“Temen ngajar dikasih apa buat mengumumkan pernikahan kita, Mas?” tanya Nagine sambil menyalakan keran mencuci bekas masakannya dibantu Husain yang mengelap cucian itu untuk ditaruh di rak.

“Pas di Surabaya saya sudah pesan cateringnya di Mbak Naning. Saya pesan seratus box. Sekalian nanti sisanya dibagi-bagi ke orang di pinggir jalan,” kata Husain. Dia berjalan menuju rak piring dengan membawa gelas-gelas yang akan ia taruh di gantungan rak.

“Mbak Naning siapa? Ibunya Aya? Perasaan ibunya Aya nggak buka cateringan,” bingung Nagine.

“Nama Naning banyak, Ning. Mbak Naning yang saya maksud ibu-ibu kantin di sekolah tempat saya mengajar dulu. Sekarang orangnya resign dari sana. Denger-denger saat itu buka cateringan. Pas saya chat, benar. Beliau buka catering, dan saya sudah pesankan.”

“Mas pesen apa?”

“Sajian utamanya ayam panggang sama telur asin.”

Nagine memangut-mangutkan kepalanya. “Bagus,” katanya.

“Kemarin saya juga pesan untuk hari ini. Maghrib nanti mau saya bawa jamaah ke masjid komplek. Sekalian mau mengumumkan pernikahan,” kata Husain setelah mengelap tangannya menggunakan tisu.

“Kata ustazah tempat saya mengaji, perempuan itu lebih baik solatnya di rumah ya, Mas?” tanya Nagine. Dia berjalan mendahului Husain sambil membawa satu toples kripik kentang setelah beres mencuci piring.

“Betul. Karena perempuan itu fitnah terbesarnya laki-laki. Kalau para perempuan solatnya di rumah itu bisa terhindar dari ikhtilat bersama laki-laki dan bisa menjauhkan diri dari fitnah,” terang Husain memgikuti Nagine duduk di sofa depan televisi.

Nagine menghabiskan kunyahan kripik di mulutnya. “Kapan nasi kotaknya dateng?” tanyanya.

“Setengah enam nanti akan Mbak Naning bawa ke masjid langsung. Saya minta tolongnya begitu. Kita di sini berdua, nanti oyong-oyong ke sana. Susah juga.” Nagine mangut-mangut. Husain melirik arloji yang melingkar di pergelangan. “Ini udah jam lima. Lumayan juga kita istirahat sejam tadi,” katanya. Mereka memang baru sampai di rumah ba’da ashar.

Tepat setengah enam, Husain berangkat ke masjid komplek yang hanya ditempuh kurang lebih dua menit dengan berjalan kaki. Laki-laki itu mengelus puncak kepala wanitanya sebelum benar-benar pergi.

“Saya sekalian solat Isya. Jangan ditungguin, ya,” kata Husain takut Nagine khawatir ia pulang lama. Ah biarkan saja ia kepedean. Toh sama istri sendiri. Nagine hanya mengangguk patuh saja. Ia kemudian bergegas ke masjid.

Tepat setelah Nagine mengakhiri salat Maghribnya dengan salam, ia melihat dari kaca jendela keadaan malam di luar begitu mendung. Udara juga terasa dingin. Firasatnya akan segera turun hujan. Husain bilang ia tidak perlu khawatir dengan dirinya, tapi bagaimana tidak khawatir kalau dia saja tidak membawa payung.

“Ya Allah kumaha ini mah. Positif thinking, Na. Paling selesai solat Isya hujannya udah berhenti,” monolognya menenangkan diri sendiri. Tidak sesuai dugaan, bahkan sampai sepuluh menit setelah jamaah salat Isya pun, hujan tidak berhenti dan malah semakin deras. Daripada cemas sendirian di rumah, Nagine langsung mengambil payung yang terletak di samping rak sepatu dekat pintu masuk. Gadis itu kemudian keluar dan mengunci pintu rumahnya menyusul sang suami ke masjid.

Ya, Nagine menjemput suaminya.

Saat perjalanan naik taksi online setelah dari Surabaya, Husain memang sempat menunjukkan lokasi biasa ia beribadah bahkan sesekali menjadi imam ketika imam salat yang dijadwalkan berhalangan hadir. Sekitar dua menit kurang, akhirnya gadis itu sampai di depan gerbang masjid. Rasanya ragu ingin masuk saat dirinya mendengar suara tawa laki-laki seperti sedang berkerumun. Ia jadi tak yakin suaminya ada di sana. Mana tidak nomor yang bisa dihubungi.

Akhirnya mau tak mau Nagine memberanikan diri masuk ke pekarangan masjid. Pusat mata seketika mengarah ke arahnya. Buru-buru is menunduk, dari ekor mata Nagine bernapas lega karena melihat suaminya yang notice ia berjalan ke mari.

“Itu istri saya. Mohon izin untuk pulang dulu ya, Bapak-bapak,” kata Husain yang tertangkap di telinga Nagine. Wanita itu berdiri sambil berpayungan di ujung lantai masjid.

“Hati-hati Nak Husain, terima kasih juga nasi kotaknya tadi. Samawa ya kalian. Lain kali saja kita bertemu ke rumah kalian,” ucap Pak Somad mewakilkan beberapa orang yang ada di sana. Husain hanya tersenyum sambil mengangguk tiois merespon itu. Dia mendekati istrinya yang tengah tersenyum di balik masker. Terlihat dari matanya yang tengah menyipit.

Husain mengelus puncak kepala Nagine. “Saya bisa pulang saat hujannya sudah reda, Ning. Saya malah yang khawatir sampean kenapa-napa,” katanya cemas. Husain meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat. Selain cemas dia juga gemas dengan istrinya ini. Keduanya kemudian berjalan meninggalkan masjid.

“Habis udah Isya lama nggak balik-balik, Mas. Saya juga khawatir Mas nggak balik. Saya di rumah sendirian, lebih kenapa-napa nanti,” protesnya tak mau kalah khawatir.

“Saya tadinya mau balik, tapi hujan. Daripada kedinginan ya saya tunggu sampai reda aja.”

“Iya deh. Nggak papa lah istrinya sendiri jemput. Kan kalo gini jadi sepayung berdua. Menikmati hujan malam-malam,” kata Nagine mendramatiskan keadaan. Dia mengedipkan sebelah matanya. Husain hanya geleng-geleng melihat aksi genit Nagine. Laki-laki itu kemudian merangkul sang istri sampai rumah.

———————
To be continued.

Asksks, gimana rasanya pertama kali dijemput istri setelah jamaah salat di masjid, Sen? Pfft.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 8 Oktober 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now