42

14.5K 1K 5
                                    

Tak terasa waktu terus bergulir. Kini usia kandungan Dara sudah tujuh bulan. Perut ratanya kini sudah membuncit. Tapi jangan ditanya manjanya, semakin menjadi. Untung saja Dirga suami yang sabar dan baik hati. Telaten saja menuruti permintaan Dara yang aneh-aneh. Dari mencarikan katak dan harus Dirga sendiri yang menangkapnya. Meletakkan di sebuah akurium kosong, lalu di telatakkan di kamar mereka. Dirga yang sebenarnya jijik hanya bisa menelan saliva. Mau tak mau dia mengabaikan rasa jijiknya. Bahkan dia sampai ke dokter kulit gara-gara tangannya dikencingi katak yang berhasil di tangkapnya.

Dara juga pernah minta seisi kantor memakai aksesoris ala-ala ospek. Memakai tali rafia sebagai pengganti gantungan name tag mereka. Lalu memakai topi kertas karton dibuat kerucut untuk topi mereka. Pokoknya ada-ada saja keinginan Dara yang membuat Dirga tak habis pikir. Tapi demi tak ingin anaknya ileran, Dirga menuruti semuanya.

Tapi syukurlah diluar permintaannya yang aneh-aneh itu, tak ada kendala yang lainnya. Bayi dan ibunya sehat. Dirga dan Dara sengaja tak memeriksakan jenis kelamin sang bayi. Supaya menjadi kejutan mereka nanti. Sungguh, keluarga bahagia (bagi Dara).

"Sebentar lagi kamu akan jadi ibu," ucap Dirga, mengelus perut buncit itu.
"Lah, yang ngomong juga bentar lagi jadi bapak."
Dirga melirik ke atas. Mendesah pelan. Lalu keduanya tertawa. Masih saja saling jahil.

"Sudah sana. Mandi. Kasihan anakmu membaui keringat papanya."
"Gak papa. Selama mamanya betah. Baby  juga gak protes tuh."
"Ih, protes tahu," sungut Dara.
"Tahu darimana, hm?"
"Coba deh deketin telingamu disini," tunjuknya ke perut buncitnya. Dirga menurut. Menempelkan telinganya ke perut Dara. Sesaat alisnya mengernyit terpaut.
"Gimana? Denger kan? Dia aja sampai nendang-nendang. Protes itu tuh."
Dirga terkekeh. Mengelus lembut perut buncit itu dan menciuminya.
"Maafkan papa sayang. Oke deh, papa mandi. Jangan nakalin mama ya. Entar kalau ngambek yang repot papa loh. Kasihan kan papa?" Berasa curhat dengan baby-nya. Padahal yang jadi objek curhatan berada di depannya.
"Haha. Udah sana. Belum nyari kado buat Nana loh."
"Iya sayang. Aku mandi dulu ya, bye."

Dirga melenggang masuk ke kamar. Pria itu memang baru pulang dari kerja dan seperti biasa, langsung menyapa baby mereka. Dara melanjutkan ngemilnya. Memang, kehamilannya ini membuatnya banyak makan. Wajar saja kini dia agak gemukan. Selain karena perutnya yang membuncit, dia juga gemuk di bagian lain.

Besok Nana menikah. Pasangannya Dara belum pernah bertemu. Dia jadi penasaran. Karena selama ini Nana tak pernah kelihatan dekat dengan pria. Eh, tiba-tiba saja mengirim undangan pernikahan. Menyebalkan sekali dia.

Dara beranjak dari duduknya. Kini langkahnya lebih berat dari dulu. Jalannya pun membusung. Tentu saja, itu karena jabang bayi di dalam sana tumbuh dengan sehat.

"Eh, Non. Biar bibi saja yang cuciin piringnya. Sini?"
"Gak usah, Bi. Cuma sebiji doang kok. Gak papa. Bibi lanjut nyapunya aja."

Memang, Dara kini mulai menyentuh urusan dapur. Dia juga belajar masak dengan bi Ijem. Sesekali memantu, meski untuk hasil akhir tetap bi Ijem yang mengerjakan. Daripada tidak bisa dimakan sama sekali bukan? Misalnya karena keasinan atau malah kemanisan.

Selesai mencuci piring. Dia menyusul Dirga ke atas. Rupanya pria itu sudah selesai mandi. Dara memalingkan wajahnya. Entahlah, dia tetap belum terbiasa dengan penampilan yang diberikan Dirga padanya. Dirga pun paham. Tapi tetap saja dia tak mau merubah kebiasaannya. Ganti pakaian di kamar, atau bahkan kadang melepas bajunya juga di kamar. Hanya menyisakan celana hot pans atau kadang kolor. Sengaja. Lama-lama juga Dara akan terbiasa padanya.

Dara duduk di kursi dengan memainkan ponselnya sembari menunggui Dirga selesai dandan. Harum parfum menyerbak menyapa cuping hidungnya, barulah dia menoleh. Dirga memakai kaos putih dengan luaran kemeja yang dia biarkan tanpa kancing. Rambutnya pun sedikit dia acak. Dasar calon bapak gak sadar diri. Lupa umur kali ya. Untung saja penampilan itu masih pantas untuknya. Dirga memang tampan. Jadi dengan style apapun dia pantas.

"Udah kan, ayok," ajak Dara dan beranjak.
"Loh, mau gitu aja?"
"Iyalah. Mau gimana emang?" tukasnya santai. Dirga menghela napas. Akhir-akhir ini Dara enggan berdandan. Entah karena bawaan bayinya, atau bagaimana. Dirga tak paham juga. Untung saja istrinya ini meski tanpa make up tetap menawan.
"Tidak apa. Ayo," ajaknya merangkul pinggang Dara.

*******

"Kamu disana aja," sorong Dara, mengusir Dirga keluar toko.
"Lah, emang mau beli apa sih, Yang?"
"Ya kado. Tapi kamu diluar aja. Ganggu tahu..."

Dirga menggaruk tengkuknya. Apa salahnya coba. Sampai diusir begini. Tapi daripada wanita hamil itu ngambek, dia nurut juga.
Berdiri diluar salah satu toko di mall. Melamun sembari mengamati orang yang berlalu lalang. Dirinya persis seperti orang ilang.

"Loh, pak Dirga..."

Dirga menoleh. Linda. Pria itu tersenyum tipis.
"Belanja, Lin?"
"Iya pak. Biasalah. Keperluan bulanan. Hehe."
Dirga manggut-manggut. Melirik kantong belanjaan Linda. Banyak juga.
"Sendirian pak?" tanya Linda karena tak melihat orang lain disisi bossnya.
"Sama istri dong."
"Oh, terus bu Daranya mana?" Linda mengedarkan pandangan, karena tak kunjung menemukan wanita yang dimaksud.

"Ada. Di dalam dia."
Bibir Linda membentuk bulatan. Selintas melirik butik itu. Pantas saja. Toko pakaian wanita. Tapi, masak sih bu Dara masih malu membeli pakaian dalam padahal dengan suami sendiri, batin Linda.

"Kalau begitu, saya permisi dulu pak," pamitnya.
"Oh, iya, Lin."

Dirga menatap kepergian Linda. Dan saat itu Dara keluar.

"Segitunya mandangin cewek. Cantik banget ya?"
Dirga tersentak, menetralkan kekagetannya dengan senyum lebar.
"Sudah belanjanya sayang?"
Dara menirukan ucapan Dirga dengan gerak bibir tanpa suara. Lalu melengos pergi.  Dirga cepat menyusulnya.

"Astaga sayang... dia itu Linda. Masak kamu cemburu sama sekretarisku?"
"Siapa yang cemburu? Geer amat," ketusnya.
"Laa... itu tadi?" Dirga jadi bingun kan...
"Apaan sih. Gak jelas. Kalau marah sana ikutin cewek tadi."

Nah kan, salah lagi. Dirga akhirnya memilih diam. Tapi tangannya meraih jemari Dara, meski berkali-kali ditolak, dia tetap menariknya. Menggenggamnya erat dengan kedua tangannya. Nyerah juga akhirnya Dara. Mereka keluar toko tanpa banyak kata.

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Where stories live. Discover now