertemuan singkat selepas kuliah bersama Aya tadi, Nagine kini sudah berada di rumah. Ia baru saja menginjakkan kakinya di lantai abu tua yang dingin itu. Dia masuk ke dalam kamarnya selepas membersihkan diri di kamar mandi.

Tidak ada notifikasi favoritnya. Semua berakhir kemarin subuh. Hari ini mereka tidak bertemu sama sekali. Rasa rindu itu akhirnya hadir lagi setelah seharian terobati. Ia menyadari mungkin hati Arthar memang bukan untuknya. Bukan laki-laki itu tidak peka, tapi memang tidak ada yang perlu dibalas perasaannya karena memang dari awal ia tidak menyukai Nagine.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now