38. Titian tangga

775 62 0
                                    

Suara tawa samar-samar terdengar diantara dialog yang ramai mengisi malam dingin itu. Nyanyian jangkrik diluar bahkan menjadi satu padu mengusir sepi. Tapi dua insan yang saat ini duduk berjauhan  itu masih saja membungkam.

Jeno duduk di kursi meja belajar milik Alaska. Sedang Jaemin duduk di kursi meja makan yang berada beberapa meter jauhnya.

Keduanya masih dalam mode diam. Menyelami pikiran dan hati masing-masing yang terlanjur patah. Mereka sama-sama kecewa pada diri sendiri. Tentang bagaimana amarah mampu menguasai dan membuat keduanya bertengkar lagi setelah sekian lama.

Padahal Jaemin maupun Jeno sudah sepakat pada diri masing-masing untuk saling menjaga. Dan berdamai dengan keadaan.

"Kenapa lo gak pernah bilang sama gue?"

Jeno mendongak, menatap lurus pada dinding yang saat ini berada tepat dihadapannya. "Buat apa? Biar lo kasihan sama gue, terus mau nerima gue karena gak tega, gitu?" Jeno menggelengkan kepala sambil terus berdecak.

Sejak awal, Jeno tahu kedatangannya tidak akan bersambut baik. Apalagi ketika di rumah sakit Jaemin jelas-jelas menunjukan ketidaksukaannya. Jadi, dia berusaha keras menutupi sakit yang selama ini ia derita. Jeno tidak mau Jaemin menerimanya hanya karena kasihan.

"Jen!"

"Gue gak mau ngasih tahu lo karena gue benci saat orang-orang natap gue kayak yang lo lakuin sekarang." Jeno berteriak kesal. Napasnya memburu cepat. Sedang tatapan matanya tertuju pada sang kembaran.

"Gue benci sama mereka yang natap gue jijik seolah penyakit gue ini hal paling aneh di dunia. Cukup keluarga itu yang natap gue kayak sampah, gue gak mau lo juga memperlakukan gue kayak gitu." Lanjut Jeno. Mengenang kembali bagaimana keluarga dari mamanya yang selalu melihatnya tidak suka.

Jaemin menyugar rambutnya frustrasi. Perasaannya semakin tidak karuan sekarang. "Sorry, gue gak bermaksud." Katanya. Suaranya melembut seiring air mata yang mulai jatuh membasahi pipi.

Isakan tangis Jaemin meraung memenuhi ruangan. Bersama dengan itu ruangan depan terdengar sunyi senyap. Entah mereka sengaja diam agar pembicaraan keduanya berjalan lancar, atau mungkin mereka tidak tega mendengar tangisan yang begitu pilu. Tapi yang pasti, malam itu hanya terdengar suara jangkrik dan isak tangis Jaemin.

"Kok, malah lo yang nangis, sih?" Tanya Jeno. Dia berderap mendekati Jaemin. Merengkuh tubuh kembarannya itu yang bergetar hebat.

"Maaf, gue.. gue gak bermaksud natap lo kayak gitu."

Jaemin menumpahkan semua gundah di hatinya yang sejak tadi menyiksa. Mengusir sesak yang perlahan menguar bersama derai air mata. Dia marah juga kecewa dalam satu waktu. Jeno sejak awal tidak pantas untuk ia benci, dan sekarang setelah mengetahui anak itu sakit semakin membuat Jaemin menyesal karena pernah membencinya.

"Iya, gue tahu. Udah, gak usah nangis."

Dari tempatnya duduk, Jaemin dengan cepat mendorong Jeno menjauh. Pemuda itu berdiri dengan tangan yang bertolak di pinggang. Dia tiba-tiba merasa kesal karena suatu alasan sekarang.

"Tapi, gue masih marah, ya!" Pekiknya.

Sedang Jeno hanya bisa menghela napas panjang. Kembarannya itu mulai lagi. "Apa lagi coba?"

"Kenapa lo gak pernah cerita sama gue? Padahal kita udah beberapa waktu ini baikan."

Jeno duduk di kursi yang berada disamping Jaemin. Dia mengetuk meja beberapa kali sebelum menjawab, "Gue belum nemu waktu yang pas aja buat bilang." Dia berbohong.

Setelah beberapa waktu keheningan menemani keduanya. Tawa dan dialog ramai terdengar lagi dari ruang depan. Memecah sepi di dini hari itu yang semakin dingin menusuk hingga tulang belulang.

The Twins ~ Jaemin x JenoWhere stories live. Discover now