II

338 11 0
                                    

"Mau ke mana?"

Suara serak dari arah belakang berhasil membuyarkan rasa ketakutan yang ada dalam diri gue. Gue merasa tidak asing dengan suara itu.

Gue melirik ke arah belakang, ternyata pikiran gue benar. Orang yang baru saja berbicara adalah Lio.

"Mau pulang." Gue menjawab dengan penuh kejujuran. Gak baik bohong, makanya gue memilih untuk jujur.

"Pulang bareng gue."

"Gue gak mau. Gue udah bilang sama lo, kalau gue gak mau pulang bareng sama lo. Gue gak bisa pulang bareng lo."

"Turun."

"Ini motor gue, kenapa lo nyuruh gue buat turun?"

"Kalau gitu naik motor gue."

"Ya udah deh naik motor gue aja."

Mendengar kalau pada akhirnya gue memilih untuk menggunakan motor gue, dia melirik ke arah gue dengan lirikan yang begitu datar.

Dia melangkahkan kakinya beberapa langkah. Dia mengambil helm miliknya yang berada di atas motornya.

Ya. Dia itu bawa motor sekarang. Gue juga heran kenapa dia lebih memilih untuk bareng sama gue.

Akhirnya gue naik dan duduk di belakang. Dia mulai melajukan motor gue keluar dari area SMA. Gue gak tahu ke mana tujuan dia sekarang.

*****

Gue tahu tempat ini, ternyata dia membawa gue ke Rumahnya. Tempat ini terasa kurang cocok kalau dikatakan Rumah.

Tempat ini terlalu mewah jika dipanggil Rumah, tapi ada sesuatu hal yang membuat gue tanda tanya dengan Rumah ini.

Apa itu?

Dari awal dia membawa gue ke sini, gue gak pernah satu kali pun melihat orang tua dia. Orang yang ada di Rumah ini sepertinya hanya orang yang bekerja untuknya.

Gue gak pernah tanya di mana orang tua dia, karena gue gak mau terlalu ikut campur ke dalam kehidupan dia.

Dia melangkahkan kakinya tanpa berucap apa pun. Gue melangkahkan kaki gue mengikuti langkah kakinya.

Sepanjang perjalanan, banyak orang yang menyapa dirinya dengan kalimat dan nada yang sopan.

Di awal gue merasa tanda tanya akan hal ini, tapi karena ini bukan kali pertama gue di ajak ke sini, maka gue sudah tidak asing.

"Makan."

Satu kata itu keluar dari mulutnya. Dia berucap sambil melirik ke arah gue. Jujur, gue sedang merasakan yang namanya lapar.

Gue membalikan piring ini sampai akhirnya gue mengambil makanan yang memang ingin gue nikmati sekarang.

Tidak banyak percakapan yang terjadi di antara gue dan dia. Dia fokus pada makananya, meski sesekali dia melirik ke arah gue dengan lirikan yang begitu menyebalkan.

Gue gak suka ditatap dengan tatapan yang serius seperti itu, tapi gue jauh lebih tidak suka kalau sampai dia marah.

"Gue mau ke Toilet. Jangan kabur."

Mendengar kata terakhir yang ada di kalimat yang sudah dia ucapkan, membuat gue teringat untuk melakukan hal itu.

Gue gak tahu apa yang akan dia lakukan pada gue, kalau gue terus-terusan diam di sini dan menuruti apa yang akan dia perbuat.

"Iya."

Dia bangkit da kemudian melangkahkan kakinya. Merasa kalau dia sudah sampai di Toilet, gue ikut bengkit dan melangkahkan kaki gue menuju ke arah luar Rumah ini.

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now