36

18.8K 1.2K 6
                                    

Pagi.
Bangun tidur mendapati wajah polos yang tersaji di depannya sepertinya merupakan hal istimewa paginya, dan juga mendadak menjadi candu bagi Dara. Apalagi wajah pria itu seperti kehilangan sorot menyebalkan dan jahilnya itu. Berubah menjadi polos, dan lucu saja melihat mulut sedikit terbuka Dirga saat tidur begini.

Puas memandangi sosok itu, Dara beranjak dari tidurnya. Meringis merasakan sedikit ngilu di punggungnya. Meski sudah di rawat, bahkan pijat tulang, lebam akibat tabrakan itu masih terasa.

"Sshh... ahhh..." ringisnya reflek memegang punggungnya. Aneh sekali, tadi saat dipeluk erat Dirga, sakitnya tak terasa. Kok giliran bangun tidur begini baru terasa. Tapi bukan masalah besar. Selama dia masih melakukan aktifitas biasa, bukan masalah.

Beberapa menit di kamar mandi, begitu kembali Dirga masih saja terlelap. Tapi Dara tak ada membangunkan Dirga. Bergegas keluar dari kamar. Pukul setengah enam. Bi Ijem biasanya sudah di dapur sejak sebelum pukul lima. Mama dan papanya belum kelihatan. Mungkin masih tidur, atau bahkan sedang bersiap ke kantor.

"Pagi, Bi," sapanya pada bi Ijem yang tengah membawai menu sarapan ke meja makan. Duduk di salah satu kursi.
"Eh, Non Dara. Udah bangun?"

Dara tersenyum tipis. Seperti yang terlihat. Dirinya bahkan sudah segar bugar, meski belum mandi.

"Masak apa hari ini, bi?" ujarnya memindai menu diatas meja.
"Sup, Non. Katanya Nyonya, Non Dara belum boleh makan yang pedas-pedas."
Dara cemberut.
"Ih, padahal aku udah sembuh loh, Bi," protesnya.
"Hehe. Pesan Nyonya begitu, Non."

Dara tak menjawab. Mencomot mendoan dan menyemilnya.
Tak lama mama dan papa sudah keluar dengan stelan lengkapnya. Siap ke kantor. Menyapa Dara yang sudah stand by di meja makan. Mengerling heran karena tidak menemukan Dirga disana.

"Suamimu belum bangun?"
Dara menggeleng.
"Biasalah. Kebo emang dia, Ma," sahutnya.
Mama terkekeh.
"Wajar saja. Kayaknya bahkan dia tidak tidur sampai larut malam loh."
"Ngapain? Jangan bilang nge-game?"
Mama menggeleng. Mengambilkan piring kosong dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk untuk papa.

"Tadi malam badanmu panas lagi. Bahkan kamu mengigau," jelas mama.
Dara mengerutkan keningnya.
"Masak sih, Ma? Perasaan aku udah sehat tuh," protesnya.
"Nyatanya? Mama sendiri loh yang lihat Dirga mondar mandir dengan wajah lelah tapi khawatirnya itu. Iya kan pa?" toleh mama ke papa.
Papa mengangguk.
"Ternyata kebiasaanmu kalau sakit masih sama ya. Apa selama ini Dirga gak pernah cerita, semisal kamu sakit?"

Dara menggeleng. Tentu saja tidak. Dia saja tak pernah sakit selama pernikahan mereka. Dirinya terlalu strong. Ah, pantas saja raut Dirga tadi terlihat berbeda. Ada sorot lelah di wajahnya. Huft, dia jadi tak enak hati pada pria itu.

"Ya sudah, bangunkan suamimu. Suruh sarapan. Tapi, ya kita sarapan duluan. Soalnya papa ada rapat pagi," ucap mama. Dara mengangguk. Beranjak dari duduknya dan kembali ke kamarnya.

Dirga masih terlelap dalam mimpinya. Memeluk bantal guling di sampingnya. Benar kata mama, wajah Dirga terlihat lelah. Dan juga ada baskom dan handuk kecil di atas meja nakas. Kenapa dia baru sadar? Apa karena tadi lepas dari kamar mandi tak sempat melirik cermin?
Tangan Dara terulur hendak membangunkan Dirga, tapi urung. Dia tak tega. Akhirnya malah menyingkap helai rambut depannya yang agak memanjang itu dari menutupi mata.

"Lihatlah dirimu, bahkan sampai tak sempat mengurus dirimu sendiri," besutnya. Menyugar helai rambut itu. Rupanya Dirga terganggu. Dia membuka matanya pelan, dan langsung bersitatap dengan Dara.

"Eungh.. hoam... sudah bangun?"
"Lihat jam berapa?" Tunjuk Dara pada jam alarm berbentuk doraemon di pegangannya. Dirga nyengir.
"Oh, sudah siang rupanya," ucapnya, menguap lagi. Beranjak bangun malas.
"Sana, cuci muka dulu, lalu sarapan. Mama sama papa sudah ada di bawah," tukasnya. Netra Dirga melebar? Astaga! Dia sedang di rumah mertua. Bisa-bisanya dia bangun kesiangan malah santuy.
Plak! Tepukan mendarat di dahinya akibat ulah tangannya sendiri.

"Aku lupa," pekiknya dan ngacir ke kamar mandi. Dara menggelengkan kepala. Lalu memberesi kamar tidur mereka.

*****

Dirga menyambut cengiran tipis di bibirnya saat papa dan mama mertuanya menyapanya. Aih! Dia malu karena bangung kesiangan. Rusak sudah citra disiplinnya. Tapi ya sudahlah, kepalang basah. Segera dia membuatkan susu kehamilan untuk Dara dan membawanya ke meja makan.

"Mama dan papa sudah selesai. Kami berangkat dulu. Dan Dara, kalau belum sehat betul, di rumah saja. Oke?" Pesan Mama.
"Yaaah, bosen."
"Eih, dibilangin."

Dara mengerucutkan bibirnya. Kadang sifat manjanya masih muncul saat sedang bersama orang tuanya. Itu sebelum terjadinya pemutusan sepihak hubungan cintanya oleh Raka. Dan kini, sifat itu muncul lagi. Dirga terkekeh kecil. Mengusak surai Dara.

"Tenang aja, Ma. Ntar kunci aja dia di rumah seharian," godanya. Dara melotot, tapi bukannya takut, Dirga malah tertawa.
"Ya udah, mama sama papa berangkat. Yang hati-hati kalian."

Dirga dan Dara mengangguk kompak.
Mama menggandeng tangan papa, lalu meninggalkan dua sejoli itu di meja makan.

"Tadi malam tidur jam berapa?" tukas Dara to the point. Dirga meraih piring dan mengisinya, lalu meletakkan di depan Dara. Barulah mengambil untuk dirinya sendiri.

"Habis kamu tidur," jawabnya. Santai saja mengambil lauk dan menyuap ke mulutnya.
"Bohong!"
Dirga menggeleng.
"Enggak. Aku tidur setelah kamu."
"Kata mama tadi malam aku--"
Dara menghela napas.
"Apa benar badanku tadi malam panas? Mengigau?"
"Hem." Dirga masih santai melahap makanannya. Rupanya dia lapar.
"Ck. Itu... kayak gitu masih tak mau jujur," decak Dara.
"Memang benar kan? Aku tidur setelah kamu. Aku tidak menjawab jam berapa?"

Bingo! Memang benar. Tapi tetap saja Dara kesal. Ah, entahlah, dia harus kesal atau tidak enak hati, atau--

"Sudahlah. Habiskan sarapanmu, lalu minum susu. Jangan membahas sesuatu yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan."
Dara menunduk. Ayolah, kenapa dia gampang baperan sekarang?
"Kau mau apa? Ikan atau udang? Aku ambilkan..."

******

Dara tak ikut ke kantor. Dirga melarangnya keras. Mengingat kondisi fisiknya yang belum terlalu pulih, ditambah pasti karyawan akan kepo segala hal. Mengingat mereka kini tahu, istri CEO yang jelek itu ternyata Dara, sang pemilik salon yang terkenal itu. Bungkam sudah mulut-mulut juliders. Bahkan kini mereka beralih memuji-muji sampai berlebihan. Malu mungkin karena ucapan mereka dulu, kini menohok diri mereka sendiri.

Ditemani bi Ijem, Dara membiarkan wanita paruh baya itu memijit bahunya. Pijatan bi Ijem enak. Khas dan tidak terlalu sakit. Dara tidak meminta loh, bahkan bi Ijem yang menawarkan.

"Bibi ini kagum loh sama den Dirga, Non," ujarnya diselai pijatannya.
"Kagum kenapa bi? Jangan-jangan karena tampan ya?" tebaknya. Sudah banyak yang mengatakan begitu. Bahkan Gisa, keponakannya itu saja berkali-kali memuji ketampanan Dirga. Meski ujung-ujungnya meledek dirinya. Mengatakan bahwa harusnya Dirga menyesal karena menikah dengan wanita bar-bar yang tak bisa masak dan pekerjaan rumah macam Dara. Dara mendengkus kesal, tapi kok bener.

"Ya, kalau itu jangan diomong, Non. Tapi bukan itu, kalau itu sih nanti di marah non Dara," kekehnya.
"Haha. Gak papa kali, Bi. Ganteng doang, tapi nyebelin sama aja," ucapnya dengan senyum simpul tersungging.
"Bukan menyebalkan, Non. Bahkan menurut bibi, den Dirga itu perhatian sekali. Merawat non Dara sampai kurang tidur. Dan juga telaten banget menyediakan susu untuk non Dara. Pokoknya idaman sekali lah den Dirga itu."

Dara tersenyum samar. Memang benar, dia akui. Dengan segala perhatian Dirga, dia merasai keberuntungan itu. Justru dia malah khawatir kesialan menimpa Dirga karna menikah dengan wanita semacamnya. Seperti yang dikatakan Gisa.

"Menurut bibi, apa Dirga menyesal karena saya sering membuatnya repot, Bi?" tanyanya sembari menoleh.
"Endak ah. Malahan bibi lihat sorot mata den Dirga itu seperti... apa ya? Sulit dijelaskan. Tapi yang jelas den Dirga tatapannya dalam sekali. Seperti menyimpan perasaan sayang yang besar."
Dara tak bisa menahan senyumnya.
"Ih, bi Ijem lebay deh," ucapnya senyam senyum tak jelas.
"Lo benar loh non. Gini-gini dulu bi Ijem mantannya banyak loh waktu masih muda. Jadi sudah hafal kalau urusan buaya, Non. Kalau den Dirga itu justru buaya sejati."
Senyum Dara meluntur.
"Kok, buaya, Bi?"
Bi Ijem terkekeh. Pindah memijat lengan Dara.
"Iya. Hakikatnya buaya itu hewan yang setia, Non. Cuma orang orang sering mengartikan buaya sebagai laki-laki yang suka main-main. Makanya saya bilang, den Dirga itu buaya sejati. Terlihat ganas, tapi lembut pada pasangan."

Ah, bi Ijem. Bisa saja. Baru kali ini Dara blushing gara-gara ucapan bi Ijem. Tapi bukan berarti dia jatuh cinta dengan bi Ijem bukan?

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Where stories live. Discover now