22

21K 1.3K 5
                                    


Apel merah yang sudah terpotong ke beberapa bagian beserta pisau di sisinya menandakan ada sesuatu yang sedang dirasakan sang pelaku. Bisa jadi dia benar-benar kesal atau sekedar gabut. Yang pasti sekarang dia sedang terkapar di atas ranjang miliknya. Pandangannya mengarah ke jendela, tapi tak begitu yakin kalau jendela itu benar menjadi titik fokusnya. Beginilah yang dia lakukan sepanjang hari ini. Rasanya masih belum ikhlas dengan kejadian tadi malam. Ya, karena dia tidak ingat apa-apa, tapi tiba-tiba saja dia kehilangan sesuatu yang amat sangat berharga. Menyebalkan bukan?

"Mau hibernasi sampai kapan?"

Tak terdengar ketukan pintu ataupun pintu yang dibuka, tiba-tiba saja sosok itu nongol dan bersandar di sisi dinding dekat pintu. Ditangannya tercangking plastik entah apa isinya.

"Tidak perlu ditutupi. Lagipula aku sudah tahu wajah aslimu," sambar Dirga cepat saat Dara hendak menutupi wajahnya dengan bantal. Gadis itu mendesah kasar. Kembali meletakkan bantal itu asal.

"Kau masih marah? Hm?"
"Itu tahu. Pake nanya lagi," tukas Dara. Terdengar helaan lirih dari Dirga.
"Kau tahu sendiri kan? Kau sendiri yang memaksaku. Lagipula kalau sampai kubiarkan saja, yang ada kau yang akan celaka."
"Tapi tetap saja.... ah sudahlah. Sana pergi! Gue lagi malas bahas itu," usir Dara, kembali merebahkan badannya membelakangi Dirga. Dia cukup kesal, tapi lebih kesal lagi saat menyadari itu juga kesalahannya.

Terdengar derap langkah Dirga yang agak mendekat. Dara sudah bersiap untuk mengomeli pria itu. Namun saat dia membalikkan badan, dilihatnya Dirga sedang membelakanginya juga. Tengah menatap heran pada piring diatas nakas. Sebelum Dirga menyadarinya, Dara buru-buru memutar badannya lagi.

"Kau meluapkan kemarahanmu pada apel tak bersalah ini? Ck... psiko juga kamu ya."

Dara mencebik. Tentu saja dengan tanpa sepengetahuan Dirga karena posisinya yang membelakangi pria itu.

"Kau takut hamil? Hmm, padahal kita hanya melakukannya sekali. Kemungkinan untuk hamil itu kecil. Tapi kalau memang iya, tak masalah sih. Sebenarnya apa yang kamu takutkan? Kita sudah menikah bukan?"

Yah, memang sudah  menikah. Tapi bisa saja tiba-tiba pria itu pergi kan? Disaat dirinya hamil. Namanya juga pria, mulutnya tak bisa dipercaya. Eh, tapi jangan ding. Jangan sampai hamil dulu. Masa depan masih panjang.

"Makanlah. Aku tahu perutmu belum terisi dari pagi. Jangan menyiksa diri."

Dara menangkupkan bantal menutupi telinganya. Ayolah, dia sangat kesal. Sensitif. Pengennya marah-marah, tapi dengan siapa?
Tak lama derap langkah Dirga terdengar menjauh, seiring dengan suara pintu yang ditutup. Barulah Dara melempar bantalnya. Memposisikan badannya telentang.

"Argh! Nyebelin. Hiks... hiks... mama..." rengeknya.

Memang benar, seharian ini dia hanya menghabiskan waktunya dengan rebahan. Sama sekali tak ada semangat untuk ngapa-ngapain.

Diliriknya bungkusan yang dibawakan Dirga tadi. Beringsut lalu menyambarnya. Rupanya isinya roti dan beberapa batang coklat. Ish! Padahal kan dia pengennya yang gurih-gurih. Keripik kek, atau apa. Ini malah manis semua. Tapi berhubung lapar, dilahap juga makanan tersebut.

********

Malam datang. Dirga sedang duduk di ruang depan. Ekor matanya sedari tadi bergerak ke kiri dan kanan seiring dengan layar ponsel yang bergulir. Sepertinya dia sedang sibuk memeriksa sesuatu. Hingga suara decitan berderak dengan lantai mengalihkan atensinya. Reflek Dirga menoleh.

"Mau kemana?" tanyanya begitu melihat Dara sedang menyeret kopernya.
"Ngapain nanya. Bukan urusan lo," sahutnya ketus.
"Kau istriku. Jadi, aku berhak tahu."
Dara terkekeh kecil. Menghentikan laju kopernya dan menatap sinis pada pria tersebut.
"Huh! Bilang saja lo ngakuin gue istri karena udah tahu gue cantik kan? Dih, basi. Sory, sayangnya gue males."
Dirga tak menyangkal ucapan Dara. Dia tahu gadis itu sedang labil gara-gara kejadian tak terduga kemarin malam. Dara kembali menyeret kopernya, lalu setelah berada dekat Dirga, dia menghentikan langkahnya.

"Gue mau balik," ujarnya. Kembali menarik kopernya.

Merasa tak ada reaksi dari pria di belakangnya, Dara menoleh selintas.

"Jangan anter gue. Gue mau pulang naik taksi."
"Hm..."

Astaga! Hanya begitu reaksi pria tersebut? Dara mendecak kesal. Menghentakkan kakinya ke lantai.

"Awas aja sampek ngikutin gue. Gue bakal bikin lo gak selamat," ancamnya meski terdengar konyol.

