38 | Rasa Khawatir

6.6K 645 39
                                    

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Samuel berjalan memasuki rumahnya dengan langkah lebar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Samuel berjalan memasuki rumahnya dengan langkah lebar. Mimik wajahnya begitu serius. Ia membuka pintu ruang kerja sang Papa dengan sedikit keras.

"Pah! Kenapa Papa biarin Raga pergi membawa anak itu?" serunya begitu menghadap sang Papa.

Feliz berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke depan meja kerja miliknya dan bersandar di atasnya.

"Berapa anak buah kamu yang tersisa dari sana?" Feliz bertanya dengan topik lain. Tak menyawab pertanyaan yang diajukan Samule tadi.

Samuel mengernyit tak mengerti. Tapi seingatnya hanya sedikit yang selamat. Karena hampir semua anak buahnya dan anak buah sang Papa tewas karena tembakan brutal dari hutan. Oh, bicara tentang itu. Siapa sebenarnya yang membantu Raga tadi?

"Hanya sedikit yang selamat" jawab Samuel.

Feliz menghela nafasnya. "Ini salah Papa. Rencana yang Papa buat kurang matang"

"Maksud Papa?" tanya Samuel tidak mengerti.

"Yang menembaki kalian tadi adalah 'mereka'. Mereka melakukan itu agar Raga bisa membawa anak itu pergi"

Samuel terkejut. "Jadi, mereka benar-benar datang?"

"Ya"

...

Wiku telah mencari Alta kemana-mana dan ia tak menemukan Alta di manapun. Saat ini Wiku tengah berada di rumah Alta. Tengah malam mengganggu waktu tidur orang untuk bertanya di mana Alta. Wiku harus dikecewakan oleh jawaban Mama Alta yang bilang kalau Alta belum pulang.

Kenapa juga tadi Raga bilang kalau Alta dalam bahaya. Dirinya menjadi panik sendiri. Dan sekarang ia benar-benar khawatir. Wiku hanya bisa terduduk di depan rumah Alta tanpa melakukan apapun. Ia tak tau harus mencari Alta ke mana lagi.

Di tengah kekalutan Wiku yang semakin besar, Raga meneleponnya. Wiku buru-buru mengangkat telepon tersebut tanpa pikir panjang.

"Hal—"

'Lo cepet datang ke gang dekat sekolah sekarang juga! Jemput gue sama Alta'

Wiku refleks berdiri begitu Raga menyebut nama Alta. "Apa? Alta udah ketemu?"

'Ya! Cepetan kesini. Bawa mobil!'

Telepon dimatikan secara sepihak.

"Woy, setan! Hobi banget nyuruh-nyuruh sama matiin telepon"

[BL] 1; Another Pain | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang