Chapter 31

128 15 0
                                    

A&N
We will married.
———————

20 April 2018

Empat bulan yang lalu, tepat sejak janji itu terucap membuat kedekatan keduanya tak lagi bisa dianggap sebatas rekan saja. Tidak ada yang tahu mengenai komitmen mereka selain Dito. Sebenarnya, mulut Nagine sudah sangat gatal hendak mengatakan kebahagiaan itu pada Aya. Namun, apalah daya. Reaksi dari Aya saat mengetahui nanti belum terpikir jelas di otak Nagine. Firasatnya Aya pasti akan menolak dengan alibi mau sampai kapan lo digantung?

Argh, tidak-tidak! Nagine belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan menyebalkan seperti itu.

Sejak tadi pagi senyum dari bibir Nagine belum berkurang. Lihatlah bayangan cermin yang menampakkan dirinya ini penuh dengan rasa bangga. Akhirnya bulan depan rasa itu genap 9 tahun. Ya tidak ada lomba untuk berlama-lama mencintai seseorang, tapi apa pun jenis kebucinannya. Nagine tetap pemenangnya. Dia harus selalu menjadi juara satu untuk hati Arthar, meskipun agak mustahil.

Langit bahkan sudah menguning. Senyum itu masih setia mekar. Seperti biasa, Aya menatap keceriaan Nagine yang lebih layak disebut songong dengan tatapan malas. Sampai akhirnya ia mual, dan menepuk keras lengan gadis itu sebagai peringatan bahwa Nagine harus berhenti menampilkan senyum itu.

Bukannya terkesan manis, Aya malah malu melihat itu karena Nagine dinilai seperti orang gila. Lihatlah, gadis itu bahkan menyapa semua orang yang lewat di sebelahnya sekalipun ia tak mengenalnya. Bocah ajaib.

“Lo bisa nggak sih nggak usah senyum gitu!”

Dalam sejarah, Nagine baru mendengar cerita bahwa seorang sahabat melarang sahabatnya untuk tersenyum. Bukankah itu kejam? Pikirnya.

“Suka-suka dong. Orang gue lagi bahagia,” jawab Nagine santai. Jangan harap senyum itu hilang.

“Karena apa coba? Lo kayak orgil demi.”

“Karena bulan depan perasaan gue ke Arthar udah sembilan tahun. Ma syaa Allah kece banget gue setianya!”

Seketika Aya menyesal menanyakan alasan itu. Tidak ada yang istimewa untuk 9 tahun menggantungkan perasaan pada laki-laki yang tidak memiliki kepastian.

“Walaupun seiman. Lo harus terima kenyataan kalo Arthar punya cewe. Lo nggak inget kejadian empat bulan lalu? Dia ngepublish cewenya, Bro.”

Nagine begidik bahu pura-pura tak acuh dan bersikap layaknya orang tak mau tahu. Padahal di dalam hati gadis itu tengah menertawakan Aya. Sabar, tunggu gue sebar undangan, Ay.

“Gue si nggak peduli. Selagi masih ada kesempatan, kenapa nggak maju? Ayolah, Ay. Kita cuma lihat di sosial media. Takdir Allah tuh beda lagi,” elak Nagine. Jujur mendengar itu Aya geram hendak memaki gadis yang ada di depannya dengan status sahabat ini.

“Oke, fine. Gue tau kalo kita emang nggak tau takdir Allah tuh akan berjalan gimana, tapi coba lo mikir deh. Arthar jelas-jelas udah ngepublish hubungannya sama cewe lain, dan lo masih sempet-sempetnya berpositive thinking kalo suatu saat lo sama Arthar bakal bersama? Kita boleh berharap yang terbaik, tapi jangan bodoh. Pikirin juga kemungkinan terburuknya,” omel Aya setelah menghela napas berat tadi.

“Ya kalo itu bukan cewenya gimana? Lagian masa iya Arthar ngajak gue ke Bandung kalo nggak suka gue?”

Mendengar itu Aya menghentakkan kaki kesal. Memutar tubuh sejenak untuk mencari pandangan lain agar tak menatap muka lempeng Nagine. Setelah empat bulan tidak membahas lagi perkara hati, kini Aya malah dikejutkan dengan ketidakpintaran sahabatnya yang sudah melampaui batas sepertinya.

“Ya emang dasarnya aja dia suka narik ulur,” pungkas Aya tanpa melihat ke arah Nagine.

“Lo apa-apaan sih, Ay. Arthar tuh nggak ngapa-ngapain. Kenapa lo malah jelek-jelekin dia, sih!” Nagine berdecak kesal. Lihat, bahkan di saat-saat seperti ini Nagine sempat-sempatnya memarahi Arthar.

“Lo bego apa gimana sih, Ya Allah Ya Tuhan. Iya gue salah,” putusnya mengakhiri perdebatan. Sampai monas terbelah menjadi 10 bagian pun perdebatannya dengan Nagine tak akan selesai jika ia tidak mengalah. Huh, anak itu mana mau mengalah lebih dulu!

Kaki Aya kemudian dilangkahkan keluar dari gedung fakultas. Gadis itu berjalan menuju parkiran meninggalkan Nagine yang masih memaku. Nagine sudah melampaui batas tadi. Harusnya ia tidak perlu memojokkan Aya seperti tadi. Ini kan bagian dari rencananya. Wajar jika Aya bersikap seperti itu.

Nagine menepuk dahinya. “Lo yang bodoh Gin! Ngapain emosi beneran. Harusnya kan santai. Udah ada hilal buat nikah. Tinggal pembuktian aja,” monolognya, kemudian menyusul Aya yang ternyata sudah melenggang.

“Semoga dia nggak beneran marah deh,” gumam Nagine sambil menaiki motornya. Saat hendak menyalakan mesinnya, ia mendengar getaran ponsel yang berasal dari tas slempangnya. Kegiatan menyalakan mesin itu terjeda, Nagine mengambil ponselnya. Jerapah is calling.

Ibu jari Nagine menarik ke atas tombol hijau itu. Panggilan kemudian tersambung.

“Halo,” ucapnya pada orang di telepon bersemangat. “How your day today?” tanya Nagine kemudian. Orang di balik panggilan itu mengatakan bahwa harinya baik-baik saja.

“Alhamdulillah. Gue juga baik. Kenapa telepon? Tumben aja. Untung tadi Aya udah balik. Kalau nggak bisa ketauan.” Nagine nampak menyimak suara yang terdengar dari ponselnya. Kepalanya kemudian mengangguk tanpa sadar. “Biar nggak kemaleman sekarang aja. Katanya penting, ‘kan? Lebih cepet lebih baik.” Hening.

“Oke.”

Gadis itu terlihat buru-buru menyalakan motornya setelah telepon itu terputus. Lima belas menit berkendara, akhirnya ia sampai di sebuah cafe dengan dinding yang separuhnya adalah kaca sehingga mengekspos keadaan di dalamnya. Setelah melepas helmnya, Nagine menatap sekeliling berharap menemukan motor vario abu-abu. Ya, motor Arthar. Mereka akan bertemu di sini.

Netra itu sudah menangkap motor yang dicari. Lalu melangkah ke dalam. Tidak ada di lantai satu, Nagine beralih menaiki tangga untuk ke lantai dua yang seluruh dindingnya adalah kaca. Dia menemukan sosok Arthar yang sedang menatap ke arah luar di bangku sudut sebelah barat dekat dengan pemandangan proses tenggelamnya matahari.

“Nunggu lama ya?” tanya Nagine begitu sampai. Gadis itu menarik kursi untuk ia duduki. Di hadapannya kini ada segelas ice matcha latte. “Lo masih inget minuman favorit gue ternyata,” imbuh Nagine sambil mengambil minuman itu untuk diminum. “Thanks.”

Hawa di sini sepertinya agak berbeda. Lihatlah, setelah wajah datar Arthar sekian lama menghilang. Kini hadir lagi. Nagine jadi panik sendiri kita menyadari itu. Apakah ia berbuat salah sehingga membuat laki-laki itu marah?

“Ar, let me know if I'm wrong,” ucapnya mulai khawatir. Takut Arthar akan menyudahi janji yang mereka bangun dan membuatnya patah hati. Ah, Nagine belum siap untuk itu.

Masih hening. Arthar kini beralih menatap Nagine tanpa sepatah kata pun. Benar-benar mengkhawatirkan!

Satu helaan napas berat terdengar dari Arthar. Masih menatap Nagine, laki-laki itu berbicara. “Ayo nikah.”

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 7 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora