Chapter 66

159 16 0
                                    

Judul Cerita.
———————

Mobil Brio hitam itu masuk ke kawasan Menara Lima High School. Satpam sudah jelas mengenali itu mobil milik siapa, ya benar, itu mobil Husain. Pak Aji menunduk menyapa Husain dari luar. Laki-laki itu lantas menurunkan kaca mobilnya.

Bersamaan dengan itu Pak Aji mengerutkan dahi bingung. Siapa perempuan mengenakan masker yang duduk di samping Husain itu? Ia nampak kenal. Seperti pernah melihat. Beliau tidak tahu saja bahwa itu Nagine, perempuan yang sudah resmi menyandang istri guru Bahasa Arab itu.

Walaupun sudah kenal baik dengan Husain, Pak Aji masih punya etika untuk tidak ikut campur pada ranah pribadi orang lain. Dia sudah cukup tahu dengan ini semua, sisanya biar itu menjadi urusan Husain.

Sepasang suami istri itu turun saat mobil sudah sempurna terpakir di dekat kolam ikan yang ada di parkiran depan sekolah. Di ML memang ada dua parkiran; parkiran dalam dan luar. Biasanya parkiran luar dipakai untuk tamu yang mendapat tugas dinas ke sekolah ini. Atau, beberapa juga ada guru yang mengenakan tempat parkir tersebut karena dinilai lebih dekat dengan ruang guru. Salah satunya Husain.

“Nggak ada yang ketinggalan to?” tanya Husain pada istrinya. Nagine hanya menggeleng. Dia membetulkan tasnya kemudian berjalan beriringan dengan Husain.

Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti. “Eh, kita belum bilang ke Pak Aji buat bukain gerbang untuk Mbak Naning loh, Mas.”

Kontan Husain menepuk jidatnya. “Oh ya. Yawis sampean masuk aja dulu. Nanti saya nyusul. Saya bilang ke Pak Aji sebentar,” kata Husain. Nagine mengangguk saja. Dia berjalan meninggalkan Husain ke ruang guru. Ah sudah lama sekali dirinya tak menginjakkan kaki di tempat ia mengabdi.

Tangannya mendorong pintu ruangan sambil menyeru salam. Semua mata memandang ke arahnya sekarang. Seminggu tidak masuk kerja sudah terasa asing lagi. Bagaimana dengan Husain nanti? Laki-laki itu sepertinya terhitung dua minggu cuti.

“Ma syaa Allah. Ahlan wa sahlan Bu Gina,” ujar Pak Dadang menyambut kedatangan Nagine. Guru bahasa Arab yang memiliki gaya rambut cepak itu kemudian fokus kepada tumpukan kertas-kertas putih yang ada di mejanya. “Pak Husain juga hari ini udah mulai masuk. Kalian janjian ya?” tanya Pak Dadang yang terkesan membercandainya padahal memang benar. Semua guru yang ada di ruangan hanya terkekeh menyaksikan itu.

“Apa kabar Gina?” tanya Hana yang mejanya memang di dekat pintu. Di belakang Hana meja Nagine.

“Alhamdulillah baik. Kak Hana gimana?” tanyanya balik. Hana menjawab dengan hal yang serupa, tak lupa mencantumkan kondisi bayinya juga.

Pintu kemudian kembali terbuka. Dapat ditebak bahwa laki-laki itu Husain. Dia datang membawa dua kantung plastik besar warna merah yang berisi nasi kotak.

“Wah ... bawa apa itu Pak Husain?” tanya Pak Bagus.

“Sebentar Pak.” Husain kemudian pergi lagi keluar dan datang-datang membawa dua kantung plastik berisi nasi kotak. Begitu sampai empat kali.

“Ada acara apa ini, Sen?” tanya Bu Oki menerima nasi kotak yang Husain bagikan. Wanita itu yang pertama kali mendapatkan nasi kotak. Nagine hanya diam saja. Dia kaku. Masih malu juga.

“Alhamdulillah, di sini saya mau memberi kabar juga pengumuman,” kata Husain membuka acara, tapi sudah ada yang menyela.

“Kamu mau nikah ya?” tanya Pak Dadang.

“Lebih tepatnya sudah menikah, Pak.”

“Lho? Kok nggak undang-undang. Siri?”

Kalau siri saya mah nggak akan mau, Pak,” batin Nagine.

“Yah ... saya nggak jadi jodohin kamu sama Husain, Na,” bisik Hana. Nagine hanya terkekeh saja. Sudah berjodoh, Kak. Nggak perlu pakai acara dijodoh-jodohin.

“Nikah secara agama dan secara negara. Saya menikah di Surabaya. Cuti dua minggu kemarin saya untuk menikah. Sengaja nggak bilang karena niat awal saya dan istri memang nggak mau undang-undang. Kan jauh dari sini. Malah boros bensinnya. Sekarang bensin lagi mahal-mahalnya,” terang Husain.

“Sesekali atuh dikenalkan istrinya. Ikut ke Jakarta, ‘kan?” kata Bu Oki yang Husain angguki.

“Iya, ikut ke Jakarta. Itu.” Ya Allah, Mas! Ngapain nunjuk ke arah saya sih. Kan belum ada persiapan. Kacau sudah.

Nagine nampak tersenyum kikuk saat semua pasang mata menatapnya tak percaya. Terlebih Hana. Wanita itu rasanya ingin kabur saja karena sudah malu membisikkan hal konyol kepada istrinya Husain.

“Walah, ya pantes aja sama-sama ambil cuti. Ya Allah saya nggak nyangka loh, Sen. Kok bisa-bisanya kamu nikah sama Bu Gina. Murid-murid pasti seneng nih. Secara mereka pada shipper Husna garis keras,” ujar Pak Dadang.

“Husna? Husna siapa?” beo Nagine tidak paham.

“Husna itu Husain dan Gina, Bu.” Kali ini Pak Adi yang menyahutinya dengan terkekeh.

“Ma syaa Allah. Ayo segera didoakan. Kapal saya beneran sampe pelabuhan ternyata. Saya kira tenggelam,” celetuk Hana yang membuat semua serempak tertawa.

“Minta tolong Pak Wahyu untuk memimpin doa,” kata Husain yang diiyakan oleh guru paling tua di sini.

Bismillah. Barakallahu laka wabaraka ‘alaika wajama’a bainakuma fi khairin. Allahummaghfirlahum warhamhum wabaariklahu fiima rozaktakum.

“Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan. Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahi mereka pada apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka.”

Pak Wahyu melanjutkan doa itu dengan doa meminta pengampunan dosa seluruh umat Islam. Mereka lalu mengakhirinya dengan bacaan hamdalah. Rasa syukur menghiasi dua pengantin baru itu.

Hana menyenggol lengan Nagine yang tengah mengamati beberapa orang yang belum sarapan menyantap makanan mereka.

“Widih, bisa nih rilis judul buku baru. Dadakan Nikah misalnya,” goda Hana. Ternyata ibu hamil satu ini sangat kocak. Di tengah perutnya yang hamil besar masih saja punya semangat untuk membuat lawakan dengan celoteh kecilnya.

“Dulu katanya pingin join di perusahaan penerbit, eh sekarang malah jadi nyonya yang punya perusahaan penerbitan. Wih, bos besar nih.”

“Kamu pingin join di perusahaan penerbitan, Ning?” tanya Husain yang duduk tidak jauh dari mereka. Rupanya sedari tadi laki-laki itu menguping meski matanya terlihat tengah fokus pada jurnal guru.

“Iya, Sen. Dulu Gina katanya mau join di perusahaan penerbitan. Sekarang malah suaminya punya perusahaan penerbitan. Udah yuk kalian collab aja. Gina yang nulis ceritanya, kamu yang nerbitin ceritanya, Sen. Pasti laku banyak itu,” kata Hana.

“Mau emangnya?” Husain melirik ke arah Nagine menunggu jawaban.

“Mau aja kalau yang punya perusahaan mau,” jawabnya.

“Saya mau. Ayo buat. Lumayan untuk diabadikan. Kita bakal mati, tapi kayaknya perjalanan hidup kita nggak boleh mati,” kata Husain. Dia nampak sangat antusias. Hana baru melihat kepribadian Husain yang satu ini.

“Biasanya buat outline dulu. Nanti aja kita garap di rumah kalau nggak sibuk,” kata Husain.

“Saya udah nemu outlinenya, dan saya sudah punya judul juga.”

“Apa?” tanya Husain dan Hana serempak.

“Only Nine Years.”

Keduanya seketika mengerutkan dahi. Mengapa harus only?

———————
To be continued.

Anw nggak sempat untuk revisi. Jadi, ya harap maklumi aja kalau ada typo. Kerjaanku baru beres frens.

Pertemuan berikutnya; seperti biasa akan diumumkan di wall/papan pengumuman penulis.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 9 Oktober 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now