Chapter 43

134 16 0
                                    

Sempat Terlupa
Who is hamba Allah?
———————

Acara camping yang ditunggu-tunggu seluruh siswa-siswi kelas XI akhirnya tengah dilaksanakan. Setengah jam yang lalu mereka melakukan registrasi dan kini tengah sibuk mendirikan tenda masing-masing. Sekadar informasi, tidak semua siswa-siswi ikut camping. Hanya beberapa anak yang bersedia mewakilkan kelas untuk mengikuti acaranya. Sisanya dibuatkan acara sendiri, biasanya ada outdoor learning sebelum camping untuk beberapa anak yang tidak ikut serta dalam acara camping.

Kali ini Nagine hanya memerhatikan siswa-siswinya yang tengah bergulat dengan benda-benda untuk keberlangsungan istirahat mereka malam ini. Sesekali ia juga membantu beberapa tenda yang masih dinilai kesulitan berdiri. Sekitar satu jam sudah dilalui. Barulah opening ceremony akan dilaksanakan. Beberapa guru pendamping dibantu para murid sibuk menata upacara pembukaannya, dirasa sudah selesai Pak Adi kemudian memulai membuka acara.

Seluruh siswa-siswi yang ikut serta diminta berdiri untuk sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pembukaan acara dimulai. Setelahnya mereka memanjatkan doa, memuja-muji nama Allah dan rasul-Nya. Tidak sampai setengah jam acara pembukaan selesai.

“Camping kali ini dihadiri oleh beberapa siswa-siswi yang mewakili tiap kelas sebelas. Ada sekitar 30 siswa-siswi yang ikut. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik karena sikap kalian di sini berpengaruh dengan nama baik kelas juga sekolah,” kata Pak Salman. Beliau mulai mengarahkan kegiatan yang akan dilaksanakan pada hari ini dan besok.

“Di sini Pak Salman beserta para bapak ibu guru berdiri ingin menyampaikan beberapa kegiatan. Setelah ini kita akan melakukan lomba, sesuai dengan yang disepakati kemarin. Kita akan membuat miniatur rumah kecil dari bahan dan alat yang sudah kalian bawa dari rumah. Pekerjaan ini perkelompok ya. Sudah dibagi kemarin. Selain bagus, miniatur rumah kecil kalian harus memiliki nilai estetika. Waktu pengerjaan sampai azan Ashar nanti. Siapa yang paling baik hasilnya akan mendapatkan hadiah. Sabar, jangan berkecil hati dan pesimis dulu. Buat yang nggak dapat hadiah, bakal dapat di lomba berikutnya karena yang menang sudah tidak tercatat sebagai peserta ya. Pemenang masih menjadi rahasia.”

Mereka bersorak heboh. Tidak sabar akan memulai kegiatannya. Entah dapat antusiasme dari mana. Nagine sendiri juga bingung mengapa anak didiknya sesemangat ini. Padahal masa-masa SMA adalah masa yang paling banyak malasnya.

Para guru mulai mengitari para murid yang tengah memulai aksi. Memerhatikan banyak pasang mata yang memiliki fokus pada pekerjaannya; ada yang mulai sibuk mengukir kayu, membentuk kawat menjadi sebuah ranting, bahkan sampai ada yang mengeringkan daun-daun yang baru dipetik dari hutan dengan hairdryer untuk hiasan tanaman ala-ala di depan miniatur tersebut.

“Anak ML ma syaa Allah kreatif sekali,” kata Nagine mengagumi mereka.

Oka—guru prakarya—yang kebetulan ada di samping Nagine itu menyahut. “Iya Bu. Makanya sekolah ini dijadikan sekolah favorit anak-anak. Padahal sekolahnya biasa-biasa ya kalau kita lihat. Cuma lima gedung yang punya lima tingkat.”

Nagine menelan ludahnya susah payah. Bagaimana bisa seorang guru yang hampir pensiun jika seukuran PNS ini mengatakan bahwa sekolah Menara Lima sekolah biasa-biasa saja? Padahal jika dilihat dari luar begitu istimewa. Pagar hitamnya yang menjulang tinggi, lima gedung yang bisa dilihat dari jalan raya, bahkan di tiap-tiap gedung lantai paling atas dipasang nama jurusan; IPA, IPS, dan Bahasa yang mampu membuat orang yang berlalu-lalang menyorak wah.

