14

17.5K 1.2K 2
                                    

#"Siapa kamu?" tatapannya galak.
"Tante..."
"Tonta tante... tonta tante... aku bukan tantemu. Siapa kamu? Selingkuhan Dirga? Ah, gak mungkin selera Dirga serendah ini. Kamu pasti godaain anak saya kan? Kamu mau hancurin rumah tangga anak saya, hah!"

Dara kebingungan. Galak banget mamanya Dirga ternyata. Matanya melotot seperti hampir keluar. Tak lupa tangan berkacak pinggang. Serem juga yak.

"Tante, saya bisa jelasin..."
"Jelasin apa. Ini lagi, Dirga mana. Dirgaaa!"

Duh, gawat. Kalau sampai mamanya Dirga ngomel-ngomel dan tak mengenali dirinya, bisa ketahuan dong penyamarannya.

"Tante... ini Dara, Tan," ucapnya panik. Sesekali menoleh ke arah kamar Dirga. Semoga pria itu gak denger.

"Hah? Jangan bohong kamu. Dara itu cantik. Gak kayak kamu. Ngarang. Anak itu mana lagi. Dirga... Ga! Keluar kamu!"

Mama Dirga melenggang masuk. Duh, gawat.

"Tante! Ini bener Dara. Dara mohon,percaya dong sama Dara," ucapnya duduk bersimpuh. Bagaimana lagi, dia tak lagi punya cara. Mata mama Dirga menyipit. Serta merta Dara melepas tompel di pipi kanannya.

"Ini Dara, Tan," ucapnya lirih.
"Y-yang bener kamu. Terus kenapa dandan jelek begini?"
"Ntar Dara jelasin. Tapi Dara mohon, tante jangan bilang-bilang Dirga ya?" ujarnya dengan tangan bertangkup  memohon. Mama Dirga termenung.

Bertepatan dengan itu pintu kamar Dirga terbuka. Sontak Dara memasang tompelnya kembali. Untung saja daya rekatnya kuat. Tapi bukan itu yang jadi permasalahannya. Identitas aslinya sedang dipertaruhkan.

"Eh, mama. Sejak kapan datang?" tanyanya mendekat. Aroma sampo dan wangi sabun menguar. Sepertinya dia habis mandi tadi. Netra Dirga menyipit melihat Dara yang ndeloprok di bawah.

"Kamu ngapain Ra?" kernyitnya heran.
"G-gue..."
"Eh, sayang. Sakit ya lututnya? Mama mau bantuin, tapi kaget dengar kamu keluar, jadi kebablasan lupa kan," tukas Mama Windi dan membantu Dara berdiri.

"Memang Dara kenapa ma?"
"Itu, tadi kepleset. Dia agak pusing. Makanya mama manggil-manggil kamu. Tapi kamunya gak nyaut. Ayo sayang, duduk di sofa aja," ujar mama Windi, menuntun Dara ke sofa. Syukur deh mama bisa diajak kerjasama. Dirga ikut mendekat, memegang dahi Dara, dahinya berlipat.

"Kamu sakit, Ra?"
"Eng... cuma pusing dikit kok. Mungkin kaget tadi abis masak pertama kali," ucapnya beralasan.
"Kenapa tadi maksa buat masak, hm? Ya udah, istirahat aja ke kamar. Yuk, aku bantu." Dirga menunduk hendak menopangnya.
"Eng... gak usah.. a-aku sendiri aja. Kamu temenin mama gih," tolaknya.
"Gak... gak. Ayo, sama mama aja."

Dirga menatap bingung. Mama dengan cepat memapah Dara. Akhirnya Dirga mengikuti dari belakang.

"Kamu keluar, cari obat," perintah mama Windi.
"Obat?"
"Iya, cepetan."

Meski bingung, Dirga berangkat juga. Begitu pria itu pergi, mama dan menantu itu menarik napas lega.

"Hah, syukurlah, Dirga gak curiga," Dara mendesah lega.
Aura horor kembali terasa. Darimana lagi kalau bukan dari mama Windi.

"Sekarang jelasin sama mama."

--------------

"Jadi gitu, Tan."

Ucapnya setelah bercerita. Mama Windi manggut-manggut.

"Dara juga kan pengen dapatin cinta sejati. Apalagi setelah ditinggalin Raka. Hiks. Sakit, Tan. Dara cuma nguji Dirga, gak lama kok."
Mama Windi manggut-manggut.

"Tapi Dirga gak kasar kan?"
Dara menggeleng.
"Gak kok. Dia baik."
(Meski sering ngeselin juga ding) tambahnya dalam hati.
"Syukurlah kalau gitu. Eh, tapi kok manggilnya Tante sih sayang. Aku ini mama kamu juga loh."
Dara meringis.
"Hehe. Maaf, Ma. Kadang khilaf," ringisnya. Mama Windi tersenyum, memeluk sekilas Dara. Sayang banget mama Windi dengan menantunya itu.

"Mama itu seneng banget kamu akhirnya mau nikah sama Dirga. Kalau sama yang dulu, mama gak setuju."
"Sama siapa ma?" Padahal dia sudah menduga, itu pasti Dita.
"Mantan Dirga yang dulu. Mama dari awal udah gak suka. Dan beneran, dia ninggalin Dirga gitu aja. Huh! Kalau bukan karena permintaan Dirga, sudah mama rusakin itu pernikahannya. Tapi ya, gitulah Dirga. Terlalu lemah lembut sama perempuan, meski menyakitinya."

Dara manggut-manggut. Pantas saja meski ditinggal nikah, Dirga tetap baik sama Dita. Padahal kalau Dara jadi Dirga, ogah banget.

"Duh, mama tadi sempet kesel loh. Kirain kok bodoh banget Dirga selingkuh sama cewek jelek yang gak tahunya ternyata kamu."
"Hehe. Maaf, Ma."
"Gak papa. Terus, kapan mau ngakunya sama Dirga?"
"Emm..." mata Dara mengerjap.
"Hehe. Belum tahu ma. Nanti, setelah Dara bener-bener yakin sama perasaan Dara dan Dirga."
Mama Windi membelai lembut surai Dara.
"Ya udah, gak papa. Mama dukung."
"Makasih, Ma."
Mama Windi memeluk Dara lagi. Tepat Dirga membuka pintu dengan terburu.

"Ini ma. Obatnya." Tatapannya berubah heran melihat Mamanya senyam senyum.
"Ya udah, sini."
Dirga menyerahkan plastik berisi resep obat yang dia beli banyak. Karena kan gak tahu yang mana yang harus dia beli.

"Kamu jagain Dara bentar. Mama mau hangatin bubur jamur tadi."

Dirga mengangguk. Memang mama Windi tadi membawa bubur jamur kesukaan Dirga. Berhubung kaget melihat rupa Dara, sampai lupa sup itu masih di ruang tamu.
Dirga beranjak duduk di tepi ranjang. Dara buru-buru merebahkan dirinya. Memasang wajah lesunya. Duh, bisa gawat kan kalau sampai Dirga tahu, dia cuma pura-pura tadi.

"Harusnya kamu tadi gak usah masak."

Tangan Dirga terulur hendak mengusap rambut Dara, tapi terhenti. Dan dia urungkan kembali.

"G-gue yang pengen. Lagian cuma pusing bentar kok," jawabnya lirih. Sesekali batuk-batuk biar kelihatan lagi sakit.
"Iya, tapi kan kamu jadi sakit gini."
"Gak papa."
Dirga menghela napas pelan.
"Terus Raka bagaimana?"
"Astaga!" pekiknya reflek terbangun dari baringnya membuat Dirga terjengkit kaget.

"Gue lupa!" Dara menyambar ponsel yang sedang di chargernya. Ada lima panggilan dari Raka.
"Duh, gimana nih? Apa gue batalin aja ya?" Ragu-ragu dia mengetik pesan untuk Raka.

"Semoga aja dia gak marah deh," harapnya lagi. Raut piasnya berganti khawatir. Lupa kalau sedang pura-pura sakit tadi. Sibuk berbalas pesan dengan Raka.

"Ah, syukurlah, dia gak marah," ucapnya lega. Meletakkan ponselnya kembali. Namun begitu berbalik, dia kembali mengkeret. Tatapan tajam Dirga menghujamnya.

"Pura-pura sakit kan?" tuduhnya langsung. Dara nyengir. Beringsut hendak keluar dari kamar. Sayangnya dia kalah telak dari sigapnya Dirga yang langsung menahan tangannya. Mengunci tubuhnya di dinding.

"Mau mengerjaiku, hm?"
Netra Dara bergerak-gerak ke kanan dan kiri. Meremas ujung bajunya.
"I-iya. Gue ngaku. Gue pura-pura tadi."
Dirga tersenyum miring.
"Sudah kuduga."
"Terus ngapain? Dah, minggir. Mau bantuin mama."
"Kalau aku gak mau?" Kepala Dirga makin condong mendekat.
"A-apaan sih. Minggir."
"Pumpung ada mama, kenapa gak pura-pura juga kalau kita semesra yang mereka pikirkan, hm?" bisiknya intens di telinga Dara, membuat bulu halusnya meremang.
"Apaan sih, mesum."
Tapi tak dipungkiri, detak jantungnya bagai maraton.

"Sayang, buburnya sudah si... astaga!"

Mama Windi terkejut melihat pemandangan yang tersaji. Begitu juga Dara, dia juga ikut terkejut dengan kedatangan mama mertuanya tiba-tiba. Beda ceritanya dengan Dirga yang rautnya tetap saja anteng.

"Ma... ini gak seperti..."
"Gak papa. Kalian lanjut aja."

Mama Windi langsung menutup pintu kembali. Dara mendesah sebal. Mendorong dada Dirga menjauh darinya.

"Seneng?" ketusnya. Dirga tertawa kecil.
"Cuma akting. Atau mau ku cium beneran?" Kerlingnya.
"Ngimpi lo!" sungutnya dan menyusul keluar. Dirga tertawa kecil. Menyusul keluar juga.

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang