III

279 11 0
                                    

"Enggak, Lio jangan. Lio, please jangan." Kalimat gue benar-benar dia abaikan.

Tangan kiri dia sekarang sedang menaikkan celana jeans yang semula menutupi kaki gue yang sampai ke mata kaki.

Sebelumnya gue memang memakai celana jeans, karena semula gue sudah berniat pulang sekolah sendiri dan meninggalkan dia.

" Itu sakit, Lio .... Arhh, sakittt!"

Gue meringis saat pisau kecil itu sudah dia goreskan di kaki gue. Sebelumnya gue sudah mencoba menarik kaki gue, tapi hal itu tidak membuat dia menghentikan aksinya.

Dia malah mencengkeram kaki gue dengan cengkeraman yang begitu kuat seolah gue tidak boleh bergerak, apalagi dengan berusaha mengalihkan kaki gue dari dirinya.

Untuk sekarang cengkeraman dia tidak terlalu kuat, tapi gue tidak ingin menarik kaki gue, apalagi saat benda kecil yang tajam itu sudah menggores kulit kaki gue, karena hal itu sama saja dengan gue yang memilih untuk memperpanjang luka di kaki gue.

"Lio, cukup! Sakit ...."

"Belum, gue belum selesai dengan ukiran ini. Sebentar lagi, nanti hasilnya akan indah."

Indah? Indah mata lo, tapi sakit untuk gue.

Sebenarnya gue bingung kenapa gue bisa dipertemukan dengan cowok seperti dia. Cowok yang sama sekali tidak mempunyai rasa kasihan pada manusia.

Sekarang gue hanya bisa memejamkan mata gue paksa, karena terasa begitu ngilu kalau gue harus memperhatikan pisau kecil itu yang sedang dia goreskan di kaki gue.

Gue melirik ke arah wajahnya. Hidungnya yang mancung, kulit yang putih bersih, serta mata yang indah, meski kadang saat menatap seperti elang.

Keringat keluar dan mengalir mengikuti bentuk wajahnya, melihat ekspresi dia, tidak ada sedikitpun dia membayangkan apa yang sedang gue rasakan sekarang.

Benda kecil yang tajam ini terasa begitu perih, apalagi saat dia menggoreskan benda itu di tempat yang sudah dia goreskan tadi.

Gue tidak tahu ke mana dia menggoreskan pisau kecil itu, tapi saat dia menggoreskan dia tempat yang sebelumnya sudah tergores, gue bisa merasakannya.

"Sudah selesai belum? Lio ... ini perih, sakit juga."

Terasa begitu perih saat dia sampai sekarang belum menyelesaikan sesuatu yang dia sebut dengan ukiran.

Dia itu kaya, tapi kenapa untuk mengukir saja dia lebih memilih di kaki gue?

Gue rasa ukirannya akan lebih indah jika di atas kertas atau kanvas, bukan di atas kulit manusia, terlebih kulit gue.

"Sudah selesai."

"Arh!"

Gue repleks menjerit saat dia menekankan ujung pisau yang begitu tajam itu. Ujung pisau itu seolah membentukkan titik.

"Katanya udah selesai?"

Sungguh hal ini membuat gue bertanda tanya, karena memang sebelumnya dia sudah mengatakan selesai, tapi kenapa barusan dia malah kembali membuat gue merasakan yang namanya sakit.

"That is finishing."

Gue sudah tidak sanggup menahan air mata ini, apalagi saat gue melihat kalau seprei yang ada di bawah kaki gue sudah terkena darah segar yang mengalir dari kaki gue.

Darah itu terus keluar dari kaki gue, bersamaan dengan rasa perih yang masih menjalan dan bisa gue rasakan dengan begitu jelas.

"Indah bukan? Coba lo lihat," ucap dia sambil memperhatikan luka di kaki gue yang tak lama dari itu melirik ke arah wajah gue dengan ekspresi yang tanda tanya. Dia sedang meminta pendapat.

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now