XIX

111 4 0
                                    

"Lo semula bentak-bentak gue kan?" Dia bertanya sambil menatap gue, tapi kali ini gue tidak menatap dia balik. Gue lebih memilih untuk menunduk, dibandingkan harus menatap dia yang sudah gue tebak sedang menatap gue dengan tatapan yang tajam.

"Maaf ...."

Dia menggelengkan kepalanya, itu artinya permintaan maaf gue dia tolak.

"Gue, udah gak kuat nahan rasa sakit dan juga perih ini."

Tubuh gue dengan seketika ambruk ke lantai, gue mengerjap-ngerjap mata gue. Bayangan dia kabur, gue tidak bisa melihat dengan jelas wajah dia.

Beberapa saat gue mencoba untuk membuat pernglihatan gue menjadi normal agar gue bisa melihat dia, tapi yang ada hal yang semula terlihat kabur berubah menjadi hitam legam.

*****

Gue mengerjap-ngerjap mata gue. Perlahan gue membuka mata gue. Tangan gue hendak memegangi kepala gue yang terasa berat, tapi saat gue hendak memegang kepala ini dengan menggunakan tangan bagian kiri, gue merasakan sebuah rasa perih dan juga sakit yang timbul.

"Shh ah!" Gue meringis, karena gue merasa perih.

"Udah bangun?"

Mendengar ada suara Lio, membuat gue melirik ke arah dari mana gue mendengar suara itu. Lio sekarang sedang melangkahkan kakinya menuju ke arah di mana gue sedang berbaring. Gue memegangi kepala gue yang terasa begitu berat dengan menggunakan tangan kanan.

"Gue kenapa?"

"Tadi lo pingsan."

Pingsan?

"Sakit." Gue berucap sambil terus memegangi kepala gue.

Kali ini gue tidak mengatakan kalau yang sakit itu tangan gue, karena memang tangan gue sudah jelas sakit. Kali ini kepala gue juga merasa sakit.

"Lo demam?" tanya dia dengan ekspresi yang terlihat sedikit kaget.

Mendengar dia yang mengatakan kalau gue demam, membuat gue memegangi kening gue.

Pantas saja dia menanyakan apakah gue demam, karena sekkarang kening gue memang terasa begitu panas. Gue sendiri tidak tahu hal apa yang membuat gue jadi demam.

"Lio." Gue memanggil dia saat dia melangkahkan kakinya ke arah luar dari kamar gue.

"Apa?" Dia menjawab dengan nada yang begitu datar.

"Lo mau ke mana?" Entah karena hal apa, gue gak mau kalau sekarang gue harus ditinggal oleh dia.

"Gue mau memanggil Dokter."

"Lo jangan pergi."

"Nanti gue balik lagi."

Di sini gue hanya membuang napas gue dengan begitu kasar, gue gak bisa memaksa dia. Akhirnya gue hanya bisa pasrah dan berdiam di atas tempat tidur ini sambil menunggu dia kembali. Gue melirik ke arah tangan kiri gue.

Di tangan kiri gue tidak ada sebuah luka yang menganga. Luka yang tadi sudah tertutup oleh perban. Sepertinya saat tadi gue pingsan, dia mengobati luka ini.

Dia yang menyakiti gue, dia juga yang mengobati gue. Di sini gue heran sebenarnya sama sikap dia yang susah ditebak.

*****

"Dia kenapa Dok?" tanya Lio pada Dokter yang sudah selesai memeriksa gue.

"Apakah pasien sekarang sedang mempunyai luka yang besar atau dalam?"

Gue terdiam mendengar pertanyaan yang sudah dokter itu ucapkan. Memangnya apa hubungannya antara luka yang ada dengan gue yang demam? Gue gak ngerti, gue juga gak mau mengakui kalau memang ada luka di tubuh gue.

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now