Chapter 48

122 15 0
                                    

Cool Boy
———————

“Gimana bisa dia lamar kamu, Gina?” tanya Sevina begitu mobil yang dipakai Husain dan orang tuanya ke sini melenggang dari pekarangannya.

“Nagine baru kenal beliau dua minggu yang lalu. Nggak ada yang aneh dari gerak-gerik beliau. Menurut Nagine, Pak Husain ini orangnya soleh, mampu menjaga pandangan. Selain guru agama di tempat Nagine mengajar, beliau juga mengajar bahasa Arab. Kalau diambil dari sudut pandang Nagine, Pak Husain ini orang yang baik, Ma,” jawab Nagine setelah menghela napas.

“Sampai saat Nagine mendampingi anak-anak camping, malamnya lampu PJU mati. Mama jelas tau kalo Nagine takut sama gelap. Saat itu Nagine nggak sengaja meluk Pak Husain karena dia satu-satunya orang yang ada di dekat Nagine, tapi Nagine berani sumpah kalo Nagine nggak sengaja.”

“Keadaan yang gelap dan tidak memungkinkan orang-orang tau, Pak Husain takut menimbulkan fitnah, makanya mau menyegerakan pernikahan dengan Nagine.”

“Mama setuju dengan Husain. Mama restuin kalian,” ucap Sevina begitu saja. Lah kok?

Percakapan berakhir di sini karena sang mama langsung meninggalkannya begitu saja. Nagine duduk termenung pada kursi yang ada di ruang keluarga. Otaknya masih sibuk mencerna apa yang baru saja dikatakan Sevina. Jadi, Husain mendapat lampu ijo?

Bukannya ini tidak bisa dibiarkan?

Gadis itu langsung merogoh saku gamisnya dan mengeluarkan ponsel. Dia kemudian menekan gambar kamera di sebelah nama Aya yang ada di kontaknya. Panggilan video call itu berdering. Tidak lama diangkat oleh sang pemilik nama.

Assalamualaikum. Tumben telepon duluan? Biasanya juga gue,” kata orang di seberang sana agak menyindir.

“Hehe sorry. Gue pingin ngomong sesuatu,” kata Nagine. Dia kemudian berdiri lalu berjalan ke dalam kamar.

Ngomong apa? Kayaknya serius banget.

“Lebih dari serius.”

Apaan sih?

“Gue dilamar.”

Dua kata yang cukup membuat Aya melemparkan ponselnya hingga membuat layar kamera mengarah pada atap merah muda. Reaksi yang sudah Nagine duga, Aya sudah hangat. Ya ... sejak Nagine dan Arthar berpisah.

Dilamar sama siapa lo?

“Guru bahasa Arab di tempat gue ngajar.”

Ma syaa Allah Nagine. Kenapa berita baik ini harus dateng pas gue udah di Semarang sih? Kenapa nggak waktu itu aja? Kalo gini gue makin greget, tapi gue seneng banget. Akhirnya masih ada cowok yang mau menerima kebegoan lo selama menjalani percintaan.

Mendengar itu Nagine berdecak kesal. Aya kemudian terkekeh. “Bercanda, tapi beneran gue seneng banget akhirnya ada orang yang akan menggantikan nama Arthar di hati lo. Ayo move on, Na. Mumpung ada yang baru. Jangan sia-siakan kesempatan.

Nagine tersenyum miring. “Gue nggak mau menjalani kisah bersama tokoh baru, di saat tokoh utama yang lama masih menari-nari di imajinasi gue.”

BENERAN YA LO?! GUE KESEL BANGET. JADI ORANG TUH JANGAN TULUS-TULUS. IYA KALO DULU DIA MASIH BUJANGAN, LAH INI UDAH KAWIN WOI. LO INI NGEGALAUIN SUAMI ORANG, HARUSNYA DI SINI LO BISA NGERTI, GINA.

“Dia emang udah jadi suami orang, tapi gue yang pertama. Gue yang lebih dulu kenal dia, bukan perempuan itu.”

Masalahnya bukan tentang siapa yang lebih dulu saling mengenal, tapi siapa yang Allah takdirkan untuk bersanding dengan dia, Na.

“Tapi katanya orang lama adalah pemenangnya, tapi enggak ya untuk di kisah cinta gue sama Arthar?”

Aya tersenyum kikuk mendengar itu. Ia kemudian mengalihkan topik dengan bertanya siapa nama laki-laki yang melamar Nagine dan bagaimana ceritanya sampai laki-laki itu nekat datang melamar sahabatnya.

“Namanya Husain. Nggak pernah deket, tapi agamanya gue rasa bagus. Bagus banget. Ma syaa Allah gue lihatnya. Dia sangat menjaga pandangan, Ay, dan sampai tiba gimana ceritanya dia ngelamar gue, itu gara-gara gue yang nggak sengaja meluk dia pas lagi mati lampu karena ketakutan di acara camping.”

Agak syok Aya mendengar itu. Ia sesegera mungkin mengubah ekspresi wajahnya, lantas kembali menyimak cerita Nagine.

“Lo tau kalo gue takut sama gelap apalagi akibatnya gara-gara mati lampu. Orang tua gue resmi bercerai tepat saat lampu komplek yang konslet memadamkan rumah-rumah setempat, dan ... karena mati lampu juga opa gue meninggal.”

“Dia bilang kita harus menikah supaya nggak timbul fitnah. Padahal kalau dipikir-pikir, orang-orang sangat nggak mungkin lihat kita pelukan pas lagi gelap, ‘kan? Gue pun meluknya sebentar, dan dia bilang nggak mau berdosa di hadapan Allah. Padahal maksiat yang tidak sengaja dilakukan itu nggak dosa, ‘kan?”

“Wallahu ‘alam bishawab, tapi yang dikatakan Husein ada benernya. Gue setuju sama dia. Gue harap juga lo mau mempertimbangkan pinangan itu.

“KOK LO SEBELAS DUA BELAS SAMA MAMA GUE SIH AY?! KENAPA LO RESTUIN?!”

In my opinion, dia lebih baik dari Arthar dan kayaknya bakal jadi yang terbaik kalo Allah mengizinkan kalian berdua untuk bersanding.

Nagine menghela napas berat. Kemudian berkata dengan lirih, “Tapi gue nggak mau nikah dulu, Ay.”

KENAPA? LO MAU NUNGGUIN ARTHAR SAMA ISTRINYA CERAI? LO MASIH NGAREP SAMA LAKI-LAKI BERISTRI——

“Kali ini bukan karena itu.”

Terus?

———————

Selama menjadi seorang guru, Nagine tak pernah secanggung ini mendatangi tempatnya mengajar, bahkan perasaan aneh ini muncul lebih parah dibanding awal-awal menginjakkan kaki di sini.

Kedatangan Husain yang melamarnya secara tiba-tiba kemarin berhasil membuat nyalinya menciut. Gadis itu sampai berharap tidak akan bertemu Husain setidaknya seharian, walaupun mustahil karena mereka dan guru-guru lainnya masih satu ruangan.

Baru saja melintas di pikiran, orangnya sudah ada saja, bahkan kali ini tampilannya sangat menawan karena kemeja biru langitnya dibalut dengan jas serta dasi yang bertengger rapi di dadanya. Mau ke mana dia?

Kebingungan itu hilang saat Husain berjalan menjauhinya sambil menunduk sopan. Tidak lama seorang guru laki-laki yang juga seorang guru agama di sekolah ini mengikuti langkah Husain dengan outfit yang sama. Kali ini pertanyaannya mau ke mana mereka?

Pas sekali Bu Oka datang. Lantas Nagine menghampirinya. Disalimi wanita yang dua kali lipat lebih tua dibanding dirinya itu. “Semoga berjaya ya, Bu Gina,” kata Bu Oka. Kebiasaannya memang selalu begitu. Mendoakan orang-orang yang memegang tangannya dengan sopan.

Nagine mengaminkan dalam hati, kemudian pamit masuk ke ruang guru. Ia mendudukkan diri di mejanya. Mengambil sebuah buku self improvement dan membacanya. Namun, desas-desus yang membuatnya salah fokus adalah pembicaraan mengenai laki-laki yang melamarnya kemarin, Husain.

Ia seperti tertarik dan tergerak mendengarkannya.

“Iya loh, Husain itu diem-diem begitu anaknya ma syaa Allah. Guru muda yang sukses. Tadi katanya izin mau menghadiri acara perkumpulan guru PAI. Dihadiri petinggi-petinggi Indonesia loh.”

“Kayaknya bukan cuma Husain, tadi Pak Naufal juga dipanggil juga,” sahut yang lainnya.

“Enggak itu mah. Pak Naufal tadi cuma coba jas yang niat dipakai kelulusan angkatan tahun ini. Kebetulan aja warnanya sama.”

Oalah.

———————
To be continued.

Ngetiknya masih setengah 9 malam di hari Selasanua, tapi udah ngantuk banget. Selamat malam semua.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 24 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora