52

196 40 9
                                    

"Kamu masih mau bertemu denganku rupanya."

Takemichi berdecih kesal. Dalam jarak yang tidak terlalu jauh, ia bisa melihat sosok pria itu dari belakang. Rupanya masih sama seperti terakhir kali ia tahu, hanya mengenakan setelan berwarna hitam dan sandal jepit. Selalu, selalu seperti itu. Mikey dan kesederhanaannya.

"Aku diculik," ujar Takemichi spontan.

Keheningan yang mendadak buat Takemichi menghela napasnya berkali-kali, ia gusar dan entah kenapa merasa ada yang tidak beres. Padahal hari masih sore, tapi ia merasa sudah terancam hanya dengan berdua bersama Mikey di atas atap sekolah tua ini.

Apa yang salah?

"Takemichi," Mikey membalikkan badan. Ia tatap satu-satunya manusia yang selama ini berhasil memporak-porandakan hati serta pikirannya, "Apa kau membenciku?" tanya Mikey pelan.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Takemichi memilih untuk balik menatap Mikey. Biasanya, hanya ada tatapan memuja dari dua buah bola mata tersebut. Namun, jangankan pancaran kebahagiaan, kini tatapan itu jauh lebih dingin dan menusuk dari yang ia tahu.

"Apa kau perlu jawabannya?"

"Aku mengerti, kau membenciku."

"Hm."

Lagi, perasaan canggung yang tak pernah sekalipun Mikey bayangkan ternyata lebih menyakitkan saat ia tertusuk bilah tajam pisau.

Kedua tangannya meremat satu sama lain, kakinya terasa gatal ingin berlari dan segera merengkuh tubuh itu dalam peluknya. Namun Mikey tidak berani, jika ia melakukan hal itu, ia takut akan semakin melukai Takemichi.

Katakan ia bodoh, dengan gampangnya mengikuti semua permainan konyol yang faktanya saja ia belum jelas benar. Kenapa dirinya harus repot-repot membalas untuk Izana?

Apa dirinya salah?

Detik yang berlalu dan Takemichi masih diam di tempatnya, ia bahkan mengabaikan getar panggilan masuk pada ponselnya. Mungkin itu Chifuyu, mungkin juga orang lain. Ia tidak tahu, karena saat ini Takemichi hanya ingin pergi sejauh mungkin dari Mikey.

"Kapan acara pernikahanmu, huh?"

Mata Mikey melebar terkejut, ia tidak mengira jika kalimat seperti itu yang akan keluar dari mulut tipis milik Takemichi. Lalu sekarang apa yang harus ia jawab?

Karena kenyataannya, ia tidak pernah mau menikahi dan menjalin kasih dengan orang lain selain Takemichi.

"Entahlah, aku tidak mengurusi hal seperti itu. Dan aku juga tidak peduli," sanggahan Mikey terdengar seperti omong kosong. Yang mana menambah rasa kesal di dalam diri Takemichi.

"Brengsek!" Satu lemparan tomat ia arahkan pada Mikey, lalu disusul dengan yang lainnya hingga kantong belanjanya kosong. "Dia akan jadi pendamping hidupmu kelak, setidaknya hargai dia! Apa kau tidak punya otak?"

Amarahnya meledak, mendengar setiap kalimat yang terucap dari mulut Mikey membuat darahnya mendidih. Sekuat tenaga ia tidak berlari guna menerjang tubuh itu, menghajarnya hingga ia menyesal telah lahir di dunia ini. Sialan, Manjiro sialan.

"Tapi aku tidak mencintainya," Mikey menghela napas tertahan. Sesak lagi-lagi ia rasakan, "Maafkan aku. Tolong jangan membenciku, aku mohon."

Takemichi melepaskan nafasnya yang tertahan, untuk sesaat tadi ia lupa cara untuk bernapas. Hari ini belumlah usai, tapi kenapa dirinya merasa sudah tidak kuat?

"Apa maumu brengsek?" umpat Takemichi penuh amarah, "Berikan aku alasan yang tepat sebelum aku mendorongmu jatuh ke bawah, karena sumpah Demi jenggot Neptunus, aku muak mendengar cerita bodohmu itu."

Mikey tidak menjawab apapun, ia hanya sedang mencoba berpikir apa yang selama ini ia lakukan. Baik dari keinginannya sendiri atau mengikuti permainan dari Kokonoi, dan lagi, apa memang itu alasannya?

Matanya terpejam erat, hembusan angin sore ini terasa sejuk. Berbeda dengan dalam dirinya yang terasa panas, mungkin sama halnya dengan pria manis di belakangnya sana. Saat ini Mikey bertanya-tanya, apa yang sedang dipikirkan Takemichi tentang dirinya? Tentang keikutsertaan temannya yang merupakan dalang dibalik ini semua, dan... memikirkan kapan neraka di bumi ini akan berakhir dengan segera.

"Aku—"

Buagh! Suara pukulan yang ia rasakan cukup buat ia terkejut, rasa pusing yang menderanya berlanjut dengan tarikan yang membuatnya berhadapan dengan Takemichi. Biru bertemu hitam, dua kelereng yang menyejukkan hatinya akhirnya kembali menatapnya. Mikey senang, tentu. Terlampau senang hingga ia tidak sadar jika tubuhnya telah dijadikan samsak tinju oleh Takemichi.

"Aku ingin menghajarmu, tapi jangan beritahukan hal ini pada anak buahmu. Karena aku pasti akan langsung dicari," terdengar polos namun penuh ancaman. Hal yang selalu ia katakan pada siapapun dengan beberapa penyesuaian, "Aku akan bertanya satu hal yang sangat mengusikku."

Mikey tidak bergerak, ia terlalu pasrah dengan segala caci maki dari seorang Takemichi. Rasanya juga ia tidak ingin menghabiskan hidup dengan penuh kebohongan, ia menyesal namun sepertinya sudah terlambat.

"Dengarkan aku Manjiro, mulai detik di mana kamu menyakitiku maka itu adalah awal kehancuran kalian. Aku tidak akan ragu untuk menghancurkan Bonten dan juga kau," Takemichi menghirup napas secara rakus. Matanya menatap tajam pada Mikey yang sudah kehilangan asa untuk hidup, "Hiduplah terus dalam penyesalan dan kegagalanmu. Baik dulu atau sekarang, kau memang tidak pernah berubah."

Disentaknya keras tubuh lemah Mikey ke atas tanah, dengan napas yang memburu ia menendang wajah Mikey beserta perutnya. Tidak ada rasa kasihan untuk kali ini, Takemichi sudah memutuskan hal yang akan ia lakukan untuk nanti. Sekalipun ia harus berpisah dengan Manjiro, maka akan ia lakukan.

"Selamat tinggal, Mikey."








Halo, lagi!

Aku sedih grgr ada beberapa pembaca yang gak bisa baca chapter tertentu karena tampilan jadi kotak2. Maafin aku😭 seharusnya aku edit-nya di sini dan gak pake keyboard bawaan, maafkan diri ini🙏

Jika ada typo akan diperbaiki nanti, sekian terima Inupi💕

Wabi-Sabi [MAITAKE]Where stories live. Discover now