21

357 55 0
                                    

Takemichi terbangun saat mendengar suara gerimis hujan di luar, ia menggeliat pelan dan mulai merapatkan dirinya pada sumber kehangatan yang berada tepat di sampingnya.

Ini sangat nyaman, terlalu nyaman hingga ia merasa ada yang salah. Terakhir kali ia merasakan hangat adalah saat dirinya bersama kekasihnya, tapi bukankah kekasihnya itu sedang berada jauh di sana dan dirinya berakhir menjadi korban penculikan?

Ia bahkan masih ingat dengan jelas, tatapan penuh nafsu yang ia dapatkan dari para pengunjung hari itu. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan dirinya hanya karena satu rumor yang tidak jelas, aneh memang tapi itu kenyataan.

"Kamu sudah bangun."

Eh?

"Aku tidak," Takemichi berbalik memunggungi Manjiro. "Jangan ajak aku bicara, aku lelah."

"Mana ucapan terima kasihku?"

Takemichi berbalik, ia memandang pria berambut putih tersebut dengan wajah masamnya. Bibirnya menggerucut dengan matanya yang menyipit tajam, "apa kau membunuh mereka?"

Manjiro tidak menjawab, ia memilih mengabaikan Takemichi dan beralih sibuk dengan tablet miliknya. Jarinya menggulir layar tablet dengan cekatan, sesekali ia akan berhenti guna membaca setiap kata yang ada pada halaman kerjanya.

"Baik— terima kasih karena telah menyelamatkan manusia bodoh satu ini— tuan Sano, aku sangat mencintaimu."

Satu sentilan kencang mendarat pada keningnya, Takemichi mendesis sakit merasakan kekuatan dari seorang Sano Manjiro. Dulu memang ia terbiasa, tapi sekarang—yah lupakan itu, lagian itu juga tidak penting.

"Kak, aku udah jadi anak baik. Aku anak baik untuk kakak seorang, jadi—"

"—berisik. Aku sedang kerja, diamlah dan makan sarapanmu."

"Ya Tuhan, kenapa aku punya kekasih manusia bernama Sano Manjiro?"

                             »»——⍟——««

Takemichi tersenyum masam pada anggota Bonten yang ada, ia merasa tidak nyaman jika harus satu ruang bersama manusia yang membenci dirinya. Terlebih lagi Sanzu, ah, jika tatapan mata bisa membunuh, maka ia yakin jika dirinya sudah berakhir dengan memeluk tanah di bawah sana.

Haitani Rindou melirik pada seluruh anggota, sebentar lagi pertemuan dengan kelompok lain akan segera dilaksanakan tapi dengan hadirnya Takemichi di sisi sang ketua, entah kenapa dirinya bisa merasakan hal buruk.

Terlalu buruk hingga ia tidak bisa berkata lagi.

"Ketua, jalang kecil ini—kenapa dia di sini bersama kita?"

Takemichi mengakui keberanian dari seorang Sanzu, sepertinya dia tidak takut mati dengan menyebut kata terlarang tersebut di depan ketua dan dirinya sendiri. Yah, dia sih tak masalah, selama dia menjadi jalang satu-satunya ketua Bonten, maka dia akan menerima dengan lapang dada.

"Sanzu—"

"Dia sekretarisku, ada masalah?"

"Ketua, tapi Rindou sudah lebih dari cukup."

"Rindou sekretaris Bonten," Mikey melirik pada Takemichi, "diamlah."

"Ayolah, jangan begini sobat. Dan Mikey, lepaskan tangamu sebentar saja, aku tidak akan pergi."

Sebagian para anggota dunia bawah yang telah berkumpul hanya bisa terdiam dalam keheningan, mereka tidak berani berbicara atau sekadar melihat pada kelompok Bonten.

Hanya saja, tatapan mereka tidak bisa lepas dari sosok pria mungil yang sedari tadi berada di sisi ketua Bonten. Tubuh kurus berbanding terbalik dengan pipi gembilnya, tak jarang sang ketua Bonten mencuri cium pada ujung bibir pria tersebut.

Satu pertanyaan yang sama melintas dalam hati mereka, 'siapakah sosok berambut kuning emas tersebut?'

Saat pintu terbuka, seluruh atensi berbalik menghadap siapapun itu yang masuk. Dengan langkah jumawa dan tatapan merendahkan, South Terano memasuki ruangan yang akan mengadakan rapat tahunan tersebut.

Mata hitamnya memindai setiap mahluk yang ada di sini, lalu pandangannya berhenti tepat pada sosok yang sedang beradu pandang dengan salah satu anggota Bonten.

Ah, sekalipun kelinci kecilnya merubah warna rambut, ia selalu bisa mengenali sosok tersebut.

𝐍𝐨𝐭𝐞:

𝐈𝐧𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚, 𝐦𝐚𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐮 𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐢𝐧𝐢. 𝐖𝐤𝐰𝐤😌

Wabi-Sabi [MAITAKE]Место, где живут истории. Откройте их для себя