XXIX

103 4 0
                                    

"Vin, lo di mana?" Gue langsung menanyakan di mana dia berada saat sambungan telepon ini sudah terhubung.

"Gue ada di Rumah, ada apa?" Dia seolah tahu saat gue menanyakan di mana dia berada, ada sesuatu yang gue inginkan atau akan gue lakukan.

"Ada yang ingin gue bicarakan, bisa bertemu?"

"Bisa. Di mana, mau kapan?"

Jawaban dengan pertanyaan banyak seperti ini membuat gue merasa kalau gue juga dihargai, tidah hanya gue yang bertanya terus-terusa pada dia untuk mencari topik pembahasan saat sedang bersama dengannya.

"Sekarang, di Cafe biasa."

"Oke gue ke sana." Saat dia menjawab dengan nada yang begitu enteng, tidak terdengar seperti orang yang merasa keberatan akan hal ini.

"Iya, gue tunggu."

"Iya."

*****

"Ada apa?" Dia langsung bertanya ada apa, padahal dia sendiri baru saja datang dan baru menyimpan pantatnya di kursi.

"Makan dulu aja, gue udah pesan. Kalau mau yang lain tinggal pesen lagi."

"Makasih, enggak. Udah cukup."

Waktu berlalu dengan begitu saja. Sekarang gue dan juga dia hanya sedang menikmati makanan yang masih ingin dinikmati, karena perut sudah mulai merasakan yang namanya kenyang.

"Oh ya, tadi lo bilang ada yang ingin lo bicarakan. Lo mau membicarakan apa?" tanya dia.

"Oh itu."

"Iya, ada apa?"

Di sini gue sempat bingung bagaimana menjawabanya. "Gue mau tanya sama lo."

"Tanya apa? Tanya aja, silakan. Kenapa kayak orang ragu?"

"Gue emang ragu untuk menanyakan ini." Tidak bisa dibohongi dan juga disembunyikan kalau gue memang merasa ragu untuk menanyakan hal ini pada dia.

"Memangnya apa yang ingin lo tanyakan?"

Saat gue mengakui kalau gue memang ragu untuk menanyakan ini, dia terlihat semakin penasaran akan hal yang ingin gue tanyakan. Gue menatap dia sejenak.

"Lo sayang gak sama gue?" Gue bertanya dengan nada yang cukup hati-hati.

"Sayang? Banget, kenapa jadi tanya ini?" tanya dia balik. Sepertinya dia merasa heran saat gue menanyakan hal ini padanya.

"Gue ingin tahu aja, gue gak mau kalau gue harus merasakan sakit hati dari orang yang sama."

Jujur memang hal ini sangat tidak gue inginkan. Gue sangat tidak ingin kalau gue harus merasakan yang namanya sakit hati dari orang yang sama. Tidak, gue tidak ingin kembali merasakan sakit hati karena ulah dia.

Dia terdiam sejenak sambil menatap gue. "Apa kejadian itu begitu membekas di dalam hati lo?" tanya dia dengan nada yang santai, tapi masih seperti orang yang serius.

Gue menganggukkan kepala gue. "Sangat.

Kejadian itu sangat membekas di dalam hati gue, bahkan sepertinya salah alasan yang membuat gue tidak bisa melupakan lo, karena luka yang sudah lo torehkan di hati gue."

Kevin mengulurkan tangannya. Dia dengan perlahan mengusap-usap kepala gue. Gue begitu merasakan sebuah kelembutan ini.

Terasa begitu nyaman saat gue diperlakukan dengan perlakuan yang begitu lembut.

"Sorry untuk yang waktu itu. Gue ingin memperbaiki hal itu. Gue sayang sama lo."

Gue memperhatikan dia sejenak. Gue terus memperhatikan paras milik Kevin, di mulai dari mata yang terlihat indah, hidung yang mancung, sampai ke bibirnya. Semua hal itu menjadi pelengkap keindahan wajah Kevin.

Tidak heran jika banyak cewek yang suka pada dirinya. Siapa sih yang tidak suka melihat cowok yang mempunyai paras yang tampan, penampilan yang keren, apalagi kalau mereka tahu Kevin bisa bertingkah lembut.

Sepertinya jumlah orang yang suka pada dirinya akan bertambah saat tahu kalau Kevin mempunyai sifat yang lembut saat sedang bersama dengan pasangannya.

