VII

189 7 0
                                    

Tok tok tok

"Lio."

Gue tidak akan langsung melangkahkan kaki gue ke dalam kamarnya, sebelum gue mendapatkan izin dari dia. Gue gak mau dia marah, dia cukup menyebalkan kalau sedang marah. Iya menyebalkan, karena dia pasti akan memilih untuk menyakiti saat dia sedang marah dan gue tidak ingin tersakiti.

"Masuk," ucap dia dengan nada yang begitu datar.

"Gue pake baju apa? Dress code-nya apaan?" Gue bingung akan baju yang harus gue gunakan, karena sebelumnya dia tidak mengatakan hal apa pun pada gue tentang baju.

"Biasa saja, gak usah pake dress."

"Oh, ya udah."

"Ya."

Setelah itu gue kembali ke kamar gue untuk mencari baju yang gue rasa cocok untuk gue gunakan sekarang. Di sini gue sudah serasa punya lemari sendiri, gue punya banyak pilihan baju di sini. Jadi, gue hanya tinggal mencari baju yang ingin gue gunakan.

Gue gak mau ribet. Gue hanya memilih untuk menggunakan baju kaos pendek berwarna putih dengan celana jeans berwarna navy.

Gue akan lebih nyaman kalau gue hanya menggunakan baju ini, dibandingkan harus menggunakan baju yang ribet, apalagi dress.

Makanya, saat tadi dia mengatakan kalau gue tidak perlu menggunakan dress, gue merasa bersyukur banget. Gue gak perlu ribbet-ribet menggunakan baju yang kurang gue sukai.

Baru saja gue ingin mengangkat tangan gue, tapi gue teringat akan luka yang ada di bahu gue. Luka ini masih sakit.

Gue kembali berjalan keluar. Tujuan utama gue sekarang adalah kembali ke kamarnya. Belum sampai gue di kamar dia, tapi gue sudah melihat dia yang sedang berjalan ke arah gue.

Dia sekarang menggunakan kaos hitam dengan tulisan di tengahnya dan juga menggunakan celana jeans warna hitam.

"Lio."

"Ada apa lagi?"

Sepertinya dia mulai jengkel dengan panggilan yang gue berikan, karena terdengar dari cara dia menjawab sapaan gue dan juga ekspresi yang dia pasang sekarang.

"Perih, gue gak bisa buka baju."

"Mau gue yang buka?" Dia bertanya dengan nada yang begitu enteng, tapi mampu membuat gue membulatkan mata gue.

"Gak, gue gak mau. Gue mengatakan hal ini, karena gue mau menagih janji lo. Mana obatnya?"

Dia memberikan obat yang masih terbungkus oleh plastik bening. Gue menerimanya, tapi gue merasa heran akan sesuatu hal. Tidak ada sedikit pun tanda akan merk dari obat ini. Gue jauh lebih tercengang saat melihat kalau obat ini hanya berjumlah satu butir.

"Kenapa cuma satu?"

"Cukup untuk menahan rasa sakit lo selama 4 jam."

"Empat jam? Sekarang jam sembilan, berarti cuma sampai jam 1 pagi?"

"Selebihnya nikmati saja."

Mata gue membelalak saat dia dengan enteng mengatakan kalau selebihnya nikmati saja. Kenapa dia begitu tega pada gue, kenapa tidak kasih obat dengan dosis yang tinggi sehingga bisa membuat gue tidak merasakan rasa sakit ini dalam jangka waktu yang lebih lama?

"Gue kasih waktu 10 menit. Gue tunggu di bawah."

"10 menit? Gue ganti baju atau apaan cuma 10 menit?"

Gue itu belum merapikan diri gue, terlebih gue harus minum obat dulu, mengganti baju dan juga celana. Manusia macam apa dia? Dia saja ganti baju lama, kenapa saat gue akan ganti baju dia kasih waktu yang singkat?

CINTA ITU SUCI : TRAPPED WITH PSYCHOPATHTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon