48

192 41 7
                                    

"Aku kira itu hanya dongeng sebelum tidur."

Terano tertawa kencang setengah sadar, ia meneguk wine miliknya yang tinggal setengah tersebut. Matanya nyaris terpejam saat ia tidak merasakan hembusan napas hangat dari manusia di sebelahnya, ia gapai tubuh itu dan memeluknya lebih kencang.

"Tapi nyatanya ada kau di sini," Terano meletakkan gelasnya di meja sampingnya. Ia tepuk tubuh Takemichi pelan dan menggumamkan sebuah lagu, "Menurutmu apa yang akan dilakukan si bocah tikus itu jika melihatmu sekarang?"

Takemichi mendengus pelan, ia mencari posisi ternyaman yang bisa ia dapatkan. Ternyata saling memeluk satu sama lain sangat menyenangkan, dan ini juga bisa membuat dirinya sedikit lebih tenang.

"Lupakan tentangnya, aku sedang mencoba berdamai dengan perasaan dan jiwaku. Ya Tuhan, kenapa aku sangat melankokis?"

Takemichi meringis dalam diam, sesak kembali menyapa dirinya. Ia tidak habis pikir, kehilangan seorang Sano Manjiro bisa menyebabkan dirinya terluka seperti ini. Ia juga yakin, saat keluar dari hotel kemarin dirinya telah melakukan hal aneh. Tapi sialnya saja ia tidak ingat apapun.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Sejujurnya Takemichi juga tidak tahu, ia terlalu sibuk memikirkan perasaannya hingga melupakan hal terpenting dari itu semua. Ini bukan hanya tentang bagaimana ia dan perasaannya hancur, tapi juga tentang bagaimana ia bisa menyembuhkan dirinya yang telah rusak.

Ada pikiran jahat yang melintas tentang membalas dendamnya, atau mungkin membiarkan semuanya hingga waktu bisa membuatnya lebih baik. Tapi untuk opsi ke-dua, ia merasa itu bukanlah hal yang adil. Ia di sini, dengan perasaan yang hancur dan perlahan merenggut sisi warasnya. Jadi ia tidak akan heran, jika suatu saat nanti ia bisa melancarkan aksi membunuh seseorang dengan alasan konyol.

Berbicara tentang membalas dendam, Takemichi sangat ingin melakukannya. Ia juga ingin menghancurkan Manjiro sebagaimana ia menghancurkan dirinya, katakanlah ia jahat atau apapun itu, tapi sungguh ia tidak perduli. Mengingat dirinya bukanlah orang pemaaf, tapi ia juga bukan seorang pendendam hebat. Hanya saja, untuk alasan satu ini—mungkin ia bisa mempertimbangkan ulang.

Takemichi memilih melepas pelukan mereka, ia bangkit dari duduknya dan memilih berbaring nyaman di atas sofa. Matanya menatap langit-langit ruangan yang berhiaskan lukisan entah apa itu, ia menimbang dalam hati tentang hal yang harus ia lakukan. Takemichi tidak ingin salah langkah, nyawa yang ia miliki hanya satu dan lagi ia juga tidak cukup pintar.

Ah, seandainya saja dia memiliki kemampuan seorang Holmes.

"Aku... jika aku memilih untuk membalas perbuatan mereka, aku membutuhkan bantuan dari orang lainnya." Takemichi berujar sembari menatap Terano yang balas menatapnya heran.

Apa pertanyaan darinya terdengar aneh?

Rasa kantuk nya hilang, kini yang ada hanya perasaan antusias yang membuncah. Entah kenapa pernyatan Takemichi terdengar seperti pernyataan sebuah perang, "𝘞𝘦𝘭𝘭, biar aku membantumu."
.
.
.
.
.

𝐒𝐞𝐝𝐢𝐤𝐢𝐭 𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐢𝐧𝐢, 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐛𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐩𝐚 𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢. (𝐌𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧) 𝐝𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐤𝐞𝐭𝐚𝐡𝐚𝐩 𝐢𝐧𝐢 𝐚𝐣𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐤𝐞𝐚𝐣𝐚𝐢𝐛𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐢𝐧𝐢 😭 𝐬𝐨𝐫𝐫𝐲 𝐥𝐞𝐛𝐚𝐲, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐮𝐬 𝐝𝐞𝐡, 𝐛𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐩𝐚 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐤𝐮 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐠𝐚𝐤 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐡𝐞𝐧𝐭𝐢 𝐝𝐢 𝐭𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧.

𝐃𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐦𝐞𝐥𝐮𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐢𝐧𝐢, 𝐦𝐚𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐞𝐭 𝐩𝐨𝐤𝐨𝐤𝐧𝐲𝐚. 𝐀𝐤𝐮 𝐭𝐚𝐡𝐮 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐢𝐧𝐢 𝐠𝐚𝐤 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐩𝐚, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐢𝐤 𝐡𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐮 𝐛𝐚𝐜𝐚 💕

𝐒𝐞𝐤𝐢𝐚𝐧 𝐜𝐮𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐚𝐲𝐚, 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐭𝐲𝐩𝐨 𝐝𝐬𝐛, 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐛𝐚𝐢𝐤𝐢 𝐧𝐚𝐧𝐭𝐢. 𝐎𝐤𝐞, 𝐧𝐚𝐧𝐭𝐢...

𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐬𝐢𝐥𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧...

Wabi-Sabi [MAITAKE]Where stories live. Discover now