Namun, di dalam hati selalu ada secuil harapan untuk memiliki Arthar setiap harinya. Bagi Nagine, tidak apa menunggu, supaya laki-laki itu bisa tahu bahwa perempuan yang benar-benar setia itu ada. Jadi, bayang-bayang kehilangan akan ia anggap musnah.

Mengenai tempo hari, Nagine belum menyiapkan apa-apa. Ia meminta pada Arthar untuk mengalihkan topik dan membahas hal lain dengan meminta laki-laki itu meluangkan waktu untuk bertemu dan membahas tugas karena ternyata ia dihadapkan oleh proyek yang memuat isi terkait kesehatan fisik. Sebenarnya Nagine asal mengambil tema itu karena tidak tahu harus dengan cara apa Arthar menyudahi kefreakannya kemarin. Dia benar-benar masih belum siap.

Nagine memijit pelipisnya pelan. Tinggal hitungan menit lagi laki-laki itu akan duduk di hadapannya dengan sebuah laptop yang akan menjadi pembatas. Parahnya untuk pertama kali Aya tidak tahu apa pun tentang ini. Semoga dia tidak marah.

“Kalo kayak gini gimana caranya gue bisa move on? Bahkan sampai detik ini; notifikasi dari dia masih menjadi hal favorit gue, dan yang paling mencapai poin, gue nggak pernah sekalipun nggak bersyukur pernah ketemu Arthar.”

Tiba-tiba seorang laki-laki dengan rambut belah samping sedang berjalan ke arahnya duduk dengan menenteng laptop. Wajahnya datar, tapi begitu duduk di samping Nagine sudah berubah; kali ini bukan tanpa ekspresi, laki-laki itu tersenyum sedikit. Ya, hanya sedikit.

“Udah lama?” tanyanya sambil mengeluarkan laptop dari dalam tas.

“Belum lama sih, tapi gue deg-degan!” jawab Nagine jujur. Arthar melirik ke arah perempuan itu yang terlihat nervous. Kemudian mengalihkan pandangannya ke laptop.

“Sans aja,” katanya. Sangat singkat sampai-sampai kalimat yang harusnya jadi penenang membuat denyut jantung Nagine tak berhenti berdebar dengan kencang. Dasar Arthar!

Waktu kemudian mereka hanyutkan dengan melakukan timbal baik antar tugas yang saling berkaitan. Antara seni bahasa dan fisioterapi. Benar-benar perpaduan yang sangat jauh.

Hampir 2 jam mereka berkutat di depan layar laptop sambil mengetik dan sesekalo menyeruput kopi susu yang tersedia di meja. Sampai akhirnya selesai, dan mereka kini tengah meregangkan punggung dan jari-jari yang mulai terasa kaku akibat menari di papan ketik terlalu lama.

Suasana hening. Mereka kalut dengan pikiran masing-masing. Apalagi Arthar, rasanya laki-laki itu ingin ke selatan saja karena tidak bisa mengutarakan perasaannya.

Pfft. Harus berani, Arthar! Jangan mau kalah.

Laki-laki itu batuk, tapi terlihat pura-pura. Nagine mengangkat sebelah alisnya bingung. Pandangan mereka bertemu. Kemudian saling melempar senyum meskipun sekilas.

“Na.” Arthar memanggil. Nagine menyahutinya. “Gue mau ngomong.” Saat Arthar baru menyelesaikan kalimat itu, perasaan Nagine mulai tidak enak. Kadar percaya diri itu meningkat, tapi sepertinya bukan itu. Bisa jadi masalah Dito saat itu, ‘kan?

“Ngomong aja.”

“Ini agak terdengar sensitif sih. Soalnya ... ya gitu deh, tapi gue harap lo bisa jawab itu.” Huh, Arthar semakin membuatnya penasaran sekaligus deg-degan saja.

“Gue akan jawab kalo gue bisa. Apa pun itu. Jadi, lo mau tanya apa?”

“Perasaan lo.”

Dua kata yang berhasil membuat netra Nagine membulat sempurna. Perasaan? Apa tadi Nagine tidak salah dengar?

“Ya, perasaan. Apa saat ini ada seseorang di hati lo?”

Apa ini kesempatan untuk mengungkapkan segalanya, Ar?

“Kenapa tanya gitu?”

“Tanya aja,” jawab Arthar asal.


Nagine menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Ada.”

Satu kata yang membuat Arthar lesu. Laki-laki itu kehilangan semangatnya sekarang. “Lima bulan lagi genap sembilan tahun perasaan itu ada. Namanya masih sama. Arthar Abyarsa.”

Denyut jantung Arthar seketika berdebar.

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 5 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Where stories live. Discover now