Chapter 22

167 17 9
                                    

Tolong Aku, Allah.
Dunia selalu punya alasan mengapa hal yang kita sukai harus hilang. Bisa jadi ketika kita menggenggamnya ia membuat langkah kita menjadi terasa berat.
———————

“Kamu khianatin Tuhan?!”

Rasanya Nagine tengah bersusah payah meneguk ludah sekarang. Ia tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan yang di telinganya terasa terdengsr cukup sarkastis. Pria di hadapannya ini ingin sekali ia temui selama 3 tahun terakhir, banyak cobaan yang sudah berlalu, dan akhirnya Allah benar-benar mengabulkan doanya di saat dia benar-benar belum siap untuk menghadapinya.

Kali ini Nagine ingin sekali keluar dari cerita hidupnya sendiri. Ia juga ingin tak peduli, tapi tatapan murka pria itu sungguh membuat hati Nagine melemah. Dia sudah bahagia dengan kehidupan baru ini. Nagine tak melarang ia hadir lagi, justru gadis itu sangat menginginkannya, tapi mengapa harus di waktu yang tidak tepat?

Bahu itu dielus lembut oleh sang mama. Wanita itu masih bingung harus bagaimana. Keduanya sama-sama berharap bahwa Nagine bisa diterima dengan baik oleh ayahnya dengan perbedaan sekarang ini. Cuma, mereka bingung harus memberikan penjelasannya dari mana.

“Apa kamu tau Nagine mengapa nama kamu harus diawali dengan Galatia di saat-saat terdesak memberikan nama saat itu? Itu agar kamu bisa tertolong dari ajaran-ajaran yang palsu dan menyesatkan, seperti rasul Paulus, saya ingin kamu selalu taat kepada kebenaran dan mengimani Tuhan kamu. Tuhan kita,” kata Lukas di setiap kata yang penuh dengan penekanan.

Di otaknya, Nagine mencoba memutar kata tersebut. “Papa benar.” Dua kalimat itu membuat Sevina menoleh dengan tatapan tak suka. Nagine tidak boleh berkhianat kepada agamanya saat ini! “Papa benar. Terima kasih untuk nama penuh makna itu. Kini, sudah berhasil. Nagine kembali mengimani Tuhan Nagine. Tuhan Nagine dan Mama. Terima kasih untuk doa agar Nagine selalu taat. Nagine akan berusaha untuk itu. Taat kepada agama Nagine yang sekarang.”

Lukas merasa ia seperti salah berbicara. Konsep yang termuat di mulutnya, berubah ketika Nagine yang menyaring kalimat tersebut.

“Nagine akan selalu taat kepada kebenaran dan mengimani Tuhan Nagine yang sekarang,” lanjutnya tanpa mengurangi senyum. Di detik ia selesai mengatakan itu, Nagine benar-benar kagum pada jawabannya sendiri yang terkesan sangat memuaskan.

Tangan pria itu sudah mengepal dan siap menggampar sang putri, tapi mati-matian ia tahan karena tak ingin melukai.

“Soal keyakinan, kita tidak bisa memaksa orang, Pa. Itu semua pilihan mereka. Nagine tidak memaksa Papa untuk ikut bersama Nagine dan Mama. Semua terserah Papa, tapi tolong jangan memaksa Nagine untuk ikut Papa. Nagine tidak akan pernah mau.”

“Kita bebas memilih keyakinan karena itu bagian dari jati diri. Nagine harap, Papa mau mengerti.”

Merasa geram dan tak tahan lagi, Lukas keluar dari rumah yang ditempati putrinya. Sebelum benar-benar memasuki mobilnya, pria itu berkata. “Pengkhianat. Kamu bukan putri saya.”

Empat kata terakhir itu seketika mengumpulkan semua air matanya seakan minta dikeluarkan. Kalimat yang cukup menyakitkan, gadis itu berharap kali ini dia sedang bermimpi.

Sevina memegang bahu putrinya. Dia tersenyum lekat menatap satu-satunya anak yang dia punya. Harta yang tidak bisa digantikan dengan apa pun karena terlalu berharga. Gadis itu hendak merosot, tapi Sevina lebih dulu menahannya. Tangannya terulur memeluk sang putri yang kini meluapkan tangis.

