29. Beri Kita kesempatan

684 65 1
                                    

Happy Reading 💚

********


Bias jingga perlahan merangkak menginvasi langit. Mengusir putih yang sejak lama memonopoli awan yang berarak-arak mengikuti angin. Gemerisik dedaunan menjadi nyanyian merdu yang beradu bersama kicauan burung.

Serta hamparan ilalang diseberang jalan menjadi pemandangan menyegarkan yang tersuguh dihadapan Jaemin. Bentangan hijau yang menyejukkan mata yang terasa kering seakan membuat pemuda itu kerasan.

Jaemin duduk berselonjor didepan markas dengan alas koran yang dia dapat dari salah satu sudut ruangan. Dengan secangkir kopi yang Arhan seduh beberapa saat lalu menjadi temannya.

"Na, ngapain?" tanya Arhan. Laki-laki yang lebih tua ikut duduk dengan secangkir kopi baru.

Sedang yang ditanya malah terkekeh pelan. Kamudian berkata, "Jadi Bang Arhan anggota geng motor ini juga?" tanya remaja bersurai cokelat itu.

"Lebih tepatnya, gue salah satu pengusung geng motor ini." Arhan berkata dengan bangga. Dada pemuda itu membusung seiring tepukan pelan didepan dada.

Jika ada kejuaranan tengil nasional, Jaemin akan mengajukan Arhan sebagai kontestan ter-tengil yang pernah dia temui. Wajah tampan cenderung cantik Arhan sungguh tidak mencerminkan keindahan yang ia miliki. Alih-alih kagum pada ciptaan Tuhan itu, Jaemin malah bergidig ngeri melihat tingkah lakunya.

"Kok Kak Laura mau ya nikah sama Abang?" celetuk Jaemin tanpa kenal filter.

"Heh! Bae-bae kalau ngomong! Belum pernah kenalan sama tinju gue tuh mulut."

Bukannya takut, Jaemin malah tertawa terbahak-bahak. Bagi Jaemin yang hidupnya paling monoton didunia, segala tingkah laku suami bos-nya itu mampu membuat hari Jaemin sedikit berwarna. Walau kadang Bang Arhan enggan dibilang demikian. Karena katanya, Jaemin lebih parah dibanding dirinya.

Kerandoman Jaemin jauh dari ekspektasi. Walau wajahnya ganteng kalem seperti pangeran dari kahyangan, kelakuannya sebelas dua belas dengan dirinya. Dan Arhan tidak ingin dibilang paling aneh disini.

Jaemin terkekeh pelan setelah tawa miliknya berangsur pudar. Diantara pendar matanya yang menyorot senang, ada kekosongan yang membayangi. Dan hal itu tidak lepas dari pandangan Arhan.

"Lo kok bisa kenal adeknya si Aka?" tanya Arhan setelah hening menjadi teman keduanya untuk beberapa saat.

"Temen sekolah."

Arhan ber-oh ria. Sama seperti ia yang mengenal Alaska dengan baik. Arhan juga mengenal Jeno sama baiknya. Dari remaja yang sudah ia anggap adik itu, Arhan tahu bahwa seseorang yang bekerja di Cafe istrinya adalah kakak Jeno sendiri.

Awalnya Arhan tidak begitu tahu apa yang terjadi pada kakak-beradik itu sampai tidak pernah ada sapa diantara keduanya. Bahkan ketika Arhan mengajak Jeno untuk menemui Jaemin di Cafe, remaja itu menolak. Yang berakhir Jeno tidak pernah lagi datang untuk main ke Cafenya.

Dan setelah mengetahui masalah keduanya pun Arhan tidak bisa berbuat banyak. Hanya sebuah kata penyemangat yang bisa ia ucapkan pada Jeno. Sedang pada Jaemin ia hanya bisa berpura-pura tidak tahu tentang keduanya. Sebab, Jeno memintanya untuk seperti itu. Jeno tidak ingin menjadi alasan Jaemin keluar dari kerja paruh waktunya yang susah payah saudaranya itu cari.

Diantara semilir angin sore yang hangat, sebuah motor berderu mendekat. Seseorang yang sejak tadi bersemayam dikepala Arhan seolah menjelma menjadi nyata.

Jeno berdiri disana. Dihalaman markas, memarkirkan motornya disamping motor milik Arhan.

Belum juga remaja itu mendekat dan menyelesaikan keterkejutannya, Arhan bangkit berdiri. Ia mengusap pelan celana bagian belakangnya kemudian berucap, "Nah, ada temen gue. Gue harus pergi, ada urusan. Jen, anterin ini anak balik."

The Twins ~ Jaemin x JenoWhere stories live. Discover now