28

20K 1.2K 14
                                    

Caffe Me Time.

Terlihat dua sosok di bangku pojok belakang sendiri. Siapa lagi kalau bukan Dara dan Raka. Dara sudah berganti penampilannya seperti biasa dia bertemu Raka. Untung saja dia selalu membawa make up di tasnya. Tak sesempurna biasanya sih, karena tak semua make up kebawa. Tapi cukup untuk membuatnya beralih penyamaran.

"Apa kabar, Pret."

Ya, namanya kalau bersama Raka adalah Preta. Tapi harusnya Raka tak sesialan ini untuk memanggil namanya dengan memotongnya di tengah. Bisa saja, Ta bukan?

Dara tersenyum tipis. Raka terlihat lebih berantakan dari sejak terakhir mereka bertemu. Maksudnya bukan di penampilan, melainkan raut wajah pria itu. Atau mungkin dia sedang ada masalah dengan istrinya? Entahlah.

"Aku, baik. Kamu sendiri? Sepertinya sedang ada masalah?"

Raka tersenyum tipis.
"Aku pikir kamu sakit. Proyek kerjasama kita, Dirga sendiri yang menangani," ujar Raka mengalihkan pertanyaan Dara.
"Hem. Aku sudah keluar dari perusahaannya," tukasnya. Bohong? Jelas saja. Bahkan dari awal juga dia memang tak bekerja di kantor Dirga.
"Kenapa? Apa ada masalah?"
"Tidak. Hanya ingin istirahat saja."
"Oh. Kalau begitu, kau mau kerja di kantorku? Kantorku terbuka lebar untukmu," tawar Raka dengan raut berbinar. Beda sekali dengan muka kucelnya tadi. Dara tertawa kecil.

"Maaf, Ka. Niatku berhenti dari kantor Di-- ah, maksudku pak Dirga, itu bukan karena ada masalah atau apa. Tapi, aku ingin membangun usaha sendiri," tukasnya beralasan. Raka manggut-manggut dengan kecewa yang samar.

"Ah, begitu ya."
"Hem. Sory ya?"
"Iya. Tak apa. Itu pilihanmu. Dan aku rasa, kau cukup kreatif dan pandai berjaga-jaga. Haha. Seorang wanita yang mandiri dan pantang menggantungkan hidup pada orang lain."

Dara tersenyum samar. Menyesap mocca latenya.

"Tentu saja. Wanita yang lemah akan mudah di permainkan," jawabnya sarkas. Tersenyum asimetris. Melirik Raka dengan keangkuhan tersembunyi.

"Kau tahu, seorang wanita harus mandiri. Jadi, saat dia ditinggalkan prianya, dia sudah punya kehidupan sendiri. Jatuhpun, tak akan terlalu sakit," tambahnya. Melirik reaksi Raka.

"Kau benar," ujarnya tersenyum tipis. Menerawang sesuatu. Maybe, dia teringat mantannya, alias dia sendiri. Huh!

"Jadi, apa kamu sudah punya seseorang yang menjadi sandaranmu itu?"
Dara tersenyum lagi.
"Dulu. Dulu aku mencintai seseorang begitu besar. Bahkan dengan bodohnya menjadikannya sandaran. Tapi, yah begitulah pria. Dengan gampangnya memilih yang lain hanya karena-- ah, bahkan aku tak tahu, kurangku dimana dibanding wanita itu. Tapi sekarang, mengingatnya membuatku tertawa. Bodoh sekali aku waktu itu. Menyerahkan hati pada pria yang mudah berbagi."

Raka menggaruk tengkuknya tipis. Dia merasa tersindir. Tapi ini bukan Dara. Jadi, dia masih bisa ikut tersenyum, pura-pura bersimpati mungkin.

"Ah, maafkan aku, membuatmu kembali mengingat kejadian lama."
"Tak apa. Mengingatnya bukan lagi luka. Tak masalah," jawab Dara santai.
"Ka-kalau begitu, mari kita nikmati makanannya," tawar Raka mempersilakan. Dara mengangguk. Dalam hati dia tertawa. Dia tahu, Raka akan menembaknya hari ini. Terlihat dari bunga yang terselip di bangku belakang. Meski tersembunyi, tapi dia tahu itu. Dan dari kata tersirat Raka tadi, dia tahu, pria itu tengah memancingnya. Sayangnya, dia tak ingin bermain-main. Masa bodoh dengan perjanjiannya dengan Dirga waktu itu. Dia lelah. Lelah untuk menambah beban pikiran.

Mereka meneruskan obrolan sembari menikmati makanan yang terhidang.

*******

"Benar, sampai sini saja?" ungkap Raka heran. Lagi-lagi Dara menolaknya untuk diantar sampai rumah. Mereka berhenti di sebuah toko.

"Hem. Aku mau belanja keperluan rumah. Jadi, mungkin akan lama. Kau pulang saja. Pekerjaan kantor menantimu bukan?" ucap Dara tertawa renyah. Dari tadi ponsel Raka tak henti berbunyi. Dara tak tahu itu siapa, yang jelas Raka resah sekali.

"Maaf. Harusnya aku menunggumu dan mengantarmu. Tapi malah--"
"Tak masalah. Lagipula memang ada urusan mendesak kan?"
Raka menghela napas berat.
"Okey. Aku pulang, Pret. Hati-hati di jalan. Kalau tak kunjung dapat taksi, hubungi saja aku."

Dara mengangguk. Raka lalu berpamitan, dan melajukan mobilnya kembali. Netra Dara menatapi mobil itu hingga agak menjauh. Dia bermaksud hendak masuk ke toko, tapi sebuah tangan menahannya. Dan itu--
Dirga.

*******

"Lo ngikutin gue ya?" tebak Dara kesal. Tentu saja. Kalau tidak, untuk apa Dirga ada disini.
"Siapa bilang. Aku memang mau ke toko. Kau lihat sendiri kan, persediaan di rumah menipis."

Dara mana tahu. Dia kan tak tahu urusan dapur. Yang dia tahu, kulkas penuh snack makanan ringan. Baginya sudah surgawi.

Mereka menyusuri rak demi rak bahan makanan pokok. Dara yang mendorong trolinya, sedangkan Dirga yang mencari bahan yang akan dibelinya. Kebalik bukan? Tapi, yah begitulah mereka.

Dirga mengambil daging sapi kemasan. Memasukkannya ke troli. Lalu, beralih ke sayuran hijau. Memilahnya.

"Kenapa ketemuan sama Raka lagi? Kerja sama sudah aku yang mengambil alih," tukasnya seraya memilah sayur. Tapi tak urung, perhatiannya pada jawaban gadis itu. Dia cemburu. Di tambah gadis itu tiba-tiba menghilang. Bohong kalau niat Dirga ke toko. Dia tadi berkeliaran mencari Dara. Dan malah melihatnya di depan toko sedang mengbrol dengan Raka. Diam-diam Dirga keluar dari mobilnya dan mengintip dari balik tembok. Mendengarkan pembicaraan mereka.

"Lo lupa? Lo yang buat gue sama Raka ketemu lagi. Lo pikir masalah bisa selesai cuma dengan cara menghilang?"
Raka terkekeh.
"Maaf. Tapi kalian tak ada hubungan apapun kan? Tidak kencan misalnya?"
Dara menatap selidik pria di hadapannya.

"Memang apa urusan lo? Tujuan awal juga biar gue deket sama dia kan?" Dengkusnya.

Dirga merasa bersalah. Tambah yakin kalau Dara akan marah saat tahu bahwa istri Raka adalah Dita. Sejauh ini, aman. Dara masih tak tahu gadis yang dinikahi Raka, yang membuat hubungannya dengan pria itu hancur. Ditambah, selama di dekatnya, mereka berdua sama sekali tak akur.

"Maaf," ucapnya sekali lagi. Dirga meneruskan langkahnya. Membuat Dara heran sendiri. Pria ini makin aneh. Sering minta maaf dan seakan memutus perdebatan.

Mereka melanjutkan belanja tanpa banyak kata lagi. Bungkam dengan pikiran sendiri-sendiri dan enggan untuk mengungkapnya.

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang