Chapter 29

124 14 0
                                    

Arthar Abyarsa
———————

Seorang laki-laki yang memiliki tubuh atletis itu berdiri di depan sebuah gedung yang di depannya terdapat sebuah lapangan yang luas. Di dalam gedung yang ada di belakangnya sekarang ini sering kali mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan fungsi gerak, mulai dan menjaga fungsinya agar tetap baik hingga pemulihannya.

Dia sangat menyukai olahraga. Hari-harinya tidak jauh dari alat-alat berat yang dapat memperbesar ototnya. Mungkin tubuh laki-laki itu sudah sixpack akibat sering melakukan gym setiap minggunya. Selain menyukai Matematika, dia menyukai ilmu pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan. Berharap saat masuk program studi fisioterapi dan mempelajarinya, ia bisa menjadi fisioterapis olahraga timnas sepak bola di negaranya.

Cita-cita itu sudah ia tulis di dalam sebuah sticky notes dan ditempelkan pada papan berukuran 13×15 centi yang ada di kamarnya. Satu-satunya mimpi yang ia tekuni sejak duduk di sekolah dasar. Beruntung bahwa ia memiliki orang tua yang mau memprogam hobi hingga cita-cita anaknya.

Netranya menatap lurus lapangan yang ada di depannya ini. Melamun dengan bayang-bayang bahwa tanah luas itu sebuah stadiun yang diisi oleh tim nasional untuk bertanding melawan negara lain. Lalu ada yang cidera, dan dengan gagahnya dia menolong mereka.

Rupanya lamunan itu tak berlangsung lama karena dari belakang seseorang dengan tak tahu berdosanya membuat laki-laki itu terjingkat dengan tepukan agak keras di bahunya.

“Diem-diem bae. Ngapa lu jadi patung di sini? Ayo masuk! Pak Su udah nungguin di kelas,” katanya. Laki-laki itu menurut, kemudian masuk mengikuti jejak sahabatnya. Mereka berjalan beriringan sekarang.

“Kenapa lu berdiri di situ tadi?”

“Nggak papa. Emang nggak boleh?” tanyanya balik.

“Lo pasti galau ya, Thar?”

“Galau?” Arthar mengerutkan dahi. Dito mengangguk. “Galau kenapa coba? Gue mah anti galau.”

Pret, anti galau apaan. Pasti cinta lu ke Nagine kemarin nggak terbalas. Makanya jadi galau brutal gini. Hadeh.

“Si paling lo!” decak Arthar.

“Hidih, si paling si paling. Daripada elo si falling in love alone. Maaf kalo bener.”

Tabokan kecil dari Arthar sudah mendarat sempurna di pipi Dito. Dia mengerang kesakitan sekarang. Dengan tanpa berdosa Arthar mengatakan pada sang sahabat bahwa dia berlebihan dalam mengeluarkan reaksi. Kenak mental.

“Gue minggu depan mau keluar sama Nagine. Thanks buat solusinya. Kita mau belajar bareng. Ya, simbiosis mutualisme. Hehe.”

Telapak tangan Dito terulur ke dahi Arthar. “Serius lo?” Arthar mengangguk sambil menyingkirkan tangan Dito risih. “Thar, lo beneran udah nggak kaku?” Arthar hanya mengidikkan bahu tak tahu.

“Serius ini lo? Kok bisa? What? Kok mulus sih jalan cerita lo?”

“Gatau.”

Dito berdecak, lalu menghentakkan kaki kesal. “Nggak adil banget sih. Masa kisah PDKT orang-orang pada mulus sedangkan gue satu aja kagak ada yang nyantol. Ya ilah.”

Arthar hanya terkekeh melihat itu, kemudian memilih tak acuh dan pergi berjalan mendahului Dito. Bisa stress dia jika lama-lama di samping laki-laki aneh itu.

———————

Jujur, Nagine tidak tahu kapan rasa yang ia miliki pada Arthar akan lenyap. Mungkin tidak akan pernah hirap, tapi kehidupan siapa yang tahu? Pada intinya, apa pun jalan ceritanya nanti, Nagine selalu menyadari satu hal bahwa bersama Arthar ataupun tidak, intinya dia bahagia dan bersyukur bisa mengenalnya sebagai sosok hebat yang mampu menjebolkan kunci di hatinya.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now