31

19.5K 1.2K 7
                                    

"Nanti saja. Kita baru aja belanja bahan masakan loh. Masak mau ditinggal pulang," ucap Dara setelah sekian lama mereka hanya diam dan saling pandang.
Dirga tertawa kecil. Mengusak surai Dara.
"Iya. Terserah kamu. Aku cuma gak mau kamu kecapek an aja. Kalau di rumah kan ada bibi yang bantuin."
"Capek apanya? Orang disini juga kamu yang masak? Aku kan tinggal makan."
"Haha. Iya... iya. Kamu ini lucu sekali."
"Lucu? Emang badut apa."
Dirga makin tergelak. Memeluk Dara gemas. Sementara gadis itu juga diam-diam tersenyum. Membiarkan Dirga menciumi puncak kepalanya.
"Jadi---"
"Apa?" Dara mendongak. Menatap obsidian jelaga yang menatapnya lembut itu. Menikmati wajah dari jarak yang hanya beberapa senti darinya. Pahatan yang sempurna. Mampu membuat detakan tak biasa pada jantungnya.
"Kita. Emm, maksudku, kamu sudah bisa menerimaku?"
Dara tercekat. Semburat merah yang terasa panas menyembur di kulit wajahnya.
"Aa... a-aku... eh, gue mau balik dulu. Ngantuk," ujarnya seraya bangkit tergesa dari pangkuan Dirga. Tapi dengan sigap Dirga menahan tangannya.
"Disini saja. Biar disana jadi kamarnya kecoa."
Dara tergagap. Mau melepas paksa tangannya, tapi sendirinya saja tak rela.
"P-ponselku. Masih disana. Aku ambil dulu," tukasnya. Dan pegangan Dirga merenggang. Segera Dara berlari tergesa keluar dari kamar Dirga. Sampai pinggangnya menabrak pinggiran pintu. Mengaduh tapi mencoba tak memperdulikannya. Menghiraukan pekik khawatir Dirga.

*******

"Aargh! Gue kenapa sih!"
Segera setelah sampai di kamar Dara mengunci pintunya. Bukan menahan detak jantungnya yang berlebih, melainkan memegangi pinggangnya yang nyeri. Sakit sekali tentunya. Tulang pinggulnya menabrak kayu yang keras. Ngilu.

"Kayaknya gue mulai--"
"Aaah! Jangan sampai. Ada-ada saja. Masak iya gue suka sama dia? Issh! Ingat harga diri Dara. Dia itu nyebelin." Gerutuan bercampur pertanyaan diri. Tapi---
"Tapi, lama-lama kok dia romantis gitu. Gue kan jadi baper. Mana lembut banget kalau ngomong. Aaaih! Lama-lama gue stress sendiri."
Dara menepuk-nepuk kepala tak bersalahnya.
Karena masih malu untuk kembali, Dara memutuskan untuk tidur di kamarnya saja. Dia takut lama-lama detak jantungnya tak bisa dikendalikan jika bersama Dirga. Dan dia takut Dirga menyadarinya.
Sampai saat dia tidur, Dara tak mendengar pintu yang diketuk dari luar berkali-kali. Dara sudah lelap dalam mimpinya.

******

"Aaah! Aku!"

Dara tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Keringit dingin mengalir di peliposnya. Dia baru menyadari ada di kamarnya sendiri. Wajahnya meringis pelan. Mengusap wajahnya kasar. Makin kaget setelah mendapati sudah pukul setengah delapan pagi. Aih! pasti Dirga sudah pergi ke kantornya. Gegas Dara ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan gosok gigi. Barulah dia keluar kamar.

Mengernyitkan dahi saat melihat kamar Dirga masih tertutup rapat. Biasanya kalaupun pergi, kamar itu pasti terbuka, walau cuma sedikit. Apa jangan-jangan dia belum bangun?

Krieet.

Dara membuang pandangannya. Terlambat untuk membuang badannya sekalian. Alias masih berdiri mematung di tengah pintunya.

Dirga, dengan wajah kuyu, rambut jigrak berantakan, matanya sayup-sayup mengantuk. Memakai kaos polos putih tipis dan celana hitam yang super pendek.

"Hai," sapanya dengan suara serak- khas nya.
Masih dalam kondisinya yang begitu, Dirga melenggang melewati Dara. Menuruni tangga.
Dara terperangah. Bukan hanya karena penampilan pria itu, tapi juga sikapnya. Apa dia marah?
Dara segera mengikuti Dirga dari belakang. Pria itu memasuki dapur. Membuka lemari penyimpanan. Lalu mengambil susu kehamilannya. Menyendok memasukkan ke gelas kosong. Menuang air panas dan mengaduknya. Membawa ke hadapan Dara.
"Ini, minumlah," tuturnya dengan raut kantuk yang masih menggantung. Dara menerimanya. Tapi netranya mengawasi pria di hadapannya. Yang kini menunduk terkantuk-kantuk.
"Jam berapa tidur?" tanyanya.
"Euummhh... jam empat tadi," jawabnya diselai menguap.
Dara mendecak.
"Kenapa? Kamu lembur? Atau malah nonton film?" serbunya. Dirga mengangkat wajahnya lalu tersenyum tipis.
"Aku menunggumu."
Deg!
Sampai segitunya. Jadi ini karena dirinya. Dara jadi tak enak sendiri.
"Aku takut kamu kembali ke kamar tadi aku sudah tidur," tambahnya membuat Dara makin tak enak hati.
"Seharusnya tidur saja. Seneng amat menyiksa diri," gumam Dara lirih tapi masih di dengar Dirga. Pria itu terkekeh pelan.
"Sana. Cuci wajahmu. Lalu mandi. Kamu tidak ke kantor? Lihatlah, sudah hampir pukul delapan."
"Malas."
Dara menatap tak percaya. Hey! Mana bisa.
"Kau ini bagaimana. Seorang boss harusnya memberi contoh yang baik. Kalau kamu sendiri malas-malasan, bagaimana karyawan akan menilaimu baik?" omelnya. Dirga terkekeh.
"Malah tertawa. Sudah sana mandi. Jangan lupa basuh kepalamu, biar kantuknya hilang."

Dirga malah senyam senyum memandanginya. Membuat Dara memaling risih, tapi juga deg-degan.

"Kau juga mandi. Temani aku ke kantor."
"Iya... iya. Manja sekali sih. Biasanya juga aku ikut ke kantor kan?"

Dirga masih saja senyam senyum. Lalu beranjak dari duduknya. Menghampiri Dar dan mencondongkan wajahnya ke arah gadis itu.
"Diminum susunya."
Dara gelagapan.
"Aku mencintaimu---"
Chup--

Hanya selintas. Tapi efeknya bisa nyantol lama. Dara terpaku di tempatnya sembari memegangi dadanya yang berdebar. Padahal Dirga sudah melenggang kembali ke kamarnya.

Dasar hati, eh jantung!

******

Setelah bersiap-siap selama-lamanya, eh, maksudnya dalam waktu yang lama. Karena menunggu perempuan dandan itu cukup melelahkan. Apalagi bumil ini lagi doyan-doyannya dandan. Akhirnya mereka berangkat ke kantor pukul sepuluh. Hmm, pagi sekali bukan?

Dirga memeluk pinggang Dara posesif. Pria ini, sejak merasai kembang mekar di hatinya, memang bertingkah menyebalkan. Seakan dia tak akan membiarkan sesuatu kecil apapun yang mengganggu istrinya itu. Dara risih, tapi debaran di jantungnya mengalahkan segalanya.
Para karyawan yang melihat kedekatan boss mereka dengan istrinya mulai berbisik julid. Apalagi akhir-akhir ini sang istri boss selalu memakai masker. Huh! Kenapa peletnya bisa sekuat itu coba. Pikir mereka.
"Lepas, Ga. Gak malu apa dilihatin karyawanmu," bisik Dara pada Dirga.
"Kenapa malu? Kamu kan istriku."
Dara mendecak. Ayolah, menghadapi pria ini tak semudah dulu. Kini ada perasaan yang mulai ikut campur. Membuatnya harus menahan ucapannya hanya karena takut menyakiti pria ini. Dan juga, rasanya tak ikhlas mengakhiri dekapan pria ini pada tubuh mungilnya.
"Tapi tetap saja, kita kan--"
"Jangankan hanya memelukmu begini. Menciummu di depan mereka juga tak masalah."
Dara membulatkan matanya. Mencubit pinggang pria itu. Tapi malah dibalasnya dengan tawa.
Mereka sampai di lift. Saat Dirga hendak menekan tombol lift, sebuah suara menginterupsi pergerakannya.
"Dirga! Tunggu!"

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang