Chapter 06

223 21 1
                                    

Sudah Tiba (?)
———————

Biasanya di semester 4 seperti ini mahasiswa/i mulai sibuk mencari pasangan karena waktunya dinilai pas sebelum akhirnya mereka disibukkan oleh PPL, PKL, KKN, bahkan skripsi. Hitung-hitung nanti juga bisa menjadi teman fotbar saat wisuda.

Pantas saja beberapa hari terakhir ini Nagine melihat snap teman-temannya seperti sedang menunjukkan diri mereka sendiri bahwa tengah berstatus jomlo. Ternyata jawabannya baru ia temukan saat search di internet tentang semua ini.

Gadis itu menatap ponselnya cukup miris. Apa iya Nagine harus berjuang mendapatkan hati Arthar? Memikirkan ini membuatnya terbayang masa wisuda nanti. Keduanya foto bersama dengan menampilkan senyum terbaik. Nagine membawa sebuket susu kotak full cream dan Arthar yang merangkul sambil menatap ke arahnya seakan-akan ia tak sadar kamera.

Lamunan buyar ketika tangan orang di sampingnya menepuk agak keras. Tentu saja Nagine terjingkat. Merusak kehaluan saja!

Kali ini Nagine yang dengan malas menatap ke arah Aya yang ternyata menatapnya tak kalah malas. Nagine kira dia bisa memasang wajah datar, rupanya dalam pertemanannya Aya masih menduduki posisi utama.

“Lo kenapa sih perasaan diem mulu dari tadi?” tanya Aya kesal. Tidak biasanya Nagine diam. Padahal pagi tadi keadaan mood perempuan itu sedikit berantakan, sedangkan yang baru-baru ini hanya melamun. Bisa-bisanya Aya bereaksi seperti ini. Sangat langka.

Nagine masih diam. Bukan berniat tidak peduli, tapi gadis itu berpikir hal apa yang belum ia ceritakan kepada Aya? Ah! Iya. Tentang Arthar ... lagi.

Dengan cepat Nagine memutar tubuhnya menghadap Aya dengan sempurna. Mereka ada di kursi koridor fakultas sekarang. Nagine tersenyum manis hingga matanya terpejam karena saking lebarnya.

Aya mengerutkan dahi bingung. “Ngapain lo?”

“Gue mau cerita tentang Arthar. Apa lo mau dengerin?” lah? Tumben izin?

“Emang kalo gue bilang skip, lo bakal berhenti buat cerita?” Nagine menggeleng. “Ya yaudah, ngapain lo ijin?”

Dia menggeleng lagi. “Gue kira lo udah nggak peduli dengan perasaan gue sama Arthar.”

Seketika Aya meringis karena merasa bersalah, tapi jika tidak ditegur seperti yang sudah-sudah Nagine pasti akan bertambah parah, meskipun tegurannya tak pernah membuahkan hasil setidaknya dirinya sudah berusaha. Aya harap kata-katanya kemarin mampu direnungi gadis itu.

So, apa yang mau lo ceritain?”

“Minggu depan Arthar ajak gue keluar.”

Sejenak Aya menekuk alisnya bingung, tidak lama ia melipat bibir seakan menahan tawa. Kali ini Nagine yang bingung.

“Lo ... nggak takut dikibulin lagi?” tanya Aya.

“Gue nggak tau, tapi kayaknya dia serius. Soalnya mau nebus kesalahan katanya.”

Aya mengangkat bahu seakan tak ingin tahu. Gadis itu menatap Nagine. “Oke. Gue tunggu cerita lo subuh-subuh dia nelpon nggak jadi dan alasannya bantu Mama kerja.”

Seketika Nagine menimpuk Aya menggunakan ganci boneka frozen motornya. “Doa lu jelek amat.”

Ril cuy.”

“Terserah,” kata Nagine kemudian berdiri meninggalkan Aya sendiri.

“Lah? Kok jadi dia yang ngamok? Kan biasanya gue?”

———————

Nagine masuk ke perpustakaan kampus tanpa Aya. Sahabatnya itu lebih dulu pulang karena harus merawat sang nenek yang katanya baru saja jatuh dari kamar mandi.

Dengan telaten gadis itu thawaf dari rak satu hingga ke rak lainnya. Langkahnya terhenti saat melihat seorang perempuan lengkap mengenakan hijab panjang coklat tua dipadukan gamis mocca. Wajahnya tak terlihat sebab tertutup oleh masker. Entah mengapa hatinya tertarik untuk menyaksikan perempuan di sampingnya ini yang sedang memilah-milih sebuah buku.

Mungkin sadar diperhatikan, ia menatap Nagine dengan mata yang menyipit. Artinya sedang tersenyum. Nagine jadi salah tingkah. Dirinya ikut tersenyum berusaha menghilangkan suasana canggung.

“Kakak Islam?” tanya Nagine secara tiba-tiba. Dirinya sendiri bahkan tidak tahu mengapa ada pertanyaan sekonyol ini padahal yang ditanyakan sudah jelas-jelas memakai hijab.

Perempuan di sebelah gadis itu mengangguk, senyumnya masih belum luntur. Dalam senyum itu Nagine tidak bisa memungkiri bahwa hatinya merasa sejuk. Netranya kemudian bergerak kepada buku yang Nagine tangkap di covernya ada sebuah tulisan nasihat untuk para hamba yang berada di salah satu genggaman perempuan itu.

Tangannya menunjuk ke arah buku itu. “Ini ... buku apa?” tanyanya ragu.

Perempan itu melirik buku yang ia pegang, kemudian kembali menatap Nagine. “Ini kitab Nashaihul ‘Ibad.” Nagine mengangguk-anggukkan kepalanya. “Isinya tentang ajaran-ajaran tasawuf Islam. Ini kumpulan nasihat bagi seorang hamba yang ditulis oleh Syekh Nawawi Al-Bantani. Seorang ulama besar yang lahir pada 1815 Masehi di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.”

“Pembahasannya itu didasarkan 45 hadist dan sisanya merupakan atsar, tapi sebenarnya yang dimuat di sini lebih dari 250 hadist. Kitab ini makna dan hakikatnya sangat tinggi sehingga bisa didalami dan dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari.”

“Kamu mau coba baca?” tanya perempuan itu yang seketika diangguki langsung oleh Nagine. Entah ada apa dengan gadis itu sampai-sampai hendak meminjam kitab tersebut.

Melihat anggukan dari Nagine, perempuan itu menyerahkan bukunya ke Nagine.

“Ini buku perpustakaan, Kak?” tanya Nagine bingung sebab di cover-nya tidak ada nama kepemilikan buku tersebut.

Perempuan yang terlihat lebih tua dibanding Nagine menggelengkan kepalanya.  “Bukan, ini buku saya pribadi. Kalau mau pinjam nggak papa, kok. Saya bawa ke sini soalnya mau baca biar suasana hening, tapi belum sampai duduk di sudut baca, saya sudah menemukan kalimat yang saya cari. Jadi, ini bisa kamu pinjam. Oh ya nggak perlu khawatir karena kitab ini edisi baru. Pakai nahasa Indonesia. Hadist yang menggunakan bahasa Arab juga sudah diterjemahkan ke bahasa ibu.”

Nagine terlihat tidak enak sekarang. Masalahnya ini bukan buku perpustakaan, sedangkan dirinya tidak saling kenal dengan pemilik kitab itu.

Tiba-tiba tangan putih milik orang di hadapannya terulur. “Salam kenal. Saya Habiba dari jurusan Ekonomi Syariah.”.

Nagine membalas uluran tersebut. “Nagine dari jurusan Sastra Indonesia. Salam kenal kembali, Mba.”

“Ini kamu bisa pinjam. Nanti kalau mau dibalikin telepon saya aja, ya? Ini nomernya.” Habiba menyerahkan nomor pribadi miliknya ke Nagine. Saat sudah menerima nomor dan kitab milik Habiba, ia buru-buru pamit meninggalkan Nagine.

Setelah kepergian Habiba, Nagine melirik kitab dengan teks kuning keemasan yang sudah dia pegang. “Menarik.”

———————
To be continued.

FYI, atsar merupakan sisa atau bekas sesuatu yang datangnya dari selain Nabi SAW. Versi simple-nya sebutan dari perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain yang menjadi saksi kehidupan Rasulullah yang dapat dipercaya.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 13 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now