24

20.7K 1.3K 5
                                    


"Jangan dekat-dekat," sentak Dara. Begitulah dia. Sensi sekali dengan suami sendiri. Setiap kali dia melihat Dirga berjalan menghampirinya, dia langsung mengusirnya. Padahal masih setengah hari loh. Tapi mereka sudah seperti Tom dan Jery. Bukan saling memangsa, melainkan saling bertengkar. Sejak kapan sih tikus dan kucing mainnya kejar-kejaran mulu? Si kucing gak ngiler kah melihat badan si tikus yang menggoda?
Eits... ngapain bahas kucing sama tikus?

"Sini, nak. Dekat mama saja." Mama menepuk kursi sebelahnya. Alias diseberang Dara. Mereka berseberangan.
Mata Dara mendelik. Lah, kok?
"Ma," rengeknya tak terima. Dirga tersenyum penuh kemenangan. Mengejek menyebalkan. Lalu meletakkan pantatnya di kursi. Dekat mama mertuanya.
"Kamu itu kenapa toh? Wong sama suami sendiri kok galak."
"Dia nyebelin, Ma," ketusnya.
"Nyebelinnya kenapa, hm?"
Dara kicep. Mana mungkin dia menjelaskan kejadian malam itu. Yang ada mama justru dukung Dirga. Orang yang godain duluan memang dia.
"Sudah... sudah. Mama putusin sehari saja kalian disini. Selebihnya kalian bicarakan baik-baik di rumah."

Dara mempoutkan bibirnya. Melipat tangan dan membuang pandangan, kesal. Sementara, tahulah bagaimana ekspresi Dirga. Dia mah santuy.

"Iya, Ma. Niat Dirga kesini kan buat jemput Dara lagi," tukasnya dengan suara sok lembutnya.
Terserah! Terserah! Semua orang memang menyebalkan. Dan lihatlah sekarang, dirinya bagai tak ada. Dianggurin. Mama dan Dirga ngobrol sendiri. Ketawa-ketawa berdua. Dan Dara gak diajak serta. Hiks.

Karena kesal, Dara melenggang pergi ke kamar. Dan dua orang itu kompak mengarah ke gadis itu. Lalu saling pandang.

******

Disini Dara sekarang. Salon Beauty and Care miliknya. Tentu setelah dia kabur dari situasi menyebalkan tadi. Tak peduli dengan panggilan mama atau tatapan diam Dirga. Bodo amat. Salah sendiri dirinya dianggurin.

"Huft..."

Dara menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Nana yang sedang mengecek persediaan make up.

"Loh, mbak. Kapan datang?" Nana tidak menyadari kedatangan gadis itu. Tiba-tiba saja sudah ada di sampingnya. Tentu dia kaget. Derap langkahnya saja loh, dia gak mendengarnya.

"Lo gak lihat, gue baru datang, huh?" jawabnya kesal. Nana maklum, pasti boss wanitanya ini sedang sensi. Menyudahi pekerjaannya dan duduk di kursi dekat Dara.

"Mbak mau..."
"Enggak. Gue mau nenangin pikiran aja," sambungnya cepat. Nana mengangguk. Baru saja mulutnya hendak membuka lagi, langsung disambar lagi oleh Dara.

"Coklat panas sama waffle depan sana. Cepet."

Nana menggaruk kepalanya. Duh, padahal dia baru saja mau menawari. Baiklah, coklat panas. Pengembali mood.

Setelah Nana pergi. Dara diam-diaman. Bersandar di sofa nyaman dengan mata memejam. Lama-lama kepalanya pening. Padahal ini juga kan akibat ulahnya sendiri. Tapi, rasanya dia juga yang tak terima.

Ponselnya bergetar. Dara meraih tas yang dia letakkan asal tadi. Mengambil ponsel di dalamnya. Dirga. Ck. Mau apa lagi sih pria itu. Akhir-akhir ini selalu saja mengusiknya. Dara menekan tombol ke atas.

"Halo, aku sudah di depan salonmu sekarang."

Mata Dara membulat. Astaga! Apalagi sih?

"Ngapain sih lo ganggu mulu."
"Ngomelnya nanti lagi ya? Capek di liatin sama karyawanmu yang kegenitan. Iya, saya tahu kok saya ini tampan. Tapi kan..."

Tut!

Dara mematikan secara sepihak. Menyebalkan. Bergegas keluar. Dan benar, mendapati pria yang tengah di kerubuti karyawannya dengan tatapan kagum dan penuh cinta. Pria itu tersenyum lebar ke arahnya.

"Akhirnya kamu keluar juga."

Dara tak menyahut. Menarik tangan Dirga dan membawanya ke ruangannya tadi. Mendudukkan paksa pria itu di sofa yang sama dengannya. Mengamati penampilan pria ini dengan stelan casual. Sangat berbeda dengan penampilan rapinya yang berkemeja atau berjas saat keluar begini. Boyfriend-able memang. Pantas saja karyawannya yang kebanyakan perempuan dan waria, langsung melotot melihat Dirga. Dan sayangnya, Dara tak terima dengan tatapan kagum mereka.

"Sudah cukup memandangiku?"
Dara mendecih. Membuang pandangan ke arah lain.
"Ngapain lo kesini? Bikin geger aja."
"Mama menyuruhku mengawasimu."
Ck. Sudah dia duga. Semua karena mama yang nyuruh.
"Mama bilang, kamu itu terlalu bar-bar jika dibiarkan sendirian."
Dara mendengkus.
"Gue gak seburuk itu."
"Lo? Siapa yang bilang buruk? Aku tidak berfikiran begitu," tandas Dirga.
"Justru, memiliki istri bar-bar adalah tantangan tersendiri," ujarnya dengan senyum asimetris yang terpatri di bibirnya.

Lagi-lagi Dara mendengkus. Melipat tangannya di depan dada dengan kaki di silang sebelah ke atas paha. Lalu menoleh angkuh.

"Jadi, kapan kita bercerai?"

Dirga diam. Menatap Dara dengan netra jelaganya. Posisi mereka dekat sekali. Bayangkan saja dalam satu sofa, dan saling menatap angkuh. Hawa panas terasa menguar begitu saja. Apalagi untuk gadis yang baru saja datang dengan nampan berisi coklat panas dan waffle sesuai pesanan. Mulutnya membentuk 'o' gepeng saking menganganya dia. Nana, dia hendak berbalik, tapi sial, kakinya malah menatap pinggiran pintu. Menimbulkan suara 'dugh' yang lumayan keras. Untung saja nampannya tak sampai jatuh. Hanya susu coklat yang sedikit tumpah. Membuat kedua empu itu menoleh bersamaan.

"Ma-maaf Mbak, Mas. S-saya..."

Dara membenarkan posisinya.

"Bawa sini, Na," ujarnya.

Nana melangkah dengan kaki terpincang. Ringis kesakitan yang samar terlihat di wajahnya. Meletakkan susu dan Waffle sesekali melirik ke arah kedua insan itu. Sejak kapan pria tampan ini datang?

"Mas mau minum apa?"
"Tidak usah. Obati saya kakimu, itu berdarah," tukas Dirga menunjuk arah pandang matanya pada jari kaki Nana yang terluka. Reflek gadis itu melihat kakinya. Ah, pantas saja perih.

"Iya mas. Terimakasih," ujarnya tersenyum. Dan permisi pada mereka berdua.

"Cih! Perhatian sekali," dengkus Dara. Menyesap coklat panasnya. Tentu membuat lidahnya tersentak. Segera meletakkan kembali gelas coklatnya ke meja. Menahan kebasnya, malu ketahuan kepanasan.

Dirga tersenyum tipis. Dia tahu gadis itu menyembunyikan sesuatu. Dan pasti setelah ini, lidahnya mati rasa.

"Kau cemburu?"
"Cih! Pede sekali."
Ayolah, lidahnya kebas gara-gara pria sialan ini. Ah, Dara mengutuk dalam hati.

"Semakin kau menolak mengakuinya, percayalah. Semakin jelas terlihat," tukas Dirga terkekeh.
"Sok tahu."
"Apa kamu mau membuktikannya, hmm?"

Dirga menarik pinggang gadis itu hingga mendekat ke arahnya. Wajah keduanya bertatapan lagi, lagi dan sangat dekat. Belum sempat Dara mencerna semuanya, benda kenyal nan lembut itu sudah menempel di bibirnya. Aneh sekali, egonya ingin menolak, tapi jiwanya yang lain menerimanya, bahkan merasa nyaman.

Tak lama, Dirga melepas lebih dulu. Tersenyum samar sembari memandangi wajah gadis itu dari dekat. Cantik. Meski sebenarnya bukan perkara wajah cantiknya. Karena dari dulu dia sudah tertarik dengan gadis ini. Gadis ini mampu meruntuhkan egonya tentang wanita. Membuatnya jatuh cinta tanpa pandang rupa.

Dirga mengelus pipi Dara lembut. Dan menangkupnya. Mau tak mau, mata keduanya terpaut. Tak ada penolakan.

"Aku pergi. Jagalah dirimu. Aku tidak akan memaksamu untuk pulang. Dan kedatanganku kemari, bukan karena suruhan mama. Aku hanya ingin pamit denganmu. Maaf, jika kedatanganku malah membuatmu kesal. Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik."

Dirga tersenyum lembut. Menyempatkan mencium dahi gadis itu, lembut dan penuh afeksi. Lalu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Dara, terpaku menatapi punggung yang menjauh itu. Kenapa mendadak rasanya sepi?

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Where stories live. Discover now