34. Berdamai

626 55 2
                                    

Tidak ada yang bisa memprediksi dimanakah badai singgah. Seperti sebuah angin yang tidak bisa dikendalikan, badai datang dan pergi tanpa sebuah peringatan. Tidak ada yang bisa menghindari badai.

Sama seperti badai itu, perdebatan kecil dimeja makan pagi ini membuat seisi rumah porak poranda. Tidak ada lagi kehangatan yang menyambut kedatangan Jaemin seperti biasa-walau terkadang Jaemin abaikan. Yang tersisa hanyalah sepi dan kekosongan.

Ia yang baru saja pulang sekolah hanya bisa menghela napas panjang. Awal semester baru saja dimulai beberapa bulan lalu. Tapi ujian datang lebih cepat dalam perihal lain.

Usianya bahkan belum genap 18 tahun. Tapi, cobaan datang silih berganti seolah tidak ingin membiarkannya bersama ketenangan. Jaemin mungkin tidak peduli dengan apa yang menimpa keluarga ini, tapi ia tetap merasa tidak nyaman ketika keadaan tidak dalam semestinya.

Dengan langkah gontai, Jaemin berjalan menuju dapur. Ia ingin segelas air untuk menuntaskan dahaga disiang yang terik itu.

"Den Jaemin, sudah pulang?" Bi Narsih menyambutnya dengan senyum hangat seperti biasa.

"Iya, Bi."

"Aden mau makan? Biar bibi siapkan."

Jaemin yang baru saja menenggak air dari gelas lantas menggeleng cepat. "Enggak usah, Bi. Nanti aja, saya belum lapar."

"Ah, baik kalau gitu. Bibi mau lanjut beres-beres lagi."

Setelah Bi Narsih pamit, Jaemin pun ikut melenggang pergi meninggalkan dapur. Dahaganya sudah ia tuntaskan. Tapi entah kenapa dadanya masih terasa sesak.

Jaemin menarik napas dalam berulang-ulang. Hingga langkahnya harus terhenti diujung tangga atas. Disamping pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

Samar sebuah isakan tangis menyapa pendengaran Jaemin. Suaranya terdengar amat pilu, membuat Jaemin tib-tiba saja mengiba.

"Hayul?" Jaemin melongokkan kepala.

Sedang diatas kasurnya, Hayul meringkuk dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Dibalik buntalan kain itu tubuh Hayul bergetar. Dengan isakan tangis yang memenuhi segala penjuru kamar.

"Lee Hayul."

Tubuh kecil itu menggeliat, namun beberapa detik berlalu sebelum akhirnya selimut tebal itu tergolek tidak berdaya disisi ranjang.

"Kak Nana." Hayul memandang Jaemin dengan pipi gembilnya yang basah.

"Kamu kenapa?"

Hayul lantas beranjak berdiri diatas kasur. Kedua lengannya merengkuh tubuh Jaemin dengan erat.

"Kak Nana, aku mau ketemu mama." Ujar anak berusia 8 tahun itu. "Anterin aku ke mama, Kak." Katanya lagi.

Sedang Jaemin hanya bisa terpaku dalam diam. Hangat pelukan Hayul membuat hati Jaemin yang selalu dilingkupi badai salju seakan mencair perlahan-lahan.

"Kak Nana, aku mau ketemu mama." Rengek Hayul.

Jaemin menunduk, kemudian berkata, "Hayul baru pulang sekolah?" Anak itu mengangguk dengan cepat. "Siapa yang jemput?"

"Bibi." Setelah menjawab dengan lirih Hayul memberi jarak. Kedua tangannya jatuh terkulai bersama dengan tubuhnya yang luruh diatas tempat tidur. "Ayo, Kak! Anterin aku ketemu mama."

Mungkin hubungannya dengan Hayul sama tidak baiknya. Jaemin tidak pernah menyapa anak itu bahkan ketika si bungsu berbicara banyak hal padanya. Tapi, kembali Jaemin menyadari, Hayul tidak pernah meminta untuk lahir dari keluarganya sekarang. Dia bahkan tidak tahu menahu tentang keadaan rumit yang membuat ikatan mereka kusut layaknya sebuah benang.

The Twins ~ Jaemin x JenoWhere stories live. Discover now