Chapter 07

205 17 6
                                    

Sesuatu Menenangkan
———————

Begitu sampai di rumah dan menutup pintunya, Nagine berjalan ke dapur seperti biasa. Ia hendak menuangkan susu, tapi kali ini sepertinya urung saat pintu kamar mamanya yang terbuka dan menunjukkan pemiliknya menatap kosong di sana.

Tungkainya kemudian lebih memilih melangkah mendekat ke arah Sevina. Agar tak sampai mengejutkan, ia lebih dulu mengetuk pintu sebelum masuk. Setidaknya Sevina harus tahu bahwa ada seseorang yang hendak masuk ke kamarnya.

Wanita itu baru menoleh setelah Nagine mengetuk sebanyak tiga kali dan memanggilnya. Gadis itu kemudian masuk mendekat sang mama, tapi perhatiannya teralih dengan ponsel yang digenggam wanita itu.

Nagine merasa jika sumber dari tatapan kosong itu berasal dari ponsel. Karena merasa penasaran Nagine mengambil alih benda pipih itu ke tangannya. Ia memperhatikan seksama. Ada sebuah text yang membuatnya mengerutkan dahi dengan kentara. Dia langsung melirik ke arah mamanya yang saat ini tengah menunduk.

“Allah itu Maha Esa, cuma satu. Tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya,” ucap Nagine mengikuti bacaan yang ada di ponsel Sevina.

Gadis itu bisa melihat bagaimana mata mamanya memejam hanya untuk menarik napas menenangkan. Suasana kemudian menjadi hening. Keduanya kalut dengan isi pikiran masing-masing.

Belum lama, Sevina tiba-tiba membuka suara. “Mama mikir ini pake logika, Gin,” katanya seolah mengerti apa yang ada di pikiran Nagine, bahkan gadis itu pun juga turut memikirkannya.

Sevina mengambil ponselnya kembali. Ia kemudian menggeser ke samping layar itu untuk menunjukkan bacaan selanjutnya yang ia dapat.

Nagine melirik, lalu membacanya. “Allah berbeda dengan makhluk-Nya; Allah SWT tidak membutuhkan pertolongan dari makhluk-Nya, sedangkan makhluk-Nya membutuhkan pertolongan Allah. Penglihatan, pendengaran, dan pengetahuan Allah tidak terbatas, sedangkan makhluk-Nya terbatas.”

Keduanya kemudian saling pandang. Kembali kalut dengan pikiran masing-masing. Nagine merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam tubuhnya, tapi gadis itu tidak tahu di bagian yang mana. Ia seakan-akan melihat sesuatu yang menenangkan hatinya, tapi dia merasa sedang tidak melihat hal istimewa apa pun.

Tangan Sevina memegang lembut punggung tangan Nagine. Wanita itu mengusapnya lembut. “Gin, kamu istirahat. Kelihatannya kamu udah cape banget hari ini.”

Dia diam. Tidak merespon apa pun dari ucapan sang mama. Ia sedang mencari di mana letak yang membuat semua rasa di dalam dirinya tidak bisa diekspresikan.

“Gin?”

Di panggilan kecil itu Nagine baru menoleh ke arah mamanya. “Mama nemu itu di mana?” tanya Nagine. Ia tak sadar jika pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

“Tadi di halaman pertama saat buka internet, Mama nggak tau awalnya gimana karena Mama sibuk siapin makan malam soalnya kamu belum pulang, tapi tiba-tiba pas Mama cek HP ada kalimat itu. Mama ngerasa tenang, Gin. Mama ngerasa ada sesuatu yang aneh dalam diri Mama. Apa ini? Mama nggak paham.”

Tentu saja Nagine terkejut dengan apa yang dikatakan mamanya. Lantaran perasaan yang ia alami setelah membaca kalimat-kalimat tadi sama percis dengan yang dialami Sevina, mamanya.

“Besok Mama tanyain ke temen Mama.”

“Besok Nagine tanyain ke temen Nagine.”

Mereka berkata dengan serempak seakan-akan hasrat ingin tahu semuanya begitu menggebu-gebu. Sejenak keduanya terdiam karena jarang sekali ada kekompakan seperti ini. Tidak berselang lama, anak-ibu itu terkekeh dan saling mengangguk.

“Nagine bersih-bersih dulu, nanti baru makan.” Sevina mengangguk setuju.

———————

Setiap mahasiswa/i pasti akan pernah mengalami rasa ‘jenuh’ saat kuliah. Sebuah rasa yang kenyataannya memang tidak bisa dihindari. Mereka memang sudah dicap dengan segala jenis kemaha-maha’annya.

Bagi Nagine—mungkin hanya dia—menjadi mahasiswi semester 4 saat ini menjadi masa-masa terberat yang ia lalui sepanjang berkuliah. Semua penyakit malas yang ada diri gadis itu mulai keluar tidak tahu waktu. Tugas yang semakin hari semakin menumpuk membuatnya bukan semakin bersemangat, tapi malah semakin malas.

Sepertinya bukan hanya itu. Dosen yang menyebalkan bisa saja memiliki pengaruh. Seperti saat ini. Gadis itu sedang menyimak Aya yang sedang menggerutu kesal karena tugasnya berkali-kali ditolak oleh dosen yang sama sekali tidak menjelaskan di mana letak kesalahan pada tugasnya. Meskipun tidak ikut serta dalam penolakan itu, Nagine tetap saja ikut kesal. Di zaman seperti ini mana ada mahasiswa/i yang masih lemah lembut ketika tugasnya tidak diterima dosen tanpa alasan.

“Udah ngasih deadline pendek, pas dikumpulin masih aja salah. Di mana salahnya coba? Kalo gue suruh mikir sendiri yang ada makin bego.”

Nagine hanya diam menyimak kekesalan sahabatnya. Ia sendiri bingung harus menenangkannya bagaimana. Ia juga stress memikirkan ini, bahkan tugas yang sedari tadi dimaksud saja belum rampung.

“Ya Allah ... gue mau botak aja kalo gini caranya,” lirih Aya yang membuat Nagine terkejut dengan keinginan konyol sahabatnya. Pikirannya jadi tak tahu waktu; sempat-sempatnya membayangkan Aya murni tidak memiliki rambut as know as plontos—hanya menyisakan kulit kepala saja—as know as gundul.

“Sabar, Ay. Gimana kalo kita beli es teh di kantin? Itung-itung pendinginan otak,” kata Nagine. Aya tidak merespon, tapi gadis itu sudah lebih dulu berjalan ke arah kantin sekarang.

Setelah memesan dua es teh gelas, keduanya duduk di salah satu bangku kantin. Mereka sama-sama hening karena tidak tahu topik apa yang akan dibahas. Nagine sendiri tidak enak jika memulai duluan, dirinya masih takut jika anak itu masih emosi. Daripada kecepatan berbicara sahabatnya naik, lebih baik dia diam.

Terjingkat. Tiba-tiba saja Nagine mengangkat bahu terkejut karena decakan kesal Aya sambil menendang kaki meja. Lebih terkejut lagi ia malah menatap Nagine dengan lirikan yang cukup sinis.

Gue ada salah?

“Lo nanya apa kek, Gin! Biar pikiran gue ilang tentang Pak Mario!” lah dia minta ditanya.

“Jangan marah-marah, Ay. Soalnya di novel-novel yang gue baca tentang dosen dan mahasiswi, itu berawal dari yang kek begini nanti bakalan nikah.”

Bukan meredamkan amarah, Nagine justru kembali menghidupkan api di sumbu pendek Aya. Rasanya gadis itu ingin mengumpat saja. Bisa-bisanya Nagine tidak tahu waktu membahas hal-hal tidak penting seperti ini, bahkan di sela-sela kekesalannya Nagine masih bisa nyengir tak berdosa menatap ke arahnya.

“Oke, skip. Gue mau tanya. Ini penting.”

Aya menatap Nagine datar. Ia harus berjaga-jaga dengan hal plot twist yang akan ia dapat dari gadis di hadapannya ini.

“Gue ... ini lebih ke izin sih. Gue Minggu boleh pergi sama Arthar, nggak?”

Wajah Aya nampak semakin datar. Mau dilarang pun, Aya tahu Nagine pasti akan tetap pergi. Mana mungkin gadis itu menyia-nyiakan sebuah kesempatan.

“Ya.” Nagine tersenyum mendengar jawaban sangat singkat itu. Ia akan membuktikan bahwa Arthar bisa menjadi miliknya. Walau agak keras kepala, Nagine akan buktikan!

Thank you, Ay!”

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 14 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang