17

3.6K 225 0
                                    

"Gak bisa diundur lagi, Kak?"

"Engga bisa, Aya. Kakak harus berangkat saat ini juga."

"Gak bisa siang aja, Kak?"

Arya menggeleng. Hal itu membuat bibir Aya maju 5 senti, sebagai protes tak terima.

"Yaaa, gak bisa dong antar kakak ke bandara," keluh Aya.

"Gak apa-apa, ada Bunda kok."

"Tapi Aya gak liat Kakak." Kedua bola mata Aya berkaca-kaca, seakan tidak ingin melepas kepergian sang Kakak.

"Udah jang nangis, nanti diliat teman-teman kamu, apa kata mereka nanti kalau liat seorang Aya yang ceria ini menangis di halaman kampus? Hmm?" ucap Arya mengelus puncak kepala Aya.

"Kakak Arya gak lama kan di sana?"

"Enggak kok, kalau urusan bisnisnya udah kelar, Kakak balik."

"Kakak hati-hati ya di sana." Aya memeluk erat kakaknya.

"Iya, Sayang." Arya membalas pelukan sang adik. "Kakak akan hati-hati seperti pesan adik manisnya Kakak, lanjutnya secara melepas pelukan mereka.

"Jadi jang nangis lagi ya?" Arya menghapus air mata Aya yang sempat jatuh.

Aya mengangguk, "Iya," jawabnya.

Usai menghapus air mata Aya, Arya melihat jam tangannya. Di sana telah menunjukkan angka 7.45. Lima belas menit lagi kelas Aya akan dimulai dan sejam lagi Arya akan berangkat.

Suasana kampus semakin ramai dengan mahasiswa yang masuk pagi hari ini, membuat adegan haru-biru adik-kakak di halaman kampsu itu semakin mencolok.

"Kalo gitu, Kakak balik ya, Bunda keknya udah nunggu di rumah," pamit Arya.

"Iya."

Bersamaan dengan itu, sebuah mobil terparkir tepat di samping mobil Arya membuat Arya urung masuk ke dalam mobilnya. Ia kenal pemilik mobil itu.

Saat pemilik mobil itu keluar, langsung saja Arya menyungging senyum yang mana segera mendapat balasan.

"Hai, Bro! Ngapain di sini?" tanyanya.

Belum sempat Arya menjawab, ia kembali membuka suara, "Oh ngantar adek lo ya?" tebaknya saat melihat gadis yang sangat ia kenal berdiri tak jauh dari Arya dengan penampakan yang amat mengerikan alias wajah pucat habis menangis.

"Iya nih, Bro."

Lelaki itu mengangguk mengerti. "Tapi kok rapi amat? Mau pergi ke mana emang?"

"Ah, ini mau ke Singapur."

"Jadi lo langsung setuju aja nih sama perintah Papi?"

"Hmm, ya begitu deh. Lagian yang bisa hendel di sana cuma gua."

"Hmm, gak heran sih. Lo kan orang kepercayaan Papi gua, Rya."

"Biasa aja, Bro. Btw, gua pamit dulu ya. Udah keburu nih," pamit Arya.

"Oke oke. Tiati, Bro."

"Sipp.."

"Ya, Kakak berangkat ya. Belajar yang bener. Oke?"

"Iya, Kak," ucap Aya melemah.

Belum sempat Arya membuka mobil, ia kembali lagi menghadap Aya dan lelaki itu. "Oh ya, gua hampir lupa."

"Ya, lupa apa, Bro?"

"Lo jangan lupa jagain adek gua ya? Ya, meski kalian cuma tunangan bohongan, tapi demi kelancaran sandiwara lo di depan Papi lo. Lo harus tepati juga janji lo. Oke?" bisik Arya.

"Oke, Bro. Soal itu aman," balasnya.

Arya pun tersenyum lega. Langsung saja ia masuk dan menyalakan mobilnya meninggalkan halaman kampus setelah membunyikan klakson dua kali. Sementara Aya yang sedari tadi melihat acara bisik-berbisik itu tak ia pedulikan. Toh, apanya yang mau dikepoin, bukankah ia sudah tahu maksud dari hal itu meski pun tak diberitahu secara langsung.

Ya, Arya memang sudah tahu perihal tunangan bohongan itu. Dan ia tak mempermasalahkannya. Anta adalah sahabat baiknya, dan jelas ia tahu alasan mengapa Anta harus melakukan hal tersebut, sementara Aya adalah adik satu-satunya yang kelewat manja. Dengan adanya situasi tersbeut, ia bisa menitipkan Aya pada Anta saat ia tak ada seperti saat ini. Ia yakin Anta akan menjaga Aya sebagaimana pesan Arya.

"Napa lo senyum-senyum?" tegur Aya saat mendapati Anta senyum-senyum tak jelas selepas kepergian kakaknya.

"Emang gak boleh? Senyum itu kan ibadah."

Aya tak merespons, ia malah meninggalkan Anta di halaman kampus.

"Hari ini yang ngajar jam pertama di kelas lo, gua kan?" tanya Anta yang berhasil menyusul Aya di lorong kelas.

"Menurut Bapak? Dosen yang seenak jidatnya pindah-pindahin jadwal kuliah siapa?"

"Hmm, keknya bukan gua deh. Gua kan ada alasan mindahin jadwal kuliah."

Aya mendengus mendengar jawaban Anta. Dasar Dosen Gak Peka!

"Lo kenapa belok? Bukannya di lantai 2?"

"Selain jadwal, bukannya bapak juga mindahin ruangannya ke ruang perpus?"

"Oh iya, maaf saya lupa."

Aya melihatnya jengah. "Dasar Dosen Tua! Selain tukang ngatur-ngatur juga tukang pikun," gumamnya.

"Ngomong apa, Aya?"

"Gak ada apa-apa kok, Pak. Tadi cuma mau bilang Pak Anta hari ini penampilannya keren, tapi malu. Hehehe."

"Ohh jelas dong, terlebih lagi jalannya sama tunangan. Iya kan?"

Saat Anta mengucapkan kalimat tersebut, saat itu pulalah Aya menyesali pujiannya bohongannya. Rasa-rasanya ia ingin muntah seketika.

Tunangan apanya? Ini Cuma bohonganya ya, Pak! Jang GR deh!

Ooo

Dosen Pak Setan! || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang