4. Dua takdir

1.4K 112 0
                                    

Happy Reading 💚

********

Matahari dengan perlahan kembali ke peraduannya. Meninggalkan semburat warna jingga yang tampak mempesona diujung Barat. Menemani sepasang ayah dan anak yang larut dalam lamunan masing-masing.

"Ah, tunggu sebentar."

Jaemin berlari kedalam rumah dengan langkah terburu-buru. Membuat ayahnya itu menatap dengan heran.

Lama, Jaemin menghilang kedalam bangunan tua yang tampak kumuh itu. Bangunan yang dibeberapa bagian tampak sedikit rubuh dan diperbaiki ala kadarnya.

5 tahun berlalu sejak pertama kali keduanya menempati rumah itu. Rumah kosong yang dijual dengan harga murah menarik minat Jiseok. Pikirnya rumah itu lebih baik dibandingkan harus terlunta-lunta ditempat asing. Sudah sekian lama mereka berlari dari satu kota ke kota yang lain. Menghindari penagih utang yang setiap saat siap merampas apapun yang mereka miliki.

Tapi, bertahun-tahun hidup dalam pengasingan. Jiseok merasa kasihan pada putra kecilnya yang tidak tahu apa-apa. Harus hidup berpindah-pindah membuat Jaemin tidak memiliki kehidupan masa kanak-kanak selayaknya. Tidak punya teman dan kenangan masa kecil lainnya.

Karena itulah, dengan sisa uang yang susah payah Jiseok simpan, mereka memutuskan untuk menetap. Di rumah tua dengan beragam kekurangannya, rumah tua yang kini menjadi saksi bisu susah-senang kehidupan mereka.

"Yah, bisa tolong ajarin aku ini?" Tanya Jaemin, yang lantas menarik Jiseok dari lamunan.

Jiseok mengerjap beberapa kali, mencoba menyembunyikan kedua matanya yang kini mulai berembun. Namun, tampaknya hal itu sia-sia. Jaemin bukan lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dia kini bisa mengerti hanya dengan sekali melihat.

"Ahh, 찐자. Mata Ayah kelilipan." Aku Jiseok dengan tawa sumbang. Tangannya yang masih sibuk menyeka sudut mata tampak sedikit bergetar.

Menulikan hati dan pikirannya untuk kesekian kali, Jaemin memilih duduk disamping sang Ayah. Membuka lembar demi lembar buku pelajarannya dengan gigi yang bergemeletuk pelan.

Menyaksikan sosok yang selalu terlihat gagah, kuat layaknya Tembok Besar China itu kini hancur membuat dada Jaemin sesak bukan main. Tanpa diberi tahu pun Jaemin tahu apa yang Ayahnya pikirkan.

Ingin sekali Jaemin merengkuh tubuh sang Ayah, memberinya pelukan hangat yang semestinya. Memberitahunya bahwa dia ada untuk Ayah. Mengatakan dalam rengkuhnya bahwa kini Jaemin sudah cukup besar untuk berbagi duka yang sama.

Tapi, keraguan menahan gerak tubuh Jaemin. Seakan sesuatu mengikatnya untuk membatu. Membiarkan sosok dihadapannya berjuang mengusir duka yang coba ia sembunyikan sendirian.

Maaf ayah, bisik Jaemin dalam hati. Aku janji akan jadi anak yang kuat agar Ayah bisa membagi beban Ayah padaku.

"Jadi, apa yang bisa Ayah bantu?" Tanya Jiseok setelah menata hati dan pikirannya kembali.

Sedang Jaemin berdeham pelan, lantas mengangsurkan buku di genggamannya pada ayahnya, "Ini."

"Matematika?" Jaemin mengangguk. Matanya mengerjap beberapa kali, menunggu reaksi sang Ayah.

Namun, dengan tangan yang disilangkan didepan dada, Jiseok menjauhkan diri. Lantas menggelengkan kepala dengan cepat, "Oh, no. Belum apa-apa aja kepala Ayah udah pusing."

Jika saja ini adalah sebuah cerita manga, maka mulut bawah Jaemin akan jatuh hingga dagu dan kedua matanya akan melotot tidak percaya pada sang Ayah.

The Twins ~ Jaemin x JenoWhere stories live. Discover now