Pengawasan sekolahnya juga ketat. Sehingga membuat Nagine menyimpulkan sekolah ini bukan sekolah biasa-biasa saja. Tiga gedung jurusan yang terpisah dengan tingkat lima, satu gedung lagi untuk extra dan aula, satu gedung lagi untuk ruang guru dan kepala sekolah di lantai pertama, lantai kedua hingga empat merupakan perpustakaan, dan yang ke lima adalah rooftop yang tersedia kursi meja ala cafe yang aesthetic. Sekolah elite.

Sekolah ini saja diketahui dinamakan Menara Lima karena jumlah gedung dan jumlah tingkatnya ada lima. Apanya yang biasa-biasa saja? Merendah untuk meroket Bu Oka ini.

Nagine cengengesan. “Ya Allah Bu ini sekolah elite kok ya bisa-bisanya dibilang sekolah biasa-biasa saja,” kata Nagine yang sudah tidak tahan dengan bayang-bayang sekolah yang diajarnya.

“Walah kalau dilihat dari situ ya emang kayak elite, Bu, tapi coba dipandang anak didik dan gurunya, biasa-biasa saja. Semua orang bisa masuk loh, bukan cuma orang kaya saja, tapi kalau gurunya yang belum punya pengalaman harus melakukan tes dulu,” jelas Bu Oka.

“Justru itu, Bu. Kedisiplinan sekolah yang dijunjung tinggi nggak kalah sama gedungnya yang tinggi. Jadi, anak-anak sepertinya nggak akan merasa dirugikan kalau sekolah di sini. Biaya SPP yang cuma 600 ribu perbulan menurut saya murah dibanding sekolah swasta lain yang bisa lebih dari satu juta. Kayaknya para orang tua nggak akan rugi kalau anaknya disekolahkan di sini. Aturannya mantep,” kata Nagine.

“Antusiasme di sini tergantung anaknya sendiri, tapi semoga nggak ada yang males-males ya. Tetap seperti ini terus.” Nagine mengamini itu. “Bu Gina ini sudah kayak Pak Husein waktu awal-awal ngajar di sini,” imbuh Bu Oka yang lagi-lagi membuat Nagine mengeluh Pak Husein lagi Pak Husein lagi. Ada apa dengan guru satu itu?

Mendapati reaksi Nagine yang kesulitan mencerna, Bu Oka kemudian berkata, “Iya, Pak Husein yang itu. Beliau baru mutasi dari sekolah Budi Djaya satu tahun lalu, dan percis ngomong seperti ini ke saya. Makanya saya agak ngerasa deja vu waktu Bu Gina bilang seperti itu. Kalian ini plek-ketiplek saya rasa.”

Entah apa yang membuat jantung Nagine tiba-tiba berdebar kencang begitu saja. Perkataan Bu Oka barusan membuatnya melayang tinggi dan tidur pada awan-awan yang indah. Menikmati kesejukan angin yang menembus pipinya lembut.

“Budi Djaya dari sini lumayan jauh. Makanya Pak Husein mengajukan diri untuk perpindahan mengajar. Sudah tidak kuat jika pulang-pergi harus menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Belum macetnya katanya.” Bu Oka masih melanjutkan yang tadi.

Dalam hati Nagine mengiyakan itu. Dirinya saja menyusul Nindia ke sana tidak kuat, eh sebentar, Nindia? Ah apa kabar gadis itu? Bagaimana dengan hamba Allah yang sudah dua tahun ini tidak ia pertanyakan keberadaannya? Apakah masih baik-baik saja? Ya Allah, Nagine harap hamba-Mu yang satu itu masih bernapas dan Engkau mau mempertemukannya dengan Nagine karena gadis itu sudah igit-igit ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih. Sebab mukena darinya berhasil membawa Nagine dan sang mama menuju jalan yang terang benderang.

Saya harap kita bisa saling bertemu untuk bertukar maaf dan terima kasih, hamba Allah.

———————
To be continued.

Who is hamba Allah?

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 19 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now