Chapter 24

147 19 1
                                    

Penyesalan
———————

“Pak Husein!!”

Panggilan yang lebih layak disebut teriakan itu menggema di pucuk lorong fakultas Bahasa dan Seni. Beberapa mahasiswa/i menatap sinis perempuan berambut sebahu yang tengah melakukan kunjungan kampus mengejar seorang pria yang berjalan jauh lebih dulu. Meributkan lorong, pikir mereka.

Pria yang dipanggil sedari tadi memberhentikan langkahnya saat panggilan yang memekakkan telinga itu berhasil masuk ke dalam indra pendengarannya. Dia berhenti, lalu berbalik. Napas perempuan itu memburu dan perasaannya lega setelah berhasil mengejar satu-satunya guru yang menjadi pendamping acara kunjungan kampus di sekolahnya.

Netra Nagine yang semula memang sedang memerhatikan perempuan itu seketika terpelonjak terkejut karena guru yang dimaksud anak SMA itu pernah ia temui. Nagine ingat betul bagaimana ia merasa diperhatikan saat selesai menunggu jamaah salat Maghrib bersama Habiba saat itu.

Pandangan mereka tiba-tiba bertemu. Nagine cepat-cepat memutuskan eye contact itu. Ia kembali berjalan melewati pengajar dan muridnya sambil menundukkan sedikit kepala.

Di kelas, Nagine mendekati Aya yang sepertinya tengah sibuk mencatat materi semalam yang belum usai. Justru yang dihampiri sekarang memberhentikan aktivitasnya, lalu beralih menatap Nagine.

“Apa?” tanya Aya lempeng. Seperti tahu bahwa Nagine akan membicarakan sesuatu.

“Gimana cara Allah mempertemukan gue sama hamba Allah itu? Sejak orang suruhannya gue suruh buat ketemu langsung sama gue, tapi dia kok nggak nemuin gue?”

Gadis itu sepertinya sudah sering menimbang-nimbang pertanyaan yang sama. Rasa penasaran juga sekaligus ada sedikit rasa kehilangan karena orang yang mempertemukannya dengan mukena cantik yang menyejukkan itu tiba-tiba tak lagi pernah meninggalkan bekas lagi di perjalanan muallafnya.

Bukan dia ingin bertemu karena ingin meluapkan amarah, tapi justru ia ingin menerbitkan sesimpul terima kasih yang mungkin keberadaan orang yang memberikannya mukena akan merasa di hargai dengan salah satu magic words itu.

Aya nampak berpikir. “Gue nggak tau sih kalau itu.” Jeda seperkian detik, “Hamba Allah yang dimaksud itu mulus banget. Dia nggak nunjukin keberadaannya sama sekali.” Nagine berdehem menyetujui ucapan sahabatnya barusan.

Hm, tapi gue ketemu sama anak SMA yang ngasih gue air kemasan botol waktu gue keluar kelas karena kepikiran tentang Islam itu. Dia bilang dari hamba Allah.” Sejenak Nagine mengusap wajah sambil menetralkan perasaan bingungnya, “Tadi pagi gue ketemu sama anak itu lagi di parkiran. Gue bilang gue pengen ketemu sama orang itu. Gue tanya juga siapa dia, but dia nggak jawab apa pun, dan tiba-tiba the end karna temennya manggil.”

Seketika Aya mengelus ke atas jari tengahnya dengan jempol sehingga mengeluarkan bunyi. Terlihat sangat jelas kesenangan di manik mata gadis itu. “Fiks, lo harus ketemu sama anak SMA itu hari ini! Atau kalau nggak lo nggak akan pernah tau siapa hamba Allah itu. Soalnya ini kunjungan terakhir mereka!”

Mendengar itu Nagine panik. Takut kesempatan seperti emas ini akan hanyut ditelan kenyataan kalau sampai ia tak cepat-cepat mencari Nindia.

“Denger-denger mereka akan out siang ini.” Semangat Nagine menggebu sekarang. Ia harap selesai kelas nanti dia akan bertemu dengan Nindia. Ya, dia berharap sangat akan hal itu.

Ya Allah, tolong pertemukan saya dengan dia yang memberikan kain suci itu. Jika doa yang dilangitkan hari ini tertahan oleh ribuan dosa, setidaknya tolong dengarkan ibu saya yang setiap hari mendoakan untuk kebaikan anaknya.

———————

Tungkai yang dilindungi sepatu flat itu berpindah cepat ke depan dengan kecepatan maksimum atau lebih cepat dibanding berjalan kaki seperti biasanya. Berkali-kali ia merasa tubuhnya melayang kecil di udara mengingat kaki yang hanya menapak sebagai tumpuan untuk kembali melangkah lebar dan cepat.

Napasnya terengah-engah. Sekarang sudah datang penyesalan karena terlambat dalam mengejar bus pariwisata yang digunakan segerombolan siswa-siswi akhir kelas melakukan kunjungan kampus. Dia telat. Tidak ada kesempatan lagi.

Diusap kasar raut wajah yang penuh dengan rasa penyesalan sekaligus emosi. Berkali-kali batinnya mengumpat, memaki karena tak becus berlari. Dia kehilangan jejak Nindia. Sudah terlampau jauh. Dikejar pun rasanya tak mungkin. Mereka berasal dari luar kota, sedangkan mengejarnya juga pasti akan memerlukan banyak waktu.

Tangan itu kemudian mengepal dan melayangkan pukulan di udara. Kakinya terhentak. “Bodoh Nagine!” katanya berkali-kali.

“Jangan putus asa. Suatu saat akan terwujud kalau Allah mengizinkan kalian ketemu,” ucap seseorang dari belakang sana. Ia tahu percis itu pasti Gayatri, atau yang kerap orang-orang panggil Aya.

Pemilik suara barusan berjalan selangkah ke depan agar bisa menyamai posisi di mana Nagine berdiri dengan segala penyesalan. Dielus pundak itu lembut, “Sabar!” serunya tersenyum sambil menepuk kasar pundak itu. Mungkin yang usapan lembut tadi hanya basa-basi sebelum memulai aksi.

Rasanya Nagine tak memiliki mood yang baik untuk memberikan respon meskipun itu hanya berdehem tanpa berkata. Dia justru malah melenggang meninggalkan sahabatnya.

Tiba-tiba Nagine merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam tote bag yang ia kenakan. Ia menggeledah benda tersebut dan mengambil ponsel rose gold. Ada telepon, tapi lebih mengejutkan lagi adalah nama orang yang terpampang di layar benda pipih itu. Kina?

“Halo,” ucapnya setelah telepon itu baru tersambung.

Gin, lo ada kelas sore nggak?

“Nggak ada. Why?

Gue mau adain makan-makan soalnya hari ini gue ultah, lo dateng di kafe tempat kita nongkrong pas SMA, ya? Sekalian ajak Aya.”

“Jam berapa, Kin?”

Habis Maghrib, bisa, ‘kan?

Of course. Nanti gue sampein ke Aya. Oh ya, barakallahu fii umrik, ya.”

Wedede, udah kayak orang Islam aja lo, Gin.

Gue emang Islam, Kin.

Gue tutup ya. Thanks. Its meaning a lot.

Panggilan terputus. Nagine berhenti dan memilih menunggu Aya yang masih berjalan santai menyusul ke arahnya. Rasanya ingin kembali mengumpat melihat Aya yang semakin lama berjalan dengan sangat lambat.

Like a siput,” cetusnya.

“Kita diundang makan bareng Kina. Nggak ada penolakan,” ucap Nagine begitu Aya berdiri di hadapannya. Lawan bicaranya memutar bola mata malas mendengar pemberitahuan itu.

“Gue nggak dateng, nggak papa? Males Gin, ikut acara begituan,” katanya diakhiri helaan napas yang terdengar berat. Sungguh, Nagine tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Sangat susah diajak berpergian jika beramai-ramai.

“Kina udah ngundang kita. Setidaknya kita hadir buat ngehargain dia,” kata Nagine.

“Hak kita mau dateng apa enggak,” jawab Aya.

“Ya, bener, tapi akan lebih baik kalau nggak ada kendala kita dateng. Respect.”

Menghela napas lagi, kemudian berkata, “Gue ada kendala, Na.”

“Apa iya?”

“Iya. Kendala gue ya males.”

Refleks Nagine menimpuk gadis di hadapannya dengan tote bag putih yang ia bawa.

Aya terkekeh. “Rasain lo. Emang enak dinasihatin, tapi nggak dipeduliin,” katanya membuat Nagine berhenti menatap Aya kesal. Dia datar sekarang. Merasa tertampar dengan kalimat yang sengaja menyindirnya itu.

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 31 Juli 2022

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now