Siapa sih yang tidak ingin mempunyai pasangan seperti Kevin?

Siapa yang tidak ingin diperlakukan dengan perlakuan yang lembut oleh pasangannya?

Sepertinya kebanyakan perempuan juga ingin mendapatkan pasangan yang mempunyai sisi lembut.

Tidak sedikit perempuan yang akan merasa begitu tertekan dan juga tersiksa saat mempunyai pasangan yang terbiasa dengan sikap yang kasar dan tidak bisa bersikap lembut pada pasangannya.

"I really love you."

Dengan seketika sebuah senyuman tercipta di bibir gue. Hati gue merasakan yang namanya kebahagiaan sekarang. Gue susah untuk mengutarakan perasaan bahagia gue.

Sepertinya gue tidak salah menerima kembali dia untuk menjadi pacar gue. Kevin lebih bisa mengerti gue, dibandingkan dengan Lio yang hanya ingin dituruti setiap perkataannya.

"Jangan buat gue merasa menyesal sudah menerima lo kembali."

Kevin menganggukkan kepalanya. "Gue akan membuat lo merasakan yang namanya bahagia saat sedang bersama dengan gue. Gue akan membahagiakan lo, bagaimana pun caranya."

"Terus seperti ini, jangan berubah, apalagi kalau lo berubah kembali seperti dulu. Gue sangat tidak menginginkan hal itu."

Di sini gue mengutarakan apa yang gue inginkan dan juga hal apa yang tidak gue inginkan.

"Iya. Terus bersama dengan gue ya."

Dengan seketika kepala gue mengangguk. Sedari dulu gue memang tidak bisa lepas darinya, karena hal yang membuat hubungan gue dan dia menjadi berantakan juga karena ulah dia, bukan karena ulah gue.

Jika waktu itu dia tidak berbuat seperti itu, mungkin sekarang hubungan gue sudah hampir mencapai usia 3 tahun, tapi tidak ada yang bisa disalahkan. Sepertinya ini memang salah satu takdir dari hubungan gue dan juga hubungannya.

Dalam suatu hubungan tidak ada yang berjalan mulus, karena dalam sebuah perjalanan saja ada begitu banyak rintangan yang ada, apalagi saat dua manusia bersama dalam sebuah ikatan pacaran.

Sungguh bukan hal yang aneh jika di dalamnya diwarnai dengan berbagai perbedaan pendapat, pertengakaran, dan juga perselisihan.

"Setelah ini kita main yuk. Jalan, ke mana aja lo mau. Gue mau menghabiskan hari ini bersama dengan orang yang gue sayang," ucap dia dengan nada yang terdengar begitu santai.

"Lo serius?" Di sini gue merasa sedikit tidak percaya dengan apa yang sudah dia katakan.

Dia menganggukan kepalanya dan disertai dengan sebuah senyuman. "Gue serius. Ke mana pun lo ingin pergi sekarang akan gue temani, asalkan lo merasa bahagia."

Dari cara dia bicara juga gue sudah tahu kalau dia serius akan hal ini, meski sebelumnya gue menanyakan apakah dia serius atau tidak.

Gue masih sulit untuk percaya aja kalau dia ingin menghabiskan waktu bersama dengan gue.

"Ya udah kalau gitu, makasih."

"Makasih untuk apa?" Dia terlihat seperti orang yang kebingungan, padahal gue hanya berterimakasih.

"Makasih udah mau membuat gue merasakan yang namanya bahagia."

Dia mengusap-usap puncak kepala gue dengan perlahan. "Itu tujuan gue. Gue ingin membuat lo merasakan yang namanya bahagia dan tak ingin membuat lo merasakan kesedihan."

Gue bingung harus berucap apa sekarang. Gue kesulitan untuk merangkah kata-kata.

"Perempuan seperti lo memang sudah sepantasnya dibahagiakan dan gak pantas untuk disakiti."

Mendengar kalimat ini membuat gue terdiam dengan pemikiran yang mulai beterbangan. Gue kali ini kembali ingat akan kehidupan gue dalam lingkup keluarga.

Kenyataannya di sana gue jarang dan kesusahan merasakan yang namanya kebahagiaan. Gue lebih sering disakiti, dibandingkan dengan dibahagiakan.









SEKIAN DULU BYE-BYE!

SEE YOU!

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHWhere stories live. Discover now