XXIV

107 5 0
                                    

"Coba angkat tangan lo."

Gue mengernyit sambil menatap dia dengan tatapan yang tanda tanya. Melihat ekspresi dia yang seolah masih menunggu gue untuk mengangkat tangan gue, akhirnya gue perlahan menaikkan tangan gue dan membuat bagian bawahnya menghadap ke atas.

Setelah ini, gue menatap dia dengan tatapan yang tanda tanya. Gue masih tidak paham dengan apa yang dia maksud kenapa dia menyuruh gue melakukan hal ini.

Gue merasa sedikit dek-dekan di sini. Bagaimana tidak dek-dekan saat dia menyuruh gue untuk mengangkat tangan dan dia masih memegang benda tajam itu di tangannya?

"Ah! Shh, ahh. Lio?!" Napas gue terengah-engah sekarang.

Gue merasa begitu kaget dan juga perih saat dia tiba-tiba menggoreskan pisau itu ke tangan gue. Gue menatap dia dengan tatapan yang penuh kekesalan serta bercampur dengan rasa sakit.

"Lo kenapa lagi sih? Kenapa lo kembali melukai gue? Gue punya salah apa sama lo?"

Saat gue menurunkan tangan gue, dia dengan seketika menarik tangan gue kembali ke atas yang membuat tangan gue berlumuran darah.

Gue berlumuran darah sekarang, bukan sebab luka yang baru saja dia buat, tapi dari tangannya yang masih terdapat sisa darah.

"Shh, au! Perih. Lo kenapa sih? Jelasin dulu!"

Di sini dia benar-benar tidak menjawab. Dia kembali melanjutkan kegiatannya. Gue sempat hendak menarik tangan gue, tapi dia semakin menguatkan genggamannya. Rasa sakit ini menjadi bertambah.

Saat dia memegang tangan gue dengan begitu kencang, membuat luka yang dia buat menjadi cukup dalam dan membuat darah segar keluar dengan begitu mudah mengikuti robekan yang sudah dia buat.

"Gue salah apa? Sakit, kenapa sih lo maen lukain tangan gue tanpa gue punya salah sama lo. Ada apa? Gue sama sekali gak inget akan kesalahan yang sudah gue perbuat."

Jujur, gue memang tidak ingat kalau gue pernah melakukan yang dia anggap sebagai kesalahan.

"Semula lo mengatakan kalau ini adalah hukuman bukan? Kalau hukuman, pasti ada kesalahan, tapi apa kesalahan yang sudah gue perbuat? Gue gak ngerasa punya salah atau berbuat salah sama lo, tapi kenapa lo seperti ini?"

"Pikirkan apa yang sudah lo perbuat dalam jangka waktu dekat." Setelah mengucapkan kalimat itu, dia kembali melanjutkan kegiatannya yang semula dia hentikan.

Gue masih bingung akan apa yang dia maksud, meski lebih tepatnya gue masih bingung tentang perbuatan apa yang sudah gue lakukan dalam jangka waktu yang dekat sampai membuat dia menjadi seperti ini lagi.

Dia melirik ke arah gue dan kemudian tersenyum kecil. Melihat dia yang tersenyum kecil, seolah gue melihat Devil yang dekat dengan diri gue.

Dia sudah tidak seperti manusia saat dia dengan santai membuat gue merasakan yang namanya perih serta sakit dalam waktu yang bersamaan.

"Apa lo tidak bisa mengatakan apa yang sudah gue perbuat yang menjadi alasan kenapa lo seperti ini?"

Dia menggelengkan kepalanya sambil terus melanjutkan kegiatannya, yaitu menusukan pisau itu ke tangan gue yang berbentuk goresa-goresan yang belum gue pahami ke mana arahnya.

"Tapi tentang apa? Kasih tahu hubungannya tentang apa, jangan membuat gue kebingungan sambil merasakan rasa perih dan sakit yang berlebih ini. Gue mohon ... ini sakit. Please ... kasih tahu."

"Lo udah ingkar janji."

"Janji? Memangnya janji apa yang sudah gue ingkari? Gue tidak merasa sudah ingkar janji."

Dia terus menggoreskan pisau itu di tangan gue. Di sini otak gue benar-benar disuruh untuk berpikir dengan begitu serius. Gue mengingat-ingat janji apa yang sebenarnya sudah gue ingkari sampai membuat dia seperti ini.

"Lo kenapa sih? Lo gak punya hati atau bagaimana?"

"Kalau iya?" Dia malah dengan entengnya bertanya balik.

Gue kembali memutar otak gue untuk mengingat janji apa yang sudah gue ingkari. Gue ingin segera mengingat janji itu. Gue sudah begitu merasakan yang namanya sakit dan juga perih dari luka yang sudah dia buat.

Setelah beberapa saat berlalu gue, akhirnya gue teringat akan sesuatu hal. Terakhir kali gue mengucap janji itu pada saat malam itu. Sebenarnya gue tidak berjanji, gue hanya mengiyakan pertanyaan dia tentang janji.

"Apakah janji yang lo maksud adalah janji yang sudah gue ucapkan malam itu? Saat gue izin ingin pergi ke Basecamp?"

Dia menganggukkan kepalanya santai. Gue malah kembali terdiam dan merasa begitu heran di sini. Waktu itu gue berjanji untuk tidak bersama dengan cowok, tapi kenapa dia mengatakan kalau gue sudah ingkar janji?

"Lo tahu dari mana kalau gue bersama dengan cowok?" Hal ini adalah hal yang membuat gue tanda tanya.

Sebuah senyuman terukir di bibirnya. "Bukan hal yang susah untuk gue tahu hal itu."

Kalimat yang merupakan jawaban dari pertanyaan yang sudah gue buat ini malah membuat gue heran.

"Tapi kenapa lo sampai seperti ini, padahal gue hanya ingkar akan janji yang kecil. Kenapa lo sampai seperti ini? Itu janji kecil lho, shh ahh!"

"Janji kecil saja tidak bisa lo tepati, bagaimana dengan janji yang besar?"

Apa yang sudah dia ucapkan tidak salah, hanya saja hal ini membuat gue kembali berpikir.

Perih dan juga sakit ini semakin lama semakin terasa berlebih, gue sudah memejamkan mata gue dan menengadahkan kepala gue tak beraturan hanya untuk menahan rasa sakit ini, tapi hal itu tidak ada gunanya.

"Udah belum? Sakit ...."

Dia tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya.

Gue mengintip ke arah di mana dia sedang menggores-goreskan ujung pisaunya. Sepertinya dia kali ini tidak sembarang membuat garis. Dia sekarang seperti sedang mengukirkan beberapa huruf.

Gue tidak tahu kata apa yang sedang dia buat, tapi percayalah hal ini sungguh membuat gue tersiksa. Rasa perih itu semakin lama semakin menjalar ke seluruh tubuh gue.

"Selesai," ucap dia sambil menyertakan senyumannya.

Gue melirik ke arah tangan gue yang sudah dia lukai.

'INGKAR'

Ternyata goresan demi goresan yang sudah dia lakukan di atas tangan gue membentuk satu kata itu.

Gue menatap dia dengan tatapan yang penuh dengan tanda tanya, kenapa dia bisa-bisanya menulis di atas tangan seseorang dengan sebuah pena berupa pisau yang sangat tajam.

"Kenapa lo nulis di tangan gue?"









SEKIAN DULU BYE-BYE!

SEE YOU!


CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHOnde histórias criam vida. Descubra agora