II. 47

11.2K 823 11
                                    

"Kamu baik-baik saja, Ra?"

Mama sedari tadi memperhatikan raut kuyu Dara. Ditambah matanya yang bengkak. Meski telah dia turupi make up, tetap saja di mata mama terlihat jelas.

Wanita itu tersenyum tipis. Duduk di salah satu kursi. Meletakkan susu di atas meja.

"Dara gak papa, Ma."

Mama menatapnya khawatir. Tapi beliau tak bertanya lagi. Ingat rumusnya, jangan menanyai wanita yang tengah memendam kesedihan. Karena justru akan membuatnya menangis. Perhatikan dia, hingga dia akan nyaman sendiri mengeluarkan unek-uneknya.

Hela napas mama terdengar berat.

"Mama nanti ada acara sama teman-teman mama. Kamu gak papa kan kalau mama tinggal?"
Dara menggeleng.

"Nanti Dara kan pulang cepet. Mungkin nanti malah Dara yang jemput Farel. Udah lama, Ma. Membiarkan dia pulang sama pak Ali terus."
"Ya kalau kamu gak sibuk itu malah lebih baik. Semandiri-mandirinya anak, dia pasti lebih senang kalau orang tuanya memperhatikannya, Ra. Mama malah berharap kamu di rumah aja. Biar Nana yang kelola salonmu. Atau kalau perlu, kamu buka lowongan karyawan baru."
Dara tersenyum tipis.

"Gak papa, Ma. Lagian Dara kan cuma setengah hari di salon. Setelah siang Dara udah di rumah sampai malam. Malah bosan kalau di rumah aja gak ada kerjaan."

Alasan lainnya, dia tidak mau di rumah malah membuatnya makin terpuruk. Satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh saat ini ya itu, menyibukkan diri. Membiarkan dirinya kelelahan, sampai tak ada waktu untuk meratapi nasibnya. Meski sebenarnya itu juga tak baik.

"Ya, terserahmu sajalah. Yang penting ingat jaga kesehatan. Kasihan Farel kalau sampai mamanya juga sakit."

Dara mengangguk. Mengambilkan nasi di piring. Supaya nanti pas Farel makan, nasi sudah dingin.

"Lah, Farel mana? Kok tumben belum turun?" Mama mengerling mencari keberadaan cucunya.

"Biasa, Ma. Laporan pagi. Perutnya mules katanya," ucap Dara terkekeh. Mama menggelengkan kepala.

"Ada-ada aja. Memang habis makan apa?"
"Kemarin sama Hana minta di belikan bakso pedas."
"Nah kan. Sudah mama bilang. Jangan makan pedas-pedas. Ngeyel."
"Gak papa lah, Ma. Biar latihan makan pedas."
"Oalah. Ngeyelnya sama persis kayak kamu."

Dara tertawa kecil. Tak lama terdengar derap langkah menuruni tangga. Yang dibicarakan sudah nongol.

"Sini sayang, sarapan dulu?"

Farel mengambil tempat di samping mamanya. Keluarga kecil itu menikmati sarapan pagi. Papa? Sedang ada dinas ke luar kota.

Selesai sarapan. Mereka bubar ke tempat tujuan masing-masing. Dara, mengantar Farel ke sekolah dulu baru ke salon. Sedang mama bersiap untuk pergi juga.

******

"Belajar yang rajin ya. Mama kerja dulu."
Dara mendaratkan kecupan di dahi Farel. Mereka telah sampai di sekolah.
"Iya, Ma. Mama juga, hati-hati."
Dara tersenyum. Memeluk putranya sekali lagi.
"Nanti mama yang jemput. Kamu tunggu di tempat biasa. Oke?"
Farel mengangguk. Dara lalu masuk ke mobilnya. Melambaikan tangan pada putranya, lalu mobil melaju meninggalkan area sekolah. Tinggalah Farel sendiri, memandangi mobil mamanya hingga hilang dari pandangan. Barulah dia beranjak masuk.

"Rel! Tunggu!"

Farel menghentikan langkahnya. Deni, teman sekelasnya menghampiri dengan senyum lebarnya.

"Bareng ya?"

Farel hanya mengangkat kedua alisnya. Melanjutkan langkahnya. Banyak anak seusianya yang juga memasuki gerbang sekolah. Dengan khas seragam merah putih dan juga tas di punggung. Bahkan ada juga yang mengalungkan air minum di leher mereka. Mungkin supaya mudah kalau mendadak haus.

"Pr mu udah selesai?"
"Sudah."
"Haha. Iya ding. Kamu kan pintar. Tapi aku belum. Nyontek ya, Rel?"

Farel menghela napas. Tak menjawab. Meneruskan langkah lebarnya. Sengaja. Dia ini meski baru kelas dua sd, tapi postur tubuhnya lebih tinggi dari anak seusianya. Wajar saja, gennya menurun dari Dirga. Coba saja kalau dari Dara, yaa mungkin-- gitulah.

"Eh! Kok aku ditinggal. Tunggu dong!"

Farel hirau saja. Hingga satu suara membuat langkahnya terhenti mendadak. Membuat Deni yang bertubuh gempal kaget. Dia sulit mengerem langkahnya dan menabrak punggung Farel. Membuatnya sedikit terhuyung.

"Aduh!" Tapi yang mengaduh Deni. Syukur Farel bisa mengendalikan keseimbangan.
"Kok berhenti dadakan sih. Ngegetin tahu."

Farel tak menjawab. Melirik Deni sekilas dan kembali mengarahkan pandangan ke gadis kecil yang mengobrol riang dengan temannya. Ekspresif sekali.

"Kak Hana!" Panggilnya. Yang dipanggil menoleh. Rautnya berubah. Berbeda dengan Farel yang tersenyum lebar. Menghampiri Hana.

"Apa!" Sahutnya jutek.
"Gak papa sih. Bareng aja."
"Aku udah sama Mira kok. Weeek!" Menjulurkan lidahnya.
"Kan sekalian sih kak. Kelasnya juga sampingan."

"Eh, kalian ini masih kecil udah pacar-pacaran," sungut Deni yang ditinggal Farel.
"Siapa yang pacaran, ih!" Sungut Hana. Wajahnya kesal. Farel, seperti biasa. Diam saja. Acuh tak acuh dengan pertengkaran tidak penting anak-anak kecil itu. Memang apa salahnya kalau dia dekat dengan Hana? Sejak kecil saja mereka sudah barengan. Jadi Farel anggap Hana itu kakak yang tak sempat dia dapatkan karena malah bernasib jadi anak pertama. Lagian aneh si Deni, anak kecil kok pacar-pacaran. Emang pacaran itu apa?

"Sudah... sudah. Nanti keburu bel loh. Ayo bareng aja. Lagian kelasnya kan deketan. Ayo, Na," lerai Mira.

Akhirnya setelah aksi saling lirik Hana dan Deni, mereka berempat melanjutkan langkah.

Hana dan Mira ini kelas tiga sekolah dasar. Sedangkan Farel dan Deni kelas dua. Jadi, kelas mereka memang sampingan.

******

Di salon. Dara menekuni pekerjaannya seperti biasa. Sebenarnya dia tidak turun tangan langsung kecuali klien-klien tertentu. Dia hanya mengawasi dan sesekali mendata rekapan laoran harian karyawannya.

Fikirannya yang tengah tak sehat, membuat fisiknya ikut lelah. Dara bersandar di kursi santainya. Netranya mengamati bocah perempuan dengan pipi gembul dan lesung pipit manis saat tersenyum. Lincah berlari kesana kemari. Sesekali menarik ujung baju karyawan atau bahkan pelanggan. Membuat sang mama meneriakinya. Tapi bocah itu hanya nyengir.

Anak Nana yang baru berusia tiga tahun setengah itu sering diajak ke salon. Ya karena Nana juga tak bisa meninggalkan anaknya sendirian di rumah. Suaminya juga kerja. Untung saja anaknya gampang ikut. Jadi saat mamanya sibuk, dia mau aja diajak siapa aja. Namanya Maura.

"Maura ikut tante yuk," ajak Dara. Bocah kecil itu mengerjapkan matanya. Dia sudah biasa dengan Dara.

"Mana ante?"
"Jemput kak Farel. Ke sekolah, yuk?"
"Ama? Oyeh?"
Nana malah menoleh ke Dara.
"Tapi nanti ngerepotin mbak?"
"Ah, enggak. Nanti tak ajak ke rumah aja. Biar diajak main sama Farel."
"Tapi--"
"Sshhhh... gak papa. Biar Farel juga ada teman mainnya."
Nana berjongkok. Mengelus rambut kuncir dua milik Maura.
"Maura ikut tante mau?"
"Nanti tante beliin es krim."
Bocah manggut-manggut.
"Aaauuuk."
Dara tertawa gemas. Punya anak perempuan lagi seru kayaknya.
"Tuh, kan. Gak papa sesekali. Ntar kamu jemput aja deh," ujar Dara.
"Ah, ya udah deh. Nanti kalau nangis telpon aja ya mbak."
"Okey. Gampang."
Nana kembali menghadap putri kecilnya.
"Maura jangan nakal loh ya? Jangan minta es krim banyak-banyak sama tante. Gak boleh nangis. Oke?"
Maura manggut-manggut.
"Nah, pinter."
"Nah, yuk. Kita meluncuur."

Nana menggelengkan kepala melihat tingkah boss wanitanya. Yang sejak kejadian itu keceriannya berkurang. Nana bekerja pada Dara bukan hanya setahun dua tahun, bahkan bertahun-tahun. Dia juga karyawan pertama yang direkrut Dara. Perubahan wanita itu sangat banyak. Dari yang dulu sempat bar-bar terselubung keeleganan, berubah menjadi wanita yang lemah lembut. Tapi miris nasibnya, pria yang berhasil merubahnya itu malah pergi dan entah bagaimana kabarnya. Dirga mengalami kecelakaan.

Pesawat yang ditumpanginya terjatuh. Korban sudah dirilis lama, tapi tak ada nama Dirga diantara daftar korban tersebut. Entah apakah dia selamat atau tidak. Namun setahun berlalu, masih tak ada kabar dari pria itu. Meruntuhkan harapan yang sempat singgah.

"Huft..."

Nana menghembuskan napas pelan. Lalu kembali dengan pekerjaannya.

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Where stories live. Discover now