Dara makin kesal karena tak ada reaksi dari pria itu. Bahkan sampai taksi online pesanannya datang, tak ada tanda-tanda Dirga akan menghentikan langkahnya. Sungguh menyebalkan sekaligus tidak peka. Terpaksa dia menyeret kopernya sendirian, karena ternyata pak sopir itu juga tidak peka dengan tidak membantunya. Jadilah sepanjang perjalanan Dara mengomel tak henti.

---------

Tok! Tok! Tok!
Dara mengetuk keras pintu rumah orang tuanya.

"Ih! Lama banget sih bukainnya. Mama sama papa kemana sih?" omelnya. Wanita memang seperti itu. Kesal dengan siapa, tapi semua objek jadi imbasnya.

Dogh! Dogh! Dogh!
Kali ini dengan tenaga ekstra yang dia keluarkan. Bodo amat dengan tangannya yang memerah, atau nanti mama keluar dan marah-marah. Salah sendiri bukainnya lama banget.
Hampir saja dia berteriak, kalau saja pintu tidak cepat terbuka. Tangannya yang hendak mengetuk, menimpa udara kosong.

"Siapa sih malam-malam--- Loh, sayang... pulang sama siapa?" Mama melongok ke belakang. Heran melihat putrinya sendirian. Dara tak menyahut dan nyelonong masuk meninggalkan kopernya.

"Astaga... anak itu."  Mama menarik koper tersebut dan mengikuti langkah putrinya yang beranjak ke kamar. Memberi kode pada papa yang menatap gadisnya dengan raut keheranan.

"Kok sendiri? Suamimu mana?" tanya mama setelah sampai di kamar lama Dara. Gadis itu merebahkan badannya di ranjang kesayangannya.

"Tauklah. Jangan nanyain dia. Kesel."
Mama meletakkan koper di pojok.
"O. Kamu pasti jahilin dia ya? Tapi kamu yang ngambek?" tebak mama.
"Ish! Apaan sih. Kenapa malah Dara yang disalahin?"
"La terus? Dirga itu kan anaknya baik, dewasa lagi. Kalau kamu pulang sendiri malam-malam begini, pasti yang gak beres---"
"Apaan sih mama nyebelin! Dahlah. Jangan ganggu Dara," ucap gadis itu kesal. Mama mengangkat bahunya, dan dengan santai keluar dari kamar putrinya.
"Aneh. Anaknya siapa, yang dibelain siapa. Nyebelin," rutuk Dara. Meraih boneka teddy bear besarnya dan memeluk erat.
"Kenapa semua orang nyebelin. Huh!"
"Dia lagi. Gak peka banget sih. Harusnya nahan gue kek, biar gak pergi. Tapi cuma diem macam patung. Dasar. Cowok sama aja. Gak ada tanggung jawabnya. Sumpah. Nyebelin. Ngeselin. Bikin bete. Brengsek. Arrgh!!!" Dara memukul-mukul teddy bear tak bersalahnya. Lalu tak lama menelusupkan wajahnya di boneka berbulu halus itu.
"Awas aja. Gue gak mau pulang kesana. Males ketemu cowok brengsek itu. Ish! Kenapa lo bodoh banget sih, Raaaa. Rumit kan kalau begini. Kalau gue hamil gimana? Hiks... hiks... gue gak siap."
"Ra. Ada apa sayang? Kok teriak-teriak? Kamu baik-baik saja kan?" Itu suara papa. Cepat-cepat Dara memejamkan mata. Pura-pura tidur. Hingga suara pintu terbuka dan derap langkah kaki mendekat.
"Tidur pa?"
Ada suara mama juga.
"Kayaknya iya, Ma."
"Oh. Ya udah. Balik yuk pa. Lanjut nonton."
Dara merutuk. Astaga, punya mama gitu amat. Anak lagi galau juga padahal. Bukannya dihibur malah nonton. Nonton apa coba?

*********

Sementara di luar, mama sedang menerima telepon dari mantu kesayangannya.

"Oh, jadi ngambek. Sudah mama duga."
"Iya, Ma. Maaf karena tak mengantar Dara. Tapi besok Dirga pagi-pagi akan kesana."
"Iya, gak papa. Anak itu memang sering ngambek. Sudah, biarin saja. Nanti juga reda sendiri kok. Memang masalahnya apa kalau mama boleh tahu?"

Sejenak terdengar helaan napas dari seberang.

"Ini salah Dirga, Ma. Dara minum minuman yang diberi pelayan resto. Dan tidak tahu ternyata ada obat... emmmm itu Ma. Ja-jadi, mau tak mau saya..."
"Astaga! Terus sudah kamu selidiki pelakunya?"
"Iya ma. Ini Dirga sedang menyelidiki. Makanya tadi membiarkan Dara pulang sendiri. Soalnya ada yang harus Dirga urus dulu."
"Ya sudah. Yang penting Dara ngelakuinnya sama kamu, mama justru senang. Semoga aja cepet jadi. Mama pengen punya cucu."
"Emm... kalau itu..."
"Haha. Ya sudah ya, istirahatlah. Besok pagi-pagi kesini. Jangan lupa bawa baju yang banyak sekalian. Nginep disini sampai Dara mau pulang. Tenang saja, mama bakal rahasiain dari Dara."
"Iya, Ma. Makasih."

Mama tersenyum senang sembari melirik papa yang sedari tadi menguping obrolan istri dan menantunya.

"Biasa," ujar mama seraya mengerdipkan sebelah matanya.

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Where stories live. Discover now