“Jangan sedih, nggak papa. Wajar kalau ada banyak penolakan. Di dalam hidup ini nggak semua bisa kita dapetin. Sabar, ya?” katanya sambil mengusap punggung Nagine. “Papa kamu begitu karena emosi, Nak. Dia perlu meredamkan amarahnya,” lanjut Sevina.

“Kenapa dia harus dateng di saat Nagine udah mati rasa, Ma? Apa harus takdir berjalan kayak gini?” racau gadis itu di sela ia terisak. Sevina meringis mendengar luapan emosi itu. Karena keegoisannya sebagai orang tua, Nagine harus menjadi korbannya. Mungkin jika orang tuanya lengkap, Nagine tak akan seterluka ini.

“Apa Nagine anak yang durhaka sampai sebegitunya Papa nggak terima? Apa Nagine harus kayak dulu biar Papa bisa ke sini dan anggap Nagine sebagai anaknya? Apa Nagine harus balik di keyakinan kita yang lama?”

Sevina melepaskan pelukan itu. Dia menggeleng sambil menangkup pipi Nagine dan mengelap air mata itu dengan ibu jarinya. Sekali lagi perempuan itu menggeleng, kemudian berkata. “Jangan. Jangan meninggalkan Allah hanya karena sesuatu. Ini ujian keimanan kamu, Gin. Kamu harus benar-benar menjadi orang yang beriman. Mari sama-sama kita bergandengan dan saling mengulurkan tangan di saat kita tersandung kegoyahan.”

“Jangan tinggalin Allah atau tidak hidup kamu akan berantakan,” lanjut Sevina.

Mata itu menatap nanar ibunya. “Tapi masuk Islam udah buat hidup Nagine berantakan, Ma. Rasanya udah nggak sedalam kemarin-kemarin.”

“Gin! Kamu ngomong apa?! Mama udah bilang ini semua ujian. Kalau kamu kayak gini berarti iman kamu kurang kuat! Istighfar Nagine!” tegas Sevina tak suka dengan pikiran dangkal itu.

“Allah buat kamu masuk Islam itu karena Allah pingin melihat kamu di surga-Nya.”

Kalimat yang baru saja ditambahkan berhasil membuat Nagine yang semula menunduk kembali mendongak. Menatap sang mama dengan penuh penyesalan. Payahnya tangisan itu semakin kencang. Berkali-kali dia istighfar, memohon ampun kepada Allah karena berhasil membuat syaiton menggoyahkan keimanannya.

Tubuh itu kini sudah merosot. Sevina tak menahannya karena ia juga merasa kesal. Dia tak menatap Nagine dan membiarkan gadis itu menangis sendirian. Sebagai seorang ibu, Sevina sangat-sangat tahu bahwa membiarkan Nagine terluka sendirian adalah hal bodoh dan menyakitkan, tapi jika orang mau tahu, wanita itu juga tengah terluka meskipun ia tutup rapat-rapat.

Sebagai seorang ibu, ia juga memiliki peranan untuk menghadirkan sosok ayah dalam raga miliknya. Nagine, tolong berhenti menangis dan jangan buat Mama menjadi orang paling jahat di dunia ini, Nak. Sayangnya kalimat menenangkan itu hanya mampu tersuara dalam batin. Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kalimat yang seharusnya menjadi kekuatan untuk Nagine.

Masih terisak, Nagine berusaha untuk mencegah air matanya sendiri, meskipun dadanya terasa sangat sesak perlahan ia menegakkan kaki berusaha untuk berdiri. Dia menahan kuat tubuhnya hanya dengan mengandalkan daun pintu dan bersandar pada pintunya.

Nagine memejamkan mata. Ia mungkin terasa dicambuk oleh kenyataan, tapi dunia punya alasan mengapa hal yang kita inginkan harus hilang. Bisa jadi ketika ia menggenggamnya dunia malah terasa semakin berat.

Ya Allah, Engkau pasti tahu bahwa hamba kali ini terluka, tapi tolong jangan putus keimanan hamba kepada-Mu. Tolong selalu berkahi hamba dengan semua karunia dan keberkahan dari-Mu.

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 29 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now