42

206 38 5
                                    

Takemichi melenguh merasakan sakit pada perutnya, ia terbatuk dan hampir tumbang jika saja tidak ada tangan besar yang menariknya berdiri dengan kasar.

Lagi, suara tulang retak dan pukulan pada wajahnya bertambah banyak saat orang yang tidak ia kenali ini tiba-tiba saja menghajarnya. Seharusnya ia bisa melawan, tapi karena salah satu dari mereka memberikannya obat pelumpuh, Takemichi hanya bisa pasrah menerima setiap pukulan mereka.

Setidaknya ia bisa menyuruh Hinata pergi terlebih dahulu, jika perempuan itu berbaik hati dan ingin menolongnya, mungkin saja Hinata akan kembali dengan polisi atau siapapun itu. Karena sumpah, ini sakit sekali.

Di ujung jalan kumuh dan sepi itu, Takemichi dihajar tanpa ampun. Lima lawan satu, terdengar sangat tidak adil tapi inilah kejamnya dunia. Ia berani bersumpah jika hari ini Takemichi tidak menganggu siapapun, masalahnya sudah terlalu banyak dan jika ia menambah masalah lagi—entahlah, Takemichi tidak ingin memikirkan itu.

"Sayang sekali bos hanya menyuruh kita menghajarnya sampai pingsan, padahal aku ingin mencoba mencicipinya."

Ungkapan salah satu preman tersebut membuat Takemichi merinding takut, ia hanya bersimpuh di atas aspal yang bau dan memandangi mereka dari bawah sini.

"Kau benar, tapi mereka tidak akan tahu jika kita melakukannya. Iya, kan?"

Gelak tawa bercampur dengan umpatan kasar, lima preman tersebut saling melemparkan isi dari otak kecil mereka dan menemui satu kesamaan, yaitu; 𝘢𝘺𝘰 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘴𝘪𝘬𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘭𝘢𝘮𝘢.

𝘏𝘢-𝘩𝘢, 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘣𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘯𝘪.

Baiklah, mungkin ini akan menjadi akhir hidupnya. Sore hari yang indah untuk mengakhiri nyawanya sendiri, benar, Manjiro?

Tidak! Enak saja ini akhir hidupnya, keinginannya untuk slebew bersama kak Manjiro belum terwujud. Mengelilingi dunia dengan 𝘵𝘩𝘰𝘶𝘴𝘢𝘯𝘥 𝘴𝘶𝘯𝘯𝘺 juga belum kesampaian, dan lagi, kalah dengan para preman ini membuat harga dirinya sakit.

Jadi, dengan sisa tenaga yang tidak seberapa itu, Takemichi menendang salah satu preman yang tengah duduk di atasnya. Berhasil, yang mana buat para preman tersebut terkejut dan membantu temannya untuk berdiri.

Takemichi menggunakan kesempatan itu untuk beringsut mundur ke belakang, ia abaikan rasa sakit yang mendera tangannya yang bergesekan langsung dengan aspal. Dengan susah payah, ia mencoba untuk bangkit walau gagal.

Lagi, ia gagal. Tubuhnya ditarik dan dibanting ke bawah dengan kencang, ia menjerit tertahan merasakan sakit pada bagian punggung dan kepalanya. Setidaknya tubuhnya sudah tidak kaku seperti tadi, ia bisa menggerakkan tubuhnya sedikit demi sedikit untuk menghindar.

"Ba-bajingan, jangan sen-sentuh aku brengsek!" Takemichi menjambak rambut salah satu preman tersebut, setelahnya ia mencolok kedua mata tersebut hingga buat preman tersebut berteriak kesakitan.

Takemichi yakin jika ini memang hari akhirnya, ia bisa melihat moncong pistol revolver yang tertuju padanya. Ia pasrah, tenaganya terlalu banyak terbuang hari ini.

Bagai gerak lambat, Takemichi menutup matanya saat mendengar suara tembakan terdengar. Ia bertanya-tanya tentang rasa sakit yang akan ia terima lagi hari ini, mungkin rasa sakitnya akan berkurang atau mungkin rasa sakit itu tidak pernah datang.

Apa, tunggu?

Benar, saat Takemichi membuka matanya hal yang pertama ia lihat adalah sosok preman yang hendak menembaknya tadi sudah jatuh tengkurap di atas aspal. Ia masih terkejut, ditambah ada suara tembakan yang saling bersahut-sahutan buat Takemichi menutup kupingnya dengan tangan yang sedikit gemetar.

"Takemichi, aku menemukanmu."
.
.
.
.
.
𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐬𝐢𝐥𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧...

Wabi-Sabi [MAITAKE]Where stories live. Discover now