XXI

112 4 0
                                    

"Lio?"

Gue kaget saat Lio baru saja masuk ke kamar gue.

"Ada apa?"

Dia tidak menjawab. Dia menarik tangan gue yang mengharuskan gue ikut bersama dengannya. Dia tidak berucap, tapi gue mengerti apa yang dia maksud. Dia menyuruh gue untuk duduk di sini, akhirnya gue duduk di kursi ini.

Gue terdiam bengong saat dia mengeluarkan tali dari sakunya. "Lo mau ngapain?" Dia tidak menjawab. Dia melanjutkan kegiatannya. Dia mengikat gue di kursi ini.

"Lio, kenapa gue diiket kayak gini?" Di sini gue bingung sendiri kenapa dia mengikat gue di kursi seperti ini.

"Gak papa." Akhirnya dia bersuara, tapi tidak berhasil menjawab pertanyaan yang sudah gue ajukan.

"Kenapa sih? Kenapa lagi? Pake acara diiket di kursi segala." Gue benar-benar tidak mengerti dengan alasan yang membuat dia menjadi mengikat gue bersama dengan kursi seperti ini.

"Bukannya suka sama kursi?"

Gue mengernyit saat mendengar pertanyaan yang seperti itu keluar dari mulutnya. "Maksud lo?" Gue sama sekali tidak mengerti kenapa dia mengatakan kalau gue suka sama kursi.

"Saking sukanya sampai lo mau menghitung jumlah kursi satu sekolah." Dia berucap dengan nada yang begitu datar.

Mendengar penjelasan yang seperti ini dari dia membuat gue teringat akan kerjadian tadi. "Lo cemburu atau bagaimana?" Di sini gue heran dan juga tanda tanya.

"Tidak." Dia menjawab tanpa mengubah eskpresi wajahnya.

"Lalu kenapa lo seperti ini?" Gue bingung sendiri. Kalau dia tidak cemburu dengan apa yang sudah gue lakukan, lalu kenapa dia sampai memperlakukan gue seperti ini dan menyatakan kalau gue suka sama kursi?

"Gue hanya mencoba menyatukan lo dengan barang yang lo suka."

What? Menyatukan? Apa iya ada orang yang suka sama kursi? Kalau ada orang yang suka sama kursi, apakah mereka akn suka saat mereka disatukan bersama dengan kursi dengan cara yang seperti ini? Gue gak yakin akan hal itu.

"Gue gak ngerti. Ini pegel tahu gak sih?" Setelah beberapa saat, gue merasa kalau tangan dan juga kaki gue mulai merasakan pegal.

Dia menggelengkan kepalanya dengan santai. "Enggak."

"Iya enggak, karena lo gak merasakan. Coba lo rasakan sekarang? Coba posisi lo kayak gue gini? Tangan kiri sama kanan rapet sama kursi diikat lagi, mana kakinya juga ikut diikat lagi. Kaki gue pegel tahu, seharian gue udah jalan-jalan terus sekarang harus duduk kayak gini?"

"Tadi jumlah kursinya ada berapa?" tanya dia yang sudah mengabaikan kalimat yang sudah gue ucapkan.

"1.327 kursi." Gue masih ingat kalau tadi Kevin menyatakan bahwa jumlah kursinya ada 1.327 buah.

"1.327 itu sekitar 22 jam?"

Di sini gue berpikir. Sepertinya dia membagi jumlah kursi itu dan dia ubah ke jam. Kalau ditung-itung, jumlahnya memang sekitar 22 jam.

"Terus? Maksud lo apaan?" Gue sama sekali tidak mengerti kenapa dia mengubah jumlah kursi menjadi jam.

"Diam di kursi ini selama 22 jam."

Mata gue dengan seketika membelalak. Gue kaget saat dia mengatakan kalau gue harus diam duduk di kursi ini selama 22 jam.

"Gak ya, gue gak mau masa iya 22 jam. Lo kenapa sih?" Gue bingung kenapa dia bisa sampai seperti ini? Gue kali ini tidak berbuat salah apa pun pada di, tapi kenapa dia malah seperti ini?

"Karena lo suka kursi. Gue buat lo terus bersama dengan kursi."

Sampai sekarang dia masih mengatakan kalau gue suka pada kursi. Alasan yang membuat dia berbuat seperti ini pada gue, karena dia ingin membuat gue terus bersama dengan benda yang gue suka, yaitu kursi.

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now