35. Dika dan luka

614 56 0
                                    

Siang itu, langit begitu biru seolah seseorang telah menumpahkan cat, sedang awan putih tidak berjejak sedikitpun, dan angin sesekali berhembus membawa sejuk.

Jaemin berjalan menyusuri trotoar sepulangnya dari mengantar Hayul. Setelah memastikan anak itu sampai didepan kamar rawat inap mamanya, Jaemin memilih pergi. Dia belum mau berurusan dengan Dami yang jelas-jelas tidak akan menerima kehadirannya.

Suara deru mesin kendaraan dan klakson yang sesekali saling bersahutan menjadi teman Jaemin. Berkelana menyusuri jalanan tanpa tujuan. Sama seperti pikirannya yang kini berlarian tidak tentu arah.

Pada masa kecilnya yang begitu pahit, pada masa remajanya yang begitu tragis dan pada masa kini nya yang berantakan. Sekelebat bayangan masa lalu terus berputar silih berganti dikepala Jaemin. Membuatnya tiba-tiba merasa pening.

Diantara ramainya isi kepala Jaemin, dering telepon mengusik sepi. Benda pipih yang kini bersarang disaku celananya membuat keributan, yang membuat Jaemin mau tidak mau harus berhenti sejenak. Meraih benda itu kemudian mengernyit dalam.

"Halo?" Jaemin menyapa. Meski sekarang kepalanya semakin pening karena sebuah panggilan dari orang yang tidak terduga. Sebab sudah sejak lama mereka tidak lagi berhubungan.

"Nana."

Suara seseorang diseberang sana menyapa pendengaran Jaemin. Dari nadanya yang melirih membuat perasaan Jaemin tiba-tiba terasa tidak enak.

"Kenapa, Bang?"

Lama tidak ada sahutan. Hingga suaranya kembali lagi terdengar.

"Nana, kamu punya waktu? Ada yang harus Abang berikan sama kamu."

"Hari ini? Boleh sih, Abang mau ketemu dimana?"

Dika, pemuda itu lama terdiam. Hanya suara-suara tidak jelas yang kini dapat Jaemin dengar. Detik berlalu hingga menit pun berlalu. Tapi, Dika masih tidak kunjung buka suara.

"Bang Dika?"

Suara deheman terdengar sebelum suara Dika kembali menyapa pendengaran Jaemin, "Nanti sore Abang ke rumah, sekalian Abang mau ke makam bapak."

"Oke, dateng aja bang. Kebetulan hari ini aku gak kerja."

"Kamu masih kerja?"

"Hmm, gak ada alesan aku buat berhenti juga."

Helaan napas terdengar setelahnya. Kemudian Dika pamit saat seseorang diseberang sana terdengar samar memanggil nama pemuda itu.

Jaemin menghela napas panjang. Langkah kakinya yang sempat terhenti kembali ia rajut. Selangkah demi selangkah dengan lunglai. Sedang kali ini kaki-kaki itu memiliki tujuan.

Pukul 14:12, awan putih yang sejak tadi bersembunyi perlahan merangkak naik. Mengisi kekosongan langit setelah beberapa saat ia tinggalkan. Sama seperti itu mentari pun perlahan menuju peraduan. Meninggalkan Jaemin bersama cemas yang tiba-tiba menghantui hati dan juga pikirannya.

Berperang mungkin dianggap sebuah kekejaman. Membantai musuh tanpa kenal ampun hingga membinasakan beberapa kelompok tertentu. Tapi, perang batin Jaemin lebih dari kekejaman itu sendiri. Karena selain tidak akan ada yang tahu kekacauan dihatinya, Jaemin bahkan tidak tahu caranya menghentikan semua hal itu.

Dia juga tidak bisa meminta bantuan siapapun. Atau bahkan meminta siapapun untuk memahami lukanya. Apalagi mengobati batin Jaemin yang berdarah-darah.

Dika mungkin menjadi salah satu orang yang berarti dalam hidup Jaemin. Tapi entah bagaimana kehadiran pemuda itu terkadang membawa trauma bagi Jaemin. Berkali-kali Dika mengabarkan kabar buruk padanya. Dan berkali-kali juga Jaemin harus bertekuk lutut pada takdir yang tidak terduga. Membuat remaja 17 tahun itu menggigil karena perasaan buruk.

The Twins ~ Jaemin x JenoWhere stories live. Discover now