XLI

80 5 0
                                    

"Lo mau ngapain?"

Gue kaget saat tiba-tiba Kevin nyosor dan wajahnya begitu dekat dengan leher gue yang membuat gue bisa merasakan hembusan napasnya yang membuat tengkuk gue hangat dan membuat bulu kuduk gue berdiri, karena geli.

"Gue suka aromanya."

Mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya membuat gue tersenyum malu. "Thank's udah malam, pulang yuk."

Dia menganggukkan kepalanya.

Akhirnya gue dan dia bangkit kemudian berjalan menuju ke tempat di mana mobilnya berada.

Sepanjang perjalanan tidak ada topik yang cukup serius, gue hanya menikmati keindahan malam ini yang dipenuhi oleh lampu yang bersinar terang.

Mobil berhenti di Apartemen Kevin. Gue gak menolak, karena gue juga enggan untuk pulang.

Gue sudah merasakan yang namanya sakit hati dari mereka, gue tidak ingin terlalu sering bersama dengan mereka. Jadi, hal ini adalah salah satu hal yang bisa gue lakukan agar terhindar dari mereka.

"Sekarang lo istirahat."

"Gue mau mandi dulu."

"Ya sudah, sana."

Akhirnya gue langsung berjalan ke kamar gue dan langsung menuju ke kamar mandi. Gue merasa gerah, entah kenapa. Gue ingin membuat tubuh gue kembali segar sebelum akhirnya gue memilih untuk tidur.

"Ahhh! Kevin!"

Huft

Gue mengatur deru napas gue terlebih dahulu sebelum akhirnya kembali seperti semula. Gue kaget saat gue baru selesai memasukan kancing baju tidur gue, dia sudah berada di belakang gue.

Memperhatikan cara dia memandang gue yang gue rasa berbeda dari biasanya membuat gue mengernyit heran.

"Lo kenapa? Kenapa merhatiin gue seperti itu?"

"Memangnya kenapa?" Dia malah kembali bertanya dengan nada yang begitu enteng.

"Gue ngerasa ada yang beda." Jujur memang cara dia menatap gue kali ini terlihat jauh lebih intens dari biasanya.

Glek

Gue menelan saliva gue kasar saat melihat senyuman milik dia yang kali ini lebih ke arah menyeringai.

Sontak gue melangkahkan kaki gue mundur saat dia melangkahkan kakinya maju. Sial gue mengambil mundur. Tubuh gue sudah terpentok di dinding.

"I want you."

Alis gue terangkat sebab gue tidak paham dengan apa yang sudah dia maksudkan. "What's you mean?"

"You love me?" tanya dia sambil terus memperhatikan gue.

"Yes, i love you? Why?" Jujur gue bingung kenapa dia menanyakan hal ini.

"Making love."

Dengan seketika tubuh gue menegang di tempat. Bagaimana tidak menegang saat dia mengatakan hal itu setelah beberpa kejadian yang menurut gue termasuk janggal?

Gue memperhatikan ekspresi yang dia pasang sekarang, sepertinya dia berada di bawah pengaruh alkohol, tapi kapan dia mabuk?

"Mau gue yang buka atau lo yang buka?"

Jantung gue mendadak berhenti berdetak mendengar sebuah pertanyaan yang mengandung arti yang begitu mendalam. Gue kembali menatap dia, dia dengan entengnya malah tersenyum menyeringai.

"Kevin, sadar! Masa iya lo mau melakukan hal ini?"

"Kenapa tidak?" tanya balik dia dengan nada yang begitu enteng.

"Tapi apa alasannya?" Kenapa dia mendadak ingin berbuat seperti ini? Gue bingung dan juga tidak paham dengan pemikirannya kali ini.

"Lo mencintai gue?"

Kepala gue mengangguk dengan seketika. "Gue cinta sama lo, tapi tidak mungkin kita akan bercinta sekarang."

"Kenapa tidak?"

Gue menggeleng-gelengkan kepala gue dengan penuh rasa heran, kenapa dia bisa dengan enteng menjawab hal ini. Sebenarnya apa yang sekarang ada di pikiran dia?

"Hei! Gue masih punya masa depan, lo juga. Masa iya kita akan menghancurkan masa depan kita?"

Tidak.

Gue tidak ingin menghancurkan hal ini. Kehidupan gue sudah hancur dengan semua ini, tapi gue tidak ingin menghancurkan masa depan gue. Gue masih punya harapan kalau di masa depan gue bisa merasakan yang namanya bahagia.

"Ini tidak akan menghancurkan itu semua."

Gue tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang sudah dia ucapkan. "Dari mana lo bisa menjamin kalau hal itu tidak akan menghancurkan masa depan kita?"

Cup

Dia mengecup bibir gue, dia ingin lebih dari ini, tapi gue menolaknya. Ada sebuah rasa yang membuat gue tidak ingin memberikan ini padanya. Gue teringat akan seseorang.

Mendapatkan penolakan dari gue membuat ekspresi dia berubah. Dia menarik kedua tangan gue dan melepaskannya dengan kasar di atas tempat tidur yang membuat gue terjatuh kasar di atas tempat tidur ini.

Gue memperhatikan dia yang semakin mendekat. Melihat bagaimana dia melepaskan pakaiannya membuat gue semakin gemetar. Gue tidak ingin bercinta dengannya, di waktu yang sekarang.

"Kevin! Sadar!" Gue kebingungan bagaimana membuat dia tersadar dari kondisi yang seperti ini.

"Kesadaran gue masih penuh."

Kalau kesadaran dia masih penuh, lalu kenapa dia bertindah seperti ini? Gue kebingungan sendiri dengan semua ini.

"Terus lo mau apa?"

"Gue mau lo."

"Gak!"

Saat dia hendak membuka kancing baju tidur gue, dengan seketika gue menendang dia. Gue langsung bangkit dari tempat tidur. Dia terlihat semakin benci pada gue.

"Gue gak kasar ya sama lo!"

"Tapi lo gak bisa seperti ini."

Dia semakin mendekat. Ekspresi dia sudah benar-benar seperti orang yang sudah tidak tahan. Gue bingung sendiri. Gue mencoba untuk kabur, tapi dia malah memegangi kedua tangan gue dengan begitu kuat oleh tangannya sendiri.

"Jangan kasar-kasar, nanti gue bisa lebih kasar sama lo."

"Setan apa yang merasuki lo? Gue gak paham."

Memang gue gak paham kenapa dia seperti ini. Dia bukan orang yang gue kenal. Selama gue bersama dengannya, dia tidak pernah senafsu ini. Dia kenapa? Apa yang harus gue lakukan sekarang?

Bugh

Gue menendang perut dia, tapi tidak membuat dia melepaskan tangan gue dari genggamannya. Sorot matanya semakin lama semakin berubah tajam, dia semakin emosi. Gue semakin takut sekarang.

Plak

"Au! Lo berani nampar gue?" Gue benar-benar tidak percaya dia orang yang gue percaya bisa menjaga gue dan tidak akan menyakiti gue, tapi ternyata sama saja. Dia juga bisa menyakiti gue.

"Lo yang mulai duluan."

*****

Gue sudah sangat ketakutan, gue sudah kembali berbaring di atas tempat tidur. Dengan perlahan dia semakin mendekat. Tangan dia sudah mulai mengelus pipi gue dan mulai turun membuka kancing baju tidur gue yang paling atas.

"Tolong! Siapa pun, tolong gue!"

Gue tahu kalau gue sudah tidak bisa menghadapi dia, terlebih sekarang gue yang sudah gemetar ketakutan. Gue pasti tidak akan bisa mengimbangi amarah dia, tapi gue juga tidak ingin memberikan diri gue sepenuhnya sama dia, meski dia adalah orang yang saat ini gue sayang.

"Tolong gue!"

Benar. Dia berani menyuruh gue untuk berteriak sesuka hati gue, karena dia tahu tidak akan ada orang yang menolong gue. Gue sudah mulai pasrah sekarang, gue berharap ada sebuah keajaiban datang. Gue menghembuskan napas yang sudah tidak mengandung harapan